Bagaskara 9 21. Angin membelai rambutku yang ikal mayang. Diiringi udara sejuk, bagai memeluk hati yang mencair. Mataku berbinar, wajah merona merah bersaing dengan warna matahari di pesisir pantai. Saat mendengar pernyataan cintanya, itulah yang kurasakan. Bagaskara nama yang indah, seindah lembayung senja. Paksi mengerutkan dahinya. Ada yang berbeda pada wajah Ki Marta Brewok itu dengan wajah yang dikenalinya dengan sebelumnya. Tetapi perbedaan itu tidak terlalu nampak. Meskipun demikian, Paksi yakin, Bahwa Ki Marta Brewok itu adalah Ki Marta Brewok gurunya yang telah menempa dengan berbagai macam laku untuk menguasai ilmunya yang tinggi. Meskipun ternyata masih belum mampu mengimbangi Ki Sampar Angin. Namun dalam pada itu, Wijanglah yang menyahut, “Jangan takut. Meskipun wajah Paman agak seram, tetapi ia orang baik. Paman hanya belum sempat mencukur berewoknya.” Orang tua itu mengangguk-angguk meskipun masih nampak ragu. Ki Marta Brewok lah yang kemudian bertanya, “Ki Sanak, aku justru ingin bertanya, apa yang telah terjadi di padukuhan ini? Padukuhan ini adalah padukuhan yang nampak subur. Nampaknya kehidupan penghuni padukuhan ini cukup baik dilihat dari ujud lahiriahnya. Rumah-rumahnya cukup pantas. Halaman yang cukup luas dan pohon buah-buahan yang berbuah lebat. Sawah pun nampaknya terhampar luas dan tidak akan pernah kekurangan air di segala musim.” Orang tua itu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Lingkungan ini memang subur, Ki Sanak.” “Lalu, apakah yang telah terjadi disini? Padukuhan ini menjadi sepi seperti kuburan.” “Untunglah kalian tidak lewat padukuhan ini kemarin.” “Apa yang terjadi kemarin?” “Kemarin di padukuhan ini terjadi keributan. Bahkan pertempuran yang menimbulkan kematian.” “Siapakah yang telah bertempur disini? Apakah antara penghuni padukuhan ini dengan sekelompok orang yang ingin berbuat jahat? Atau antara kelompok-kelompok yang datang dari luar padukuhan ini?” Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia mengamati ketiga orang yang duduk di serambi banjar itu. Katanya, “Tetapi bukankah kalian bukan bagian dari orang-orang yang kemarin menimbulkan keributan disini?” “Tentu tidak. Apakah ada di antara kami yang mirip dengan orang-orang yang bertempur kemarin disini?” Orang tua itu menarik nafas panjang. “Entahlah, bagaimana mulanya. Tetapi dua kelompok orang bertemu dan bertengkar di ujung padukuhan. Kemudian mereka bertempur dengan sengitnya, sehingga salah satu kelompok melarikan diri dengan meninggalkan dua orang korban terbunuh. Sementara itu, kelompok yang menang justru telah berbuat semena-mena terhadap orang-orang di padukuhan ini. Mereka menggeledah setiap rumah untuk mencari seorang anak muda yang katanya melarikan diri dari istana Pajang.” “Apakah mereka menyebut nama anak muda itu?” bertanya Paksi. Wijang menarik nafas panjang. Ia tahu, bahwa Paksi sengaja menanyakannya, meskipun tanpa bertanya pun ia sudah tahu siapakah yang dimaksud. Orang tua itu memandang Paksi sekilas. Namun kemudian orang tua itu merenung sejenak. Katanya kemudian, “Ya. Orang itu menyebut sebuah nama. Pangeran Benawa.” Paksi mengangguk-angguk. Namun ketika ia berpaling memandang wajah Wijang, hampir saja Paksi tertawa. Wajah itu nampak muram dan gelap. Sementara Ki Marta menggeleng lemah. Wijang lah yang kemudian bertanya, “Apakah Pangeran Benawa itu dapat diketemukan?” “Tentu tidak,” berkata orang tua itu. “Kami sama sekali tidak mengenal anak muda yang bernama Pangeran Benawa. Sepengetahuan kami, pangeran adalah sebutan bagi anak seorang raja. Mungkin Raja Pajang atau Raja Demak atau raja yang manapun.” “Ya,” Ki Marta Brewok menyahut, “pangeran memang anak seorang raja.” “Lalu, apa yang mereka lakukan setelah mereka tidak menemukan Pangeran Benawa disini?” bertanya Paksi. “Mereka mencoba memaksa kami untuk menunjukkan dimana Pangeran Benawa bersembunyi. Mereka sudah mendapat keterangan bahwa sehari sebelumnya Pangeran Benawa sedang menuju kemari,” jawab orang tua itu. “Tetapi bukankah jalan bercabang-cabang sehingga mungkin saja Pangeran Benawa itu mengambil jalan simpang?” desis Wijang. “Ya. Kami pun sudah mengatakannya. Tetapi orang-orang itu justru marah. Mereka memukuli para penghuni padukuhan ini. Sebelum pergi mereka sempat mengancam untuk menghukum kami jika ternyata Pangeran Benawa itu bersembunyi disini.” “Bagaimana sikap para bebahu padukuhan ini?” “Tulang punggung Ki Bekel hampir saja mereka patahkan karena Ki Bekel mencoba melindungi rakyatnya.” “Bagaimana dengan bebahu kademangan?” “Semalam kami telah mengirimkan orang untuk melaporkan kepada Ki Demang. Tetapi sampai siang ini kami belum mendapat keterangan. Tetapi entahlah jika orang itu sudah langsung menemui Ki Bekel di rumahnya.” Ki Marta Brewok pun kemudian berkata, “Jika demikian, kami tidak akan terlalu lama disini, Ki Sanak. Kami tidak ingin menjadi sebab, Ki Sanak dan orang-orang padukuhan mengalami kesulitan karena kehadiran kami. Jika orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu melihat kehadiran kami, mungkin mereka akan berbuat sesuatu yang semakin menyulitkan penghuni padukuhan ini.” “Tetapi bukankah kalian bukan termasuk orang-orang dari gerombolan yang saling bertengkar itu?” “Tentu tidak, Kek,” jawab Paksi, “Kami hanya kebetulan saja lewat.” “Jika demikian, hati-hatilah, Ki Sanak,” pesan orang tua itu. “Baik, Kek. Kami akan berhati-hati,” jawab Wijang. Namun ia pun masih juga bertanya, “Tetapi apakah jalan ini akan sampai ke Alas Mentaok?” “Apakah kalian akan pergi ke Alas Mentaok?” orang tua itu ganti bertanya. “Kami hanya ingin tahu saja,” jawab Wijang. Ki Marta Brewok menggamit anak muda itu. Sementara itu, orang tua itu pun menjawab, “Jalan ini memang akan sampai ke Alas Mentaok. Tetapi hutan itu adalah hutan yang sangat garang. Orang yang masuk ke dalamnya, tidak akan pernah keluar lagi.” “Jika demikian, kami tidak akan masuk ke dalamnya, Kek. Kami akan berada di luarnya saja.” “Untuk apa sebenarnya kalian ingin melihat hutan itu?” “Tidak ada apa-apa, Kek. Kami hanya pernah mendengar namanya. Kami hanya ingin tahu, apakah hutan itu sebenarnya ada.” Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Sebaiknya kalian urungkan saja niat kalian melihat-lihat hutan itu. Ular sebesar lidi pun akan dapat membunuh kalian. Kumbang mutiara yang beracun itu pun sangat berbahaya. Apalagi jika kalian terperosok ke dalam sarang semut salaka. Dalam waktu singkat, hanya tulang-tulang kalian sajalah yang akan tinggal.” “Mengerikan sekali, Kek.” “Belum lagi disebut jenis-jenis binatang buas. Segala jenis harimau terdapat di hutan itu. Yang paling mengerikan adalah kelompok-kelompok anjing hutan yang ganas dan licik. Burung pemakan bangkai dan yang tidak kalah berbahayanya adalah pusaran-pusaran lumpur dan pasir, yang dapat menghisap tubuh seseorang hingga sampai ke perut bumi.” Meskipun Wijang dan Paksi bukan penakut, tetapi tengkuk mereka pun meremang. Ki Marta Brewok hanya menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Wijang dan Paksi pun kemudian telah minta diri kepada orang tua itu. Demikian pula Ki Marta Brewok yang membawa mangkuk kecil berisi minyak kelapa itu. Katanya, “Kami akan menampung minyak ini dengan daun pisang saja, Ki Sanak.” “Aku punya bumbung bambu kecil yang dapat kalian bawa,” desis orang tua itu. “Jika demikian, terima kasih, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. Ketika orang tua itu meninggalkan mereka untuk mengambil bumbung kecil yang dikatakannya, Ki Marta Brewok berdesis, “Kenapa kau bertanya tentang Alas Mentaok?” “Kenapa?” bertanya Wijang. “Apakah kau sengaja meninggalkan jejak arah perjalananmu?” Wijang mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tertawa. Katanya, “Tanpa meninggalkan jejak, ternyata orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu dapat menemukan jejaknya.” “Tetapi jejak itu tentu masih kabur. Kau memperjelas jejak yang kabur itu.” “Maaf, Ki Marta,” desis Wijang, “aku tidak menyadarinya.” “Sudahlah. Mudah-mudahan orang tua itu tidak akan pernah bercerita tentang kehadiran kita, maksudku dua orang anak muda di padukuhan ini kepada siapa pun juga.” Wijang mengangguk-angguk. Namun pembicaraan mereka pun terhenti karena orang tua yang mengambil bumbung itu datang sambil membawa bumbung kecil yang sudah berisi minyak kelapa. Namun katanya kemudian, “Tuangkan minyak kelapa di mangkuk kecil itu juga ke dalam bumbung kecil ini. Barangkali kalian akan membutuhkannya lagi di perjalanan.” “Terima kasih, Ki Sanak,” berkata Ki Marta Brewok. Sementara orang tua itu pun telah menyerahkan bumbung kecil itu beserta sumbatnya. Ki Marta Brewok lah yang menerima bumbung kecil itu. Kemudian menuangkan minyak kelapa yang berada di mangkuk kecil. Sambil mengembalikan mangkuk kecil itu, Ki Marta Brewok pun berkata sekali lagi, “Terima kasih, Ki Sanak.” Namun sebelum ketiga orang itu minta diri, mereka dikejutkan oleh derap kaki kuda yang dengan cepat mendekat. Bahkan tiba-tiba saja berderap memasuki halaman banjar itu. Ketiga orang itu memang menjadi tegang. Orang tua penunggu banjar itu pun menjadi ketakutan pula. Namun ketika orang tua itu mendengar namanya dipanggil, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Demang. Agaknya bersama Ki Jagabaya.” Orang tua itu pun segera menghambur keluar langsung pergi ke halaman depan banjar itu. Sebenarnyalah yang datang adalah Ki Demang, Ki Jagabaya dan dua orang pengiringnya. Mereka pun kemudian berloncatan turun dari kuda mereka. Di serambi belakang banjar itu, Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi Paksi bertanya, “Apakah yang kita lakukan?” Ki Marta Brewok lah yang menyahut, “Kita menunggu saja disini. Apa saja yang akan dilakukan oleh Ki Demang.” Wijang dan Paksi pun mengangguk-angguk. Dengan demikian, maka mereka bertiga pun telah duduk menunggu di serambi belakang banjar padukuhan itu. Sementara itu, Ki Demang, Ki Jagabaya dan dua orang pengiringnya naik dan duduk di pendapa. Orang tua penunggu banjar itu pun kemudian bercerita apa yang telah terjadi di padukuhan itu kemarin. “Baru semalam aku mendapat laporan,” berkata Ki Demang. “Kenapa ketika peristiwa itu terjadi, tidak seorang pun yang memberi laporan kepadaku?” “Semua orang sedang dicengkam ketakutan,” jawab penunggu banjar itu. “Bagaimana dengan Ki Bekel?” bertanya Ki Demang. “Ki Bekel sedang sakit. Punggungnya hampir dipatahkan oleh orang-orang yang garang itu.” “Apakah Ki Bekel dapat datang kemari?” “Aku tidak tahu, Ki Demang,” jawab penunggu banjar itu. “Apakah Ki Bekel dipanggil kemari? Biarlah aku pergi ke rumahnya.” “Tidak usah kau sendiri yang pergi,” berkata Ki Demang yang kemudian memerintahkan salah seorang pengiringnya untuk memanggil Ki Bekel. Katanya kemudian, “Tetapi jika ia tidak mungkin untuk datang kemari, biarlah nanti aku datang ke rumahnya.” Dalam pada itu, ternyata orang tua penunggu banjar itu tidak mengatakan bahwa ada tiga orang yang berada di serambi belakang banjar itu, sehingga dengan demikian ketiga orang itu tidak diminta untuk menghadap. Sambil menunggu kedatangan Ki Bekel, penunggu banjar itu menceriterakan apa yang sudah terjadi di padukuhan itu sebagaimana yang diceriterakannya kepada ketiga orang yang sedang berada di serambi belakang banjar itu. Beberapa saat kemudian ternyata Ki Bekel telah datang ke banjar. Meskipun punggungnya masih sakit, tetapi ia memaksa diri untuk memenuhi panggilan Ki Demang yang sudah berada di banjar. Di serambi belakang, Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi berusaha untuk mempertajam pendengaran mereka, sehingga mereka dapat mengikuti pembicaraan di pendapa banjar itu. “Ceriterakan, Ki Bekel. Apa yang telah terjadi. Tadi kakek penunggu banjar ini juga sudah berceritera. Tetapi Ki Bekel tentu akan dapat berceritera lebih lengkap.” Ki Bekel pun mulai berceritera. Sebagian besar dari ceriteranya memang tidak berbeda dengan ceritera penunggu banjar itu. Tetapi ketiga orang di serambi belakang itu kemudian mendengar Ki Demang bertanya, “Apakah Ki Bekel dapat menduga, siapakah yang telah datang ke padukuhan ini? Mungkin Ki Bekel mengenal ciri-cirinya atau mungkin ada di antara mereka yang menyebut nama gerombolan mereka atau apa pun yang dapat dipergunakan untuk mengenali mereka?” “Sulit, Ki Demang,” jawab Ki Bekel. “Tetapi ada di antara mereka yang mengenakan pakaian sebagaimana pakaian prajurit Pajang meskipun tidak lengkap.” “Mungkin mereka telah merampasnya atau mereka berhasil membunuh satu dua orang prajurit, kemudian mempergunakan pakaian prajurit yang terbunuh itu,” jawab Ki Demang. Tetapi di belakang Wijang berdesis, “Tentu para pengikut Paman Harya Wisaka.” Ki Marta Brewok dan Paksi mengangguk-angguk. Agaknya Wijang yakin, orang yang datang di padukuhan itu adalah para pengikut Harya Wisaka. Pembicaraan selanjutnya tidak begitu penting lagi bagi ketiga orang yang berada di serambi itu. Ki Bekel ternyata tidak dapat menyebut ciri-ciri dari kelompok yang lain. Beberapa saat kemudian, maka terdengar Ki Demang itu pun berkata, “Baiklah. Aku minta Ki Bekel menyiapkan semua laki-laki yang masih mampu mempergunakan senjata. Jika sejak sebelumnya kita sudah bersiap, maka akibatnya tentu akan berbeda. Kita tidak akan memberikan kesempatan kepada orang-orang itu untuk memasuki rumah demi rumah. Menakut-nakuti semua orang.” “Tetapi apakah kami mampu untuk melawan mereka?” “Aku tentu tidak akan mencuci tangan. Aku akan ikut campur. Setiap padukuhan akan menyiapkan kelompok-kelompok anak muda yang dapat bergerak cepat dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain. Kalian harus menyiapkan alat-alat untuk memberikan isyarat. Apa pun yang terjadi, kita tidak akan membiarkan kampung halaman kita menjadi lingkungan perburuan tanpa memberikan perlawanan. Bukankah kita mempunyai harga diri?” “Baik. Baik,” berkata Ki Bekel. “Sejak hari ini, kami akan mempersiapkan diri.” “Nanti malam, setiap padukuhan akan mengirimkan lima sampai sepuluh orang untuk ikut berjaga-jaga disini. Tetapi tidak mustahil bahwa padukuhan yang lain pun akan mengalami keadaan yang sama seperti padukuhan ini.” “Baik, Ki Demang.” “Nah, sekarang aku akan mengelilingi padukuhan-padukuhan. Malam nanti aku akan berada di banjar ini. Mudah-mudahan mereka tidak kembali. Tetapi jika mereka kembali, kita akan bersikap lain dari sikap kita kemarin.” “Terima kasih, Ki Demang,” jawab Ki Bekel. “Aku akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya.” “Bagaimana keadaan Ki Bekel sendiri?” “Aku berharap bahwa aku segera menjadi baik. Aku sudah mendapat obat yang mujarab.” Demikianlah, sejenak kemudian Ki Demang dan pengiringnya itu pun telah meninggalkan banjar padukuhan itu. Ki Bekel yang agaknya masih belum pulih benar itu pun telah kembali pula. Sejenak kemudian, orang tua penunggu banjar itu telah berada di serambi belakang menemui ketiga orang yang berada di serambi itu. “Mereka sudah pulang,” berkata penunggu banjar itu. Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun kemudian telah minta diri. “Kami akan meneruskan perjalanan, Kek,” berkata Wijang. “Berhati-hatilah, Ngger. Jika kalian bertemu dengan orang-orang yang garang itu, kalian akan diperlakukan semena-mena. Orang-orang itu agaknya memang tidak berjantung.” “Baiklah, Ki Sanak,” berkata Ki Marta Brewok, “mudah-mudahan kami tidak bertemu dengan mereka.” Demikianlah, maka ketiga orang itu pun segera meninggalkan banjar padukuhan itu. Sebenarnya ada niat Wijang dan Paksi untuk berada di padukuhan itu barang satu dua malam. Mereka ingin bersama-sama dengan para penghuni padukuhan itu untuk melawan para pengikut Harya Wisaka. Tetapi Ki Marta Brewok pun berkata, “Mungkin kita dapat mengusir orang-orang itu. Tetapi jika ada yang sempat mengenali Pangeran, padukuhan ini akan menjadi semakin parah. Pada kesempatan lain, akan datang kekuatan yang tidak terlawan. Apalagi setelah kita meninggalkan padukuhan ini, sementara orang-orang yang datang itu menganggap bahwa Pangeran memang bersembunyi disini.” Wijang mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Apakah benar aku telah banyak menimbulkan malapetaka bagi banyak orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa?” Ki Marta Brewok tidak menyahut. Tetapi ia sempat memperhatikan Wijang yang berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ketika mereka bertiga beristirahat di pinggir sebuah sungai dan duduk di atas sebongkah batu yang besar, yang nampaknya pernah ditumpahkan dari mulut Gunung Merapi, Wijang itu pun berkata, “Aku harus memperhatikan peristiwa-peristiwa itu. Aku tidak boleh menutup mata, bahwa banyak peristiwa yang tidak dikehendaki telah terjadi.” “Tentu hal itu tidak Pangeran kehendaki. Tetapi sebenarnyalah bahwa hal itu telah terjadi. Orang-orang yang tamak itu tidak menghiraukan sama sekali akibat dari perbuatan mereka.” Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Apa yang dilakukan oleh orang-orang tamak itu akibatnya sama seperti yang aku lakukan.” “Maksud Pangeran?” “Yang aku lakukan dan yang mereka lakukan sama-sama menimbulkan banyak korban.” “Tetapi niat Pangeran jauh berbeda dari niat orang-orang yang tamak itu.” “Ki Marta Brewok, bukankah Ki Marta Brewok pernah mengatakan, bahwa niat yang baik tidak selalu mendatangkan hasil yang baik?” Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Paksi pun berkata, “Sudahlah. Jangan risaukan.” “Bagaimana mungkin aku tidak merisaukannya,” sahut Wijang. “Setiap kali kita bertemu dengan keributan yang memungut korban karena kepergianku dari istana. Apakah alasan mereka mencari cincin atau mencari aku, pada dasarnya sama saja.” “Jadi, apakah yang terpikir oleh Pangeran sekarang?” Wijang menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Marta Brewok itu pun berkata, “Bukankah kepergian Pangeran antara lain sengaja menyingkirkan cincin itu? Khususnya karena Pangeran tahu bahwa Harya Wisaka menginginkannya? Kecuali itu, Pangeran pun ingin melihat kehidupan yang sebenarnya dari rakyat Pajang. Namun yang akhirnya tidak dapat Pangeran lakukan, karena Pangeran sibuk melayani orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu.” “Ya, Ki Marta,” jawab Wijang. “Jadi apa rencana Pangeran?” “Aku akan pulang.” “Pulang ke istana?” bertanya Paksi. “Ya. Sementara itu aku akan menitipkan cincin ini kepadamu.” Paksi terkejut. Dengan serta-merta ia pun menjawab, “Wijang, kau tahu bahwa ayahku menginginkan cincin itu. Jika aku membawanya, maka jika ayahku mengetahuinya, maka cincin itu tentu akan dimintanya. Dan aku sama sekali tidak akan dapat mempertahankannya.” “Berikan saja cincin itu kepada ayahmu. Cincin itu tidak akan hilang.” “Maksudmu? Kau biarkan aku memberikan cincin itu kepada ayah. Kemudian kau akan mengambilnya sebagaimana pernah kau lakukan?” “Tentu tidak, Paksi. Tetapi bukankah kau dapat pulang jika kau membawa cincin itu? Jika kau pulang tanpa membawa cincin itu?” “Yang akan pulang itu kau, Wijang. Bukan aku.” Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku ingin mengajak kau pulang. Ibumu sangat merindukanmu. Sementara itu, ayahmu akan menerimamu jika kau membawa cincin itu.” “Tetapi cincin itu adalah cincin yang sangat tinggi nilainya. Apa arti lingkup keluargaku dibanding dengan nilai cincin itu sendiri.” “Aku tidak akan kehilangan cincin itu, Paksi. Sehari kemudian, aku akan datang sebagai Pangeran Benawa. Aku akan membawa pertanda dari ayahanda. Dengan demikian, maka ayahandalah yang mengambil cincin itu, karena aku melakukan atas namanya. Tentu dengan ucapan terima kasih dan barangkali ayahanda akan memberikan imbalan atas jasa ayahmu yang telah berhasil menemukan cincin itu. Mungkin pangkat, derajat atau semat.” “Tetapi persoalannya tidak akan berakhir sampai disitu. Di istana masih ada Harya Wisaka,” jawab Paksi. “Aku sadari itu. Pergolakan mungkin masih akan terjadi. Tetapi akhirnya aku berpendapat, bahwa gejolak yang terjadi karena cincin itu harus dipersempit ruang lingkupnya. Mungkin akan terjadi benturan-benturan di dalam. Tetapi tidak harus mengorbankan orang-orang padukuhan yang tidak tahu-menahu persoalannya. Biarlah aku dan barangkali Kakangmas Sutawijaya harus menghadapi Paman Harya Wisaka, karena aku yakin, bahwa Kakangmas Sutawijaya akan membantuku menghadapi Paman Harya Wisaka.” Paksi termangu-mangu sejenak. Ia merenungi ajakan Wijang untuk pulang ke Pajang. Wijang akan memberikan cincin itu kepadanya. “Satu tanggung jawab yang sangat besar. Jika cincin itu tidak sampai ke tangan ayahnya atau dalam waktu yang pendek sebelum Pangeran Benawa datang atas nama Kangjeng Sultan Pajang, ada orang yang merampasnya, maka persoalannya akan berkembang semakin rumit.” Namun Ki Marta Brewok itulah yang kemudian berkata, “Sebaiknya kau renungkan gagasan itu, Paksi.” “Tetapi ayahku tentu akan bertanya-tanya, kenapa Pangeran dengan serta-merta mengetahui bahwa cincin itu ada di tangan ayahku.” Wijang tersenyum. Katanya, “Mudah sekali. Aku dapat mengatakan bahwa para peramal istana telah memberitahukan kepada ayahanda, bahwa cincin itu sudah berada di Pajang. Di tangan ayahmu.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Jawaban yang memang tidak akan dapat dipersoalkan lagi. Sementara itu Ki Marta Brewok yang kemudian tersenyum berkata, “Satu gagasan yang lengkap, Paksi.” “Tetapi jika semalam sebelum Pangeran Benawa datang rumah kami dirampok orang, katakanlah Harya Wisaka dengan beberapa orang berilmu tinggi?” bertanya Paksi. “Pukul kentongan. Seluruh Pajang akan terbangun,” jawab Ki Marta Brewok. “Pangeran Benawa juga akan terbangun. Jika cincin itu disembunyikan di tempat yang rapat, maka sebelum orang-orang itu dapat menemukan cincin yang mereka cari, Pangeran Benawa dan orang-orang yang dipercayanya, sudah akan berada di rumahmu untuk membantu ayahmu melindungi cincin itu.” “Ya,” sahut Wijang. “Tetapi dalam keadaan seperti itu, cincin itu akan langsung dibawa oleh Pangeran Benawa atas nama Kangjeng Sultan.” Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan memikirkannya. Nanti malam aku akan memberikan jawaban.” “Kenapa menunggu nanti malam?” Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Apakah kita tidak jadi melihat-lihat keadaan Alas Mentaok?” “Kalian sudah dapat menggambarkan ujud dari hutan yang sangat lebat itu, meskipun yang dikatakan oleh orang tua penunggu banjar itu memang agak berlebihan. Aku yang pernah berada di dalam hutan itu beberapa hari, masih juga sempat keluar dalam keadaan hidup. Meskipun demikian, Alas Mentaok memang hutan yang sangat berbahaya.” Terasa angin berhembus semakin keras. Awan putih selembar-selembar terbang ke utara, tertimbun di ujung Gunung Merapi. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Pendapat Ki Marta Brewok memberikan tekanan pada perasaannya. Ia terlalu percaya kepada orang itu. Orang yang telah memberikan landasan ilmu kanuragan yang tinggi. Bahkan lebih dari itu. Dalam keadaan yang rumit, setiap kali Ki Marta Brewok itu selalu hadir. Namun dalam pada itu, Ki Marta Brewok itu pun berkata, “Baiklah. Paksi masih akan merenungkan ajakan Pangeran. Marilah kita meneruskan perjalanan. Kapan saja Paksi mengambil keputusan, kita akan dapat menentukan sikap.” Wijang mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Marilah kita berjalan. Kita masih akan pergi ke arah selatan. Sampai atau tidak sampai Alas Mentaok.” Mereka bertiga pun kemudian telah bangkit. Bertiga mereka melangkah ke arah selatan. Tetapi baru beberapa langkah mereka berjalan, Paksi kemudian berkata, “Baiklah, Wijang. Aku pulang.” Mereka pun berhenti melangkah. Sambil tersenyum Wijang pun menepuk bahu Paksi sambil berdesis, “Bagus, Paksi. Kita akan bersama-sama pulang. Kau akan membawa cincin itu dan memberikannya kepada ayahmu. Kau akan diterima sebagai anak laki-laki yang baik, yang berbakti kepada orang tua dan bahkan kau akan dapat menjunjung derajat ayahmu, karena dengan mempersembahkan cincin itu kembali ke istana, ayahmu akan mendapat anugerah.” Paksi termangu-mangu sejenak, hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Tetapi aku tidak tahu pasti, apakah ayah seorang yang setia kepada Pajang. Apakah ayah tidak menjadi salah seorang yang berada di bawah pengaruh Harya Wisaka.” “Kau akan mengawasinya, Paksi.” “Jika Harya Wisaka datang dengan kekerasan, maka aku dapat memukul kentongan, sehingga seluruh Pajang akan mendengar karena suara kentongan itu akan segera bersambut dan menjalar kemana-mana. Tetapi kalau Harya Wisaka atau kepercayaannya datang dengan diam-diam?” “Sebaiknya jangan beri kesempatan hal itu terjadi,” berkata Ki Marta Brewok. “Sebaiknya kalian berdua sepakat tentang waktu, agar jarak waktu akan kedatangan Paksi dan kehadiran Pangeran Benawa di rumah Paksi atas nama Kangjeng Sultan tidak terlalu panjang. Dengan demikian, tidak ada kesempatan bagi Harya Wisaka mengambil cincin itu.” “Baiklah. Kita dapat bersepakat untuk mengatur waktu itu.” Demikianlah Wijang dan Paksi itu pun telah bersepakat untuk menempuh perjalanan pulang. Mereka telah mengatur, kapan Wijang memasuki istananya dan kapan Paksi akan sampai ke rumahnya. Paksi harus memberikan kesempatan kepada Wijang untuk menemui ayahandanya dan mohon pertanda bahwa Pangeran Benawa atas nama Kangjeng Sultan datang ke rumah Paksi untuk mengambil cincin yang dibawa oleh Paksi. Namun perjalanan pulang itu harus mereka tempuh dengan berhati-hati. Di sepanjang jalan pulang itu masih mungkin terjadi sesuatu yang tidak mereka inginkan. Tetapi kedua orang anak muda itu menjadi semakin tenang ketika Ki Marta Brewok itu pun berkata, “Aku akan menyertai kalian sampai ke Pajang.” “Tetapi bukankah aku tidak perlu berada di alun-alun Pajang dua kali sebulan? Saat bulan purnama dan di tanggal pertama untuk menunggu Ki Marta Brewok?” Ki Marta Brewok itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tertawa. Wijang memandang keduanya berganti-ganti. Tetapi ia tidak tahu apa yang sedang ditertawakan oleh Ki Marta Brewok. Bahkan Paksi pun kemudian ikut tertawa pula. “Apa yang kalian tertawakan?” bertanya Wijang. Paksi menahan tertawa. Namun kemudian ia berceritera bahwa Ki Marta Brewok pernah mengancamnya untuk meminjamkan cincin itu. Ki Marta Brewok akan menemui Paksi di alun-alun Pajang dan menunggunya di saat purnama atau pada tanggal pertama. Ternyata Wijang pun telah tertawa pula. Di perjalanan kembali ke Pajang, Ki Marta Brewok telah berpesan agar mereka menghindari persoalan-persoalan yang dapat terjadi di jalan. “Kecuali yang memang tidak dapat kita hindari.” Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Meskipun demikian, mereka sadar, bahwa mereka berada di lingkungan yang berbahaya. Di daerah yang seakan-akan ditebari oleh orang-orang yang dapat mengancam keselamatan mereka. Ketika mereka lapar, maka mereka telah memilih kedai yang kecil dan sempit, yang hanya disinggahi oleh orang-orang di sekitarnya, karena kedai itu sama sekali tidak menarik bagi orang-orang yang lewat dalam perjalanan jauh. Mereka bertiga berharap bahwa di kedai yang kecil itu mereka tidak akan menemui persoalan-persoalan yang dapat menghambat perjalanan mereka. Sebenarnyalah yang berada di dalam kedai itu agaknya orang-orang di sekitar tempat itu saja. Ada di antara mereka yang duduk tanpa baju dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Di samping nampak sebuah kapak pembelah kayu yang tersandar di dinding. Nampaknya orang itu baru saja membelah kayu di sebelah kedai itu. Di tangannya terdapat sepincuk nasi megana. Di sisi lain, duduk dua orang yang sudah separo baya. Di hadapannya dihidangkan di paga bambu yang rendah, wedang sere dan beberapa macam makanan. Jadah, jenang alot, wajik dan tasikan. Beberapa kerat ketela rebus dengan tempe bacem dan lombok rawit. Kedua orang itu nampak asyik berbincang. Mereka tidak menghiraukan orang-orang lain yang berada di kedai itu. Sekali-sekali terdengar keduanya tertawa. Wijang, Paksi dan Ki Marta Brewok telah mengambil tempat di sudut. Di sebelah orang yang sedang makan sepincuk nasi megana. Tetapi orang itu tidak menghiraukan kehadiran ketiga orang itu. Nampaknya ia sedang menikmati kangkung, lembayung dan kacang panjang rebus dengan bumbu megana. Ketika pemilik kedai itu datang mendekat, maka Wijang pun memesan tiga pincuk nasi megana pula. Ketika orang yang tidak berbaju itu mendengar, maka ia pun mengangkat wajahnya. Dipandanginya Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi sambil tersenyum. Katanya, “Kalian juga senang nasi megana seperti ini?” “Ya, Ki Sanak,” Ki Marta Brewoklah yang menjawab. “Murah, kenyang dan awet.” Ki Marta Brewok tertawa. Wijang dan Paksi pun tertawa pula. Tetapi Wijang lah yang bertanya, “Apa yang awet, Ki Sanak?” “Awet kenyang. Lembayung dan kangkung membuat kita tidak cepat lapar meskipun kita bekerja keras.” “Ya. Aku sependapat.” Wijang mengangguk-angguk. Sejenak kemudian pemilik warung itu pun telah menghidangkan tiga pincuk nasi megana. Tetapi di dalamnya terdapat masing-masing sebutir telur. “Ha, kalian orang kaya, ya?” “Tidak. Kenapa?” “Kalian memakai lauk masing-masing sebutir telur.” “Kami tidak memesan. Tetapi pemilik kedai itulah yang memberinya.” Orang yang tidak berbaju itu memandang pemilik kedai yang sudah kembali ke tempatnya. Katanya, “Kebiasaannya memang begitu. Tanpa bertanya, maka ditaruhnya lauk yang mahal-mahal. Disini harga telur tiga keping. Padahal dimana-mana hanya dua keping.” “O. Apaboleh buat. Jika belum terlanjur, aku tidak mau diberi telur yang tiga keping harganya,” desis Paksi. “Aku tidak berani mengambil sebutir telur. Nanti anak-anakku tidak makan. Hanya jika ayam kami bertelur lebih banyak, kami sering makan telur. Dua butir telur untuk orang serumah.” “Apakah ayammu jarang bertelur?” “Setiap hari ada ayamku bertelur. Tetapi telur itu harus dijual untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lain. Aku punyai tujuh orang anak yang masih kecil-kecil.” “Bukankah Ki Sanak mempunyai sebidang sawah?” “Sawahku sudah digadaikan oleh ayahku untuk lima tahun. Jadi aku harus menunggu dua tahun lagi untuk dapat menggarap sawahku sendiri. Sekarang aku menggarap sawah orang lain, sambil bekerja menjadi blandong kayu. Istriku jual ayung-ayung. He, disini juga ada ayung-ayung buatan istriku itu. Kau tidak mencicipi? Setiap pagi aku bawa se-irig ayung-ayung. Banyak orang suka ayung-ayung buatan istriku.” “O. Aku adalah penggemar ayung-ayung,” sahut Wijang. Blandong kayu itulah yang berteriak kepada pemilik kedai, “He, mana ayung-ayungmu?” “Habis. He, apakah kau masih belum puas makan ayung-ayung di rumah?” “Bukan aku. Tetapi ketiga orang tamumu ini.” “Sayang ayung-ayungnya sudah habis.” “Nah,” blandong itu berkata dengan bangga, “bukankah ayung-ayung buatan istriku itu sangat laris.” “Ya. Sayang sekali,” desis Wijang. “Tetapi lain kali aku akan singgah dan membeli ayung-ayungmu.” Blandong itu tertawa. Katanya, “Tetapi jika kalian memang ingin mencicipinya, silahkan mampir. Rumahku tidak jauh. Mungkin masih ada beberapa bungkus ayung-ayung ada di rumah.” “Terima kasih, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. “Lain kali aku akan singgah.” Orang itu terdiam. Dihabiskannya nasi megana di pincuknya. Kemudian diteguknya minumannya sehingga mangkuknya hampir menjadi kosong. Sambil bangkit berdiri, ia pun menggeliat. Katanya, “Perutku sudah kenyang. Silahkan, Ki Sanak. Jika kau ingin ayung-ayung, singgahlah di rumahku.” “Terima kasih, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. Orang itu pun kemudian melangkah mendekati pemilik warung. Diambilnya dua keping uang dan diserahkannya kepada pemilik kedai itu. Tetapi sebelum orang itu keluar dari kedai itu, maka terdengar keributan di jalan yang membujur di depan kedai itu. Orang itu termangu-mangu sejenak. Diurungkannya langkahnya, sehingga ia kembali duduk di tempatnya semula. Tetapi nampak wajahnya yang menjadi tegang. Ternyata bukan hanya orang itu saja yang menjadi tegang. Tetapi yang lain pun menjadi ketakutan. Bahkan seorang yang duduk di sudut menjadi gemetar. “Orang-orang itu kembali lagi,” desis tukang blandong yang tidak berbaju itu. “Siapa?” “Kami tidak tahu, siapakah mereka itu.” “Apa yang mereka cari?” “Mereka mencari anak muda yang bernama Pangeran Benawa.” Wijang menarik nafas panjang. Namun Paksi lah yang bertanya, “Apakah mereka berhasil?” “Dua hari yang lalu tidak.” “Jadi mereka sudah datang kemari dua hari yang lalu?” “Ya.” Wijang tidak bertanya lagi. Keributan itu menjadi semakin dekat. Ketika Paksi berdiri dan melangkah ke pintu, pemilik kedai itu berkata, “Jangan keluar. Jangan berbuat sesuatu yang dapat menarik perhatian mereka.” Paksi mengurungkan niatnya. Ia justru melihat dua orang petani yang berlari-lari meloncati parit. Mereka melemparkan cangkul mereka di pinggir jalan. Sebenarnyalah, sejenak kemudian, empat orang berjalan di depan kedai itu. Seorang perempuan yang berpapasan dengan mereka menjadi gemetar. Sementara itu seorang di antara keempat orang membentaknya, “Kau mau kemana, he?” Perempuan itu menjawab terbata-bata, “Tidak kemana-mana.” Orang itu memperhatikan orang yang sudah separo baya sambil berkata. “Awas. Jangan berbuat macam-macam.” Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi kakinya bagaikan menjadi seberat timah. Keempat orang itu pun kemudian telah berdiri di depan kedai itu. Seorang di antaranya melangkah ke pintu kedai. Sambil berpegangan uger-uger pintu kedai itu, ia memandang ke dalamnya. Ia melihat beberapa orang yang sedang berada di dalam kedai. Mereka melihat orang yang tidak berbaju itu. Orang yang ketakutan di sudut dan tiga orang yang sedang memegangi pincuk nasi megana. Orang itu sama sekali tidak menduga bahwa seorang pangeran duduk di dalam kedai sambil memegang sepincuk nasi megana. Karena itu, maka orang itu pun kemudian berkata lantang, “Aku minta kalian tidak berbuat sesuatu yang dapat mengacaukan tugas-tugasku disini. Kali ini buruanku tidak boleh lepas. Aku sudah mendapat keterangan bahwa kemarin ia sudah berada disini.” Tidak seorang pun yang menyahut. Sementara orang itu pun berkata selanjutnya, “Jika sekali ini buruanku itu terlepas lagi, maka aku akan membawa sepuluh orang di antara penghuni padukuhan ini. Mereka tidak akan pernah kembali.” Semua orang yang berada di kedai itu masih saja terbungkam. Bahkan mereka pun menundukkan kepala. Tidak seorang pun yang berani mengangkat wajahnya, apalagi memandang orang yang berdiri di pintu itu. “Kalian harus membantu kami. Kalian harus memberitahukan kepada kami, dimana anak muda yang aku cari itu bersembunyi.” Orang-orang yang ada di dalam kedai itu termasuk pemilik kedai itu masih tetap berdiam diri. “Baiklah. Kami akan pergi. Kami akan mencari anak muda yang sejak kemarin sudah ada disini.” Sejenak orang itu memandang berkeliling. Karena orang-orang yang berada di dalam kedai masih berdiam diri sambil menunduk, maka orang itu pun tidak berbuat apa-apa. Sambil beringsut mundur orang itu berkata, “Ingat, siapa yang menggagalkan usaha kami, akan kami hancurkan. Tetapi sebaliknya, siapa yang membantu kami, akan kami beri hadiah yang sangat besar.” Tidak seorang pun yang menyahut. Semua orang yang ada di dalam kedai itu masih tetap menundukkan kepalanya. Wijang lebih senang menatap telur yang tinggal sepotong di dalam pincuknya daripada memandang orang yang berdiri di pintu itu. Dalam pada itu, orang yang berdiri di pintu itu juga melihat dua orang anak muda berada di kedai itu. Tetapi dua anak muda dengan pakaian kusut, memegangi pincuk nasi megana di sebuah kedai kecil, sehingga dua orang anak muda itu tidak menarik perhatiannya. Yang ada di dalam kedai itu sama sekali tidak menggiring perhatian orang yang berdiri di pintu itu kepada seorang pangeran. Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang itu pun telah meninggalkan kedai itu. Mereka meneruskan langkah mereka sambil menakut-nakuti orang-orang yang lewat di sepanjang jalan. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia sudah luput dari perhatian orang itu. Wijang sama sekali tidak menjadi ketakutan. Tetapi ia masih memikirkan orang-orang padukuhan yang akan dapat menjadi sasaran kemarahan dan dendam jika ia berbuat sesuatu terhadap orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu. Sementara itu, Ki Marta Brewok pun telah berpesan agar Wijang dan Paksi menghindari persoalan-persoalan yang dapat timbul dan menghambat perjalanan pulang mereka. “Marilah, kita selesaikan nasi megana ini. Kita sebaiknya segera meninggalkan tempat ini,” desis Ki Marta Brewok. Wijang mengangguk-angguk. Sementara itu Paksi pun telah menyelesaikan nasi megananya meskipun agak tertahan di lehernya, sehingga Paksi harus meneguk minumannya sampai hampir habis. Wijang tersenyum. Katanya, “Pincuknya jangan ikut ditelan, Paksi.” “Telurnya,” desis Paksi. Ki Marta Brewok pun tertawa. Namun sebelum mereka membayar dan meninggalkan kedai itu, mereka melihat seorang anak muda yang berjalan dengan wajah tengadah dan berhenti di depan kedai itu. Seorang laki-laki bersenjata golok mengiringinya di belakangnya. Sambil memandang pemilik kedai yang duduk di belakang paga rendah tempat ia menggelar dagangannya, anak muda itu menyapa, “He, Kang. Kemana istrimu? Kaukah yang sekarang berjualan nasi disini?” Pemilik kedai itu terkejut. Dipandanginya anak muda itu dengan seksama. Namun kemudian ia pun berdesis, “Wicitra. Kapan kau pulang?” “Kemarin. Aku sekarang sudah berubah. Kenapa kau masih tetap saja menjadi penjual nasi? Bahkan tanpa istrimu?” “Istriku sedang pulang untuk mengambil bumbu megana. He, kau memang berubah. Dimana kau selama ini?” Anak muda itu mengangkat wajahnya. Katanya, “Aku tidak mau hidup di tempat yang pengap seperti ini. Aku harus berubah. Dan aku berhasil.” “Jadi, apa yang kau lakukan disini sekarang?” “Aku akan menjual warisanku untuk menambah modal kerjaku. Aku seorang saudagar yang berhasil.” “Maksudmu, tanah dan rumah yang ditinggali kedua orang tuamu itu?” “Ya.” “Tetapi bukankah kedua orang tuamu masih hidup?” “Tanah dan rumah itu akhirnya akan jatuh ke tanganku juga. Apa bedanya sekarang dengan setelah ayah dan ibuku meninggal?” “Lalu, dimana ayah dan ibumu harus tinggal?” “Ia dapat tinggal bersama Paman. Bukankah umur mereka sudah tidak akan terlalu panjang lagi?” “Citra.” Wicitra tertawa. Katanya, “Jangan dibelenggu oleh kecengengan. Kematian seseorang adalah alami. Semua orang akan mati. Juga ayah dan ibu.” Wijang dan Paksi mendengar pembicaraan itu. Tiba-tiba Paksi menggamit Wijang sambil berdesis, “Apakah anak itu sudah gila?” “Sst,” potong Wijang, “biar saja ia berkicau sesuka hati.” “Tetapi telingaku terasa panas.” Wijang tertawa tertahan. Katanya, “Jangan membiasakan diri cepat tersinggung.” Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, “Satu pengenalan yang menarik. Jadi ada juga anak yang bersikap demikian terhadap orang tuanya. Tetapi kita belum tahu, apakah orang tuanya itu orang tuanya sendiri, orang tua angkat atau sekedar mengaku orang tua.” “Tetapi warisan itu?” “Sst,” Wijang berdesis. Ternyata anak muda itu melangkah ke pintu kedai. Seperti orang yang sedang mencari Pangeran Benawa, anak muda yang bernama Wicitra itu berdiri berpegangan uger-uger pintu. Dipandanginya orang-orang yang berada di dalam kedai itu..... Dengan nada tinggi Wicitra itu berkata, “Kedaimu masih juga kedai kerdil dan kotor. Orang-orang yang makan di dalam kedaimu juga orang-orang yang tidak berbaju dan berpakaian kusut.” “Kau tidak ingat lagi kepada Kang Setra Blandong?” “Tentu ingat. Ia masih juga blandong seperti dahulu. Ia masih juga makan di kedaimu tanpa baju.” Orang yang disebut Setra Blandong itu hanya memandangi Wicitra saja tanpa mengatakan sesuatu. Wicitra tertawa melihat tukang blandong yang duduk termangu-mangu, yang sebenarnya sudah akan meninggalkan kedai itu, tetapi tertahan karena kehadiran empat orang yang mencari Pangeran Benawa itu. Jika ia kemudian tidak segera pergi sepeninggal keempat orang, ia memang menunggu agar orang itu menjadi semakin jauh. Tetapi sebelum ia beranjak pergi, Wicitra itu telah datang ke kedai itu. Sementara itu pemilik kedai itu pun kemudian bertanya, “Jadi kau datang kemarin, Wicitra?” “Ya.” “Wicitra, ada yang perlu kau ketahui.” “Apa?” “Di padukuhan ini sekarang berkeliaran beberapa orang yang sedang mencari seorang anak muda. Mereka baru saja datang ke kedai ini. Mereka mengatakan bahwa anak muda yang mereka cari kemarin sudah datang ke padukuhan ini.” “Siapakah yang mereka cari?” “Pangeran Benawa.” “Pangeran Benawa? Apakah Pangeran Benawa ada di padukuhan kita?” “Yang aku cemaskan, bahwa kaulah yang dikira Pangeran Benawa itu. Karena kau juga datang ke padukuhan ini kemarin.” “O. Bukankah aku pantas jika aku dikira seorang pangeran? Ujudku memang ujud seorang pangeran.” “Tetapi dengan demikian kau terancam bahaya.” “Bahaya apa?” “Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang yang garang. Yang tadi singgah di kedai ini adalah empat orang bersenjata yang kasar dan berwajah seram.” “Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus aku lakukan?” “Sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini untuk satu dua hari. Jika mereka benar-benar menyangka bahwa kau adalah Pangeran Benawa, maka kau tentu akan mereka bawa.” “Apakah sia-sia aku berguru beberapa tahun. Pengawalku itu pun seorang gegedug yang tidak terkalahkan. Apalagi hanya empat orang. Sembilan orang pun akan dapat aku binasakan dalam waktu sekejap.” “Tetapi nampaknya keempat orang itu juga orang-orang berilmu. Mereka sudah datang beberapa hari yang lalu. Mereka kasar dan nampaknya berbahaya.” “Kau menakut-nakuti aku?” “Tidak. Tetapi orang-orang itu berbahaya bagimu. Agaknya orang-orang itu sulit diajak bicara. Apakah tidak ada seorang pun yang memberitahukan kepadamu? Ayah dan ibumu?” “Aku tidak memerlukan pemberitahuan itu, Kang. Lupakan saja. Aku justru akan menampakkan diri untuk mengetahui, apakah aku benar-benar mirip dengan seorang pangeran.” “Tetapi…. “ Ternyata tukang blandong yang lebih banyak berdiam diri itu akhirnya berbicara juga, “Sudahlah. Wicitra sudah dewasa. Ia dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan. Manakah yang baik dilakukan dan mana yang tidak.” Pemilik kedai itu memang terdiam. Namun Wicitra itulah yang melangkah mendekati blandong yang tidak memakai baju itu. Pengawalnya pun telah melangkah ke pintu pula sambil memegangi hulu goloknya yang berada di dalam sarungnya dan tergantung di lambung. “Ternyata kau cukup bijaksana Setra. Terima kasih atas kebijaksanaanmu itu. Tetapi sayang, aku sama sekali tidak memerlukannya. Kau pun tidak membuat pertimbangan dengan ikhlas. Bahkan dalam nada suaramu, tersirat perasaanmu yang jengkel terhadap sikapku. He, apakah kau ingin membuat gara-gara.” “Sama sekali tidak,” jawab Setra Blandong. “Aku hanya ingin pemilik kedai ini diam.” Wicitra tertawa. Katanya, “Apakah bajumu masih saja selembar sehingga kau tidak pernah mengenakannya kecuali jika kau pergi jagong bayen?” Setra memandang orang yang berdiri di pintu. Seorang yang bertubuh tinggi dan besar. Bersenjata golok. Wajahnya seram sedangkan matanya yang tajam seperti mata burung hantu itu memandanginya. Setra menarik nafas dalam-dalam. Ia hanya seorang blandong kayu. Mungkin ia memiliki tenaga yang besar. Tetapi sejak kecil Setra tidak pernah berkelahi. Karena itu, Setra sama sekali tidak menjawab. Ketika Wicitra meraba pundak Setra, maka ia pun berkata, “Keringatmu masih saja belum kering Setra. Tetapi mungkin minuman panasmu itulah yang membuat kau berkeringat.” Setra Blandong masih tetap diam saja. Wicitra pun tertawa pula. Katanya, “Hati-hatilah, Setra. Jika kau menebang pohon, kau harus tahu kemana arah pohon itu tumbang, agar pohon itu tidak menimpa kepalamu.” Setra Blandong itu masih saja berdiam diri. Wicitra itulah yang kemudian melangkah ke pintu. Ketika pengawalnya bergeser, Wicitra itu pun melangkah keluar sambil berkata lantang kepada pemilik kedai itu, “Aku akan mencari orang-orang yang telah menakut-nakuti penghuni padukuhan ini. Aku akan mengaku Pangeran Benawa.” Sejenak kemudian, maka Wicitra dan pengawalnya itu pun meninggalkan kedai itu. Tetapi ia masih bertanya kepada pemilik kedai itu, “Kemana mereka pergi, Kang?” Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Keempat orang itu menyusuri jalan di depan kedai itu ke timur. Namun pemilik kedai itu berkata, “Mereka pergi ke barat.” Wicitra tertawa. Tetapi bersama pengawalnya ia pergi ke timur. “Kau yang bodoh,” berkata Setra Blandong. “Anak itu datang dari arah barat.” Pemilik kedai itu mengerutkan dahinya. Namun ia pun tersenyum pula. Setra Blandong itulah yang kemudian bangkit berdiri dan berjalan keluar. Katanya, “Sejak tadi aku sudah akan pergi. Aku menyesal bertemu dengan anak yang sombong itu.” “Aku mencemaskannya,” berkata pemilik kedai itu. “Kau tidak bersalah. Kau sudah mencoba untuk memperingatkannya. Tetapi ia keras kepala. Aku bahkan menjadi jengkel karena kesombongannya. Tetapi pengawalnya itu membuat hatiku berkerut. Terus terang aku takut.” Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jangan berkecil hati. Itu wajar-wajar saja. Kita bukan orang yang terbiasa berkelahi. Meskipun kau membawa kapak, tetapi pohon yang kau tebang selalu saja pasrah.” Setra Blandong itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum. Kecut sekali. Tetapi Setra Blandong itu masih juga berkata kepada Ki Marta Brewok dan kedua orang anak muda yang menyertainya, “Jika kau perlu ayung-ayung, ambil di rumahku.” Ki Marta Brewok tertawa sambil menjawab, “Terima kasih, Ki Setra.” Sepeninggal Setra Blandong, maka Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun telah minta diri pula. Setelah membayar harga makan dan minum mereka, maka mereka pun meninggalkan kedai itu pula. Namun demikian mereka keluar dari kedai itu, Ki Marta Brewok pun berkata, “Nasib anak itu agaknya akan menjadi kurang baik.” “Anak itu terlalu sombong,” desis Paksi. “Apakah kita sebaiknya memperingatkannya. Orang itu masih nampak dari sini. Kita dapat menyusulnya dan memberitahukan bahaya yang dapat mengancamnya. Mungkin jika orang lain yang memberinya peringatan, anak itu akan mau mendengarkannya,” sahut Wijang. Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Katanya, “Belum tentu. Agaknya anak itu terlalu sombong. Kau dengar apa yang dikatakannya tentang kedua orang tuanya?” Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Anak itu memang sangat menjengkelkan.” “Tetapi biarlah kita mencobanya. Mungkin kita dapat meyakinkannya.” Ketiganya pun mempercepat langkah mereka. Namun anak muda yang bernama Wicitra itu telah hilang di tikungan. “Kita pun akan berbelok pula,” berkata Ki Marta Brewok. “Tetapi persoalan ini adalah persoalan terakhir yang akan dapat menghambat perjalanan kita. Selanjutnya kita akan langsung menempuh perjalanan pulang.” “Ya. Kita tidak menghiraukan lagi, apa pun yang terjadi di sekitar diri kita,” berkata Paksi. Tetapi Wijang justru tertawa. Katanya, “Benar begitu?” Paksi mengerutkan dahinya. Ki Marta Brewoklah yang kemudian tertawa pula. Paksi yang memberengut itu pun berkata, “Jadi akulah yang telah menghambat perjalanan pulang?” “Tidak. Bukankah aku tidak berkata begitu?” sahut Wijang. Paksi tidak berbicara lagi. Tetapi ia berjalan lebih cepat. Tongkatnya menghentak-hentak tanah yang dilewatinya. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Mereka mendengar suara keributan kecil terjadi di belakang tikungan. Dengan hati-hati ketiganya mendekat sambil melekat di dinding. Dari tempat mereka berhenti, ketiganya mendengar suara seorang laki-laki, “Sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini untuk satu dua hari.” “Tidak, kau dengar.” “Jika kau bukan anakku, aku tidak akan mempedulikanmu, Wicitra.” “O, jadi kau usir agar aku tidak sempat menuntut warisan itu lagi.” “Ambil, ambil semuanya yang akan kau ambil, Wicitra. Tetapi banyak orang dan bahkan Ki Bekel menasehatkan agar kau meninggalkan padukuhan ini. Orang-orang itu adalah orang-orang yang tidak mengenal kasihan. Mereka tentu menyangka bahwa kaulah yang mereka cari.” “Pangeran Benawa?” “Ya.” “Aku memang akan mengaku sebagai Pangeran Benawa. Bukankah tampangku pantas untuk disebut sebagai seorang pangeran.” “Tetapi kau akan ditangkap.” “Siapa yang dapat menangkap aku, biarlah dilakukannya. Aku tidak takut. Kau ajari anakmu menjadi pengecut?” “Tidak. Tentu tidak. Tetapi aku dan ibumu mohon.” “Cukup. Sebaiknya ayah menyiapkan segala sesuatunya yang akan ayah wariskan kepadaku. Besok kita menghadap Ki Bekel. Kemudian aku akan menjual semuanya untuk menambah modalku. Jika perdaganganku menjadi besar, aku akan menjadi saudagar yang paling kaya di Pajang.” “Sudah aku katakan. Ambil yang akan kau ambil.” “Jangan mencari alasan untuk menunda-nunda lagi.” “Wicitra.” “Cukup,” bentak Wicitra. “Biar aku menentukan sikapku sendiri. Aku sudah dewasa. Aku sudah tahu, manakah yang baik dan mana yang tidak baik. Mana yang berbahaya dan mana yang tidak berbahaya.” “Wicitra…, Wicitra.” “Diam, diam kau. Jangan ikuti aku.” Suara mereka tidak terdengar lagi. Langkah Wicitra semakin jauh. Sedangkan desah ayahnya masih terdengar dari balik dinding di tikungan. Ki Marta Brewok lah yang kemudian berbisik, “Marilah kita dekati orang tua Wicitra itu.” “Bukan aku yang membuat persoalan,” desis Paksi. Wijang tertawa tertahan. Katanya, “Tetapi persoalan ini masih terkait dengan persoalan terakhir yang akan melibat kita.” Ki Marta Brewok pun kemudian memberi isyarat kepada kedua orang anak muda itu untuk mengikutinya. Demikian ketiganya muncul di tikungan, ayah Wicitra itu terkejut bukan buatan. Hampir saja ia meloncat berlari untuk mengejar anaknya. Tetapi kakinya serasa menjadi seberat timah. Ki Marta Brewoklah yang kemudian berkata dengan kata-kata yang sareh, “Jangan takut, Ki Sanak. Aku tidak berniat buruk.” Dengan wajah yang tegang, ayah Wicitra itu memandang Ki Marta Brewok dan kedua anak muda yang menyertainya itu berganti-ganti. “Siapakah kalian? Apakah kalian akan mencari Pangeran Benawa? Disini tidak ada Pangeran Benawa. Yang kalian sangka Pangeran Benawa itu adalah anakku. Namanya Wicitra. Ia sama sekali tidak tahu-menahu tentang Pangeran Benawa.” “Ki Sanak, kami tidak sedang mencari Pangeran Benawa. Kami sama sekali tidak mengenalnya, bahkan baru sekarang kami mendengar namanya.” “Jadi, apa yang kalian cari disini?” “Kami tidak mencari apa-apa disini, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. “Kami hanya lewat. Di tikungan ini kami mendengar suara ribut-ribut, sehingga kami berbelok kemari.” Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi kalian tidak mencari Pangeran Benawa?” “Tidak, Ki Sanak.” “Tetapi banyak orang yang mengatakan bahwa sekelompok orang sedang mencari Pangeran Benawa disini. Pangeran Benawa yang kemarin sudah datang di padukuhan ini. Sedangkan anak muda yang kemarin datang di padukuhan ini adalah anakku. Aku cemas, bahwa anakku itulah yang disangka Pangeran Benawa.” “Apakah anakmu mirip dengan Pangeran Benawa?” bertanya Wijang. “Aku tidak tahu. Aku belum pernah melihat Pangeran Benawa. Yang jelas mirip adalah kemudaannya. Menurut kata orang, Pangeran Benawa itu masih muda. Anakku juga masih muda.” “Tetapi aku dengar, Ki Sanak justru bertengkar tadi.” “Itu tadi anakku. Aku mencoba untuk membujuknya agar ia bersedia meninggalkan padukuhan ini barang satu dua hari sampai orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu pergi.” “Apakah orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu mirip kami?” “Yang kami dengar adalah empat orang. Mungkin saja yang seorang baru mempunyai keperluan lain.” “Tetapi orang itu bukan kami,” jawab Ki Marta Brewok yang selanjutnya berkata, “Bagaimana tanggapan anakmu?” “Anak itu menolak. Ia justru ingin mengaku sebagai Pangeran Benawa itu sendiri.” “Apakah anakmu tidak takut kepada orang-orang yang sedang mencari Pangeran Benawa itu? Mereka tentu orang-orang yang berilmu tinggi, karena mereka tahu bahwa Pangeran Benawa itu pun berilmu tinggi.” “Seharusnya anakku menyadari akan hal itu. Tetapi anakku pun merasa memiliki ilmu. Ia baru saja selesai berguru. Sementara itu seorang pengawalnya juga berilmu tinggi.” “Siapakah pengawalnya itu?” “Aku tidak tahu, tetapi ia adalah orang yang diupah oleh anakku. Ia seorang upahan yang setia.” “Seharusnya anakmu mendengar nasehatmu.” “Apakah kalian bersedia menolong aku?” bertanya ayah Wicitra itu. “Maksud Ki Sanak?” bertanya Ki Marta Brewok. “Tolong, beri tahu anakku. Kau dapat menakut-nakutinya atau dengan cara apa pun juga.” “Kemana anakmu sekarang?” “Mungkin ia pulang dan menunggu orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu di rumah. Atau justru anak itu juga sedang mencari keempat orang yang mencari Pangeran Benawa itu.” “Aku tidak berkeberatan menemui anakmu dan mencoba mencairkan hatinya yang keras itu.” “Terima kasih, Ki Sanak. Marilah, aku mohon Ki Sanak bersedia singgah di rumahku.” Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun kemudian telah mengikuti ayah Wicitra itu. Mereka akan menemui Wicitra dan mencoba untuk menyelamatkannya dari tangan orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu. Demikianlah, sejenak kemudian, ketiga orang itu pun dipersilahkan untuk duduk di pringgitan. Namun ternyata bahwa Wicitra masih belum pulang. “Anak itu membuat jantungku kuncup,” berkata ayah Wicitra. “Ia adalah anakku satu-satunya. Meskipun ia telah menyakiti hatiku dengan permintaannya yang sebenarnya tidak masuk akal, tetapi bagaimanapun juga ia adalah anakku.” “Apa yang diminta oleh anak itu?” bertanya Ki Marta Brewok. “Rumah dan tanahnya. Sawah dan pategalan yang ada. Anakku akan menjualnya untuk menambah modal usahanya yang nampaknya menjadi semakin maju.” “Lalu, Ki Sanak akan tinggal dimana?” “Itu tidak menjadi soal. Aku dan istriku dapat tinggal dimana-mana. Bukankah aku hanya berdua? Aku dapat tinggal di rumah adikku atau di rumah kakak perempuanku atau dimana saja. Bahkan sebuah kandang kerbau pun cukup untuk kami tempati berdua.” Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Sementara Wijang dan Paksi yang juga masih muda itu tersentuh hatinya. Mereka melihat betapa besar kasih orang tua kepada anaknya, meskipun anaknya telah melakukan pemerasan yang tidak masuk akal. Namun pembicaraan mereka pun terputus. Sejenak kemudian mereka melihat Wicitra memasuki halaman rumahnya bersama seorang pengawalnya yang menakutkan itu. Wicitra itu berhenti di tangga pendapa rumahnya. Dengan tegang ia memandang ketiga orang yang duduk di pringgitan bersama ayahnya. Namun kemudian dengan lantang ia pun berkata, “Apakah kau orang-orang yang sedang mencari Pangeran Benawa di padukuhan ini?” “Bukan Wicitra,” ayahnyalah yang menyahut. “Marilah. Duduklah. Mereka ingin berbicara kepadamu.” “Siapakah mereka?” bertanya Wicitra. Namun setelah memperhatikan ketiga orang itu dengan seksama Wicitra itu pun berkata, “Bukankah mereka orang-orang yang tadi ada di kedai itu?” “Ya, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. “Untuk apa kalian datang kemari? Kalian akan memeras keluarga kami dan mengancam untuk memberitahukan kehadiranku di padukuhan ini?” “Jangan berprasangka buruk, Wicitra. Duduklah. Mereka akan berbicara kepadamu. Sebentar saja.” Wicitra memandang Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi berganti-ganti. Namun tanpa naik ke pendapa Wicitra itu berkata, “Apa yang akan kau katakan?” “Duduklah, Wicitra,” minta ayahnya. Tetapi jawab Wicitra, “Aku tidak tuli. Katakan.” Ki Marta Brewok termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Wicitra. Aku hanya ingin memperingatkanmu. Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang yang berilmu. Karena itu, seperti yang dikatakan oleh ayahmu, oleh pemilik kedai itu, maka sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini barang dua tiga hari.” “Persetan dengan penghinaanmu itu. Kalau aku tadi tidak mengingat pemilik kedai itu kawanku bermain, aku sudah menyumbat mulutnya dengan daun pisang. Ia menganggap aku pengecut yang harus bersembunyi. Sekarang kau datang juga untuk menghina aku. Aku peringatkan kau sekali lagi. Jangan membuat aku marah.” “Wicitra,” berkata Ki Marta Brewok kemudian, “aku minta maaf, bahwa mungkin kata-kataku menyinggung perasaanmu. Tetapi orang-orang itu benar-benar berbahaya bagimu.” “Cukup,” teriak Wicitra. “Sekarang kalian pergi. Aku akan mencari orang-orang itu dan mengatakan kepada mereka bahwa akulah Pangeran Benawa itu.” “Aku mohon, kau mau mempertimbangkannya, Wicitra.” “Diam, atau aku harus membungkam mulutmu. Pergi. Cepat pergi atau aku akan mengusir kalian.” Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Kepada ayah Wicitra, Ki Marta Brewok itu berkata, “Maaf, Ki Sanak. Aku sudah mencoba. Tetapi anakmu tidak mau mendengarkannya.” “Pergi, cepat. Dengar. Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu sebentar lagi tentu akan datang kemari. Aku sudah berpesan kepada banyak orang, bahwa akulah Pangeran Benawa dan tinggal di rumah ini selama aku berada di padukuhan ini.” “Bagaimana mungkin hal itu kau lakukan, Wicitra,” sahut ayahnya. “Orang-orang padukuhan ini mengenalmu sejak kau kanak-kanak. Mereka tahu bahwa kau sama sekali bukan pangeran.” “Aku tidak peduli. Tetapi itu lebih baik bagi mereka. Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu menakut-nakuti rakyat padukuhan ini. Mereka akan dapat merusak padukuhan ini jika mereka tidak menemukan Pangeran Benawa. Karena itu, aku sudah berpesan kepada mereka, agar mereka menyurukkan orang-orang itu ke tanganku. Aku akan membinasakan mereka.” “Tetapi mereka orang-orang berilmu,” sahut ayahnya. “Aku tidak takut,” Wicitra itu berteriak. “Aku akan menunggu mereka disini.” Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun kemudian beringsut dan turun dari pendapa. Sementara itu Wicitra masih berteriak, “Cepat, sebelum aku mendorong kalian dengan ujung pedang.” Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun segera meninggalkan halaman rumah itu. Namun rasa-rasanya mereka tidak dapat meninggalkan keluarga yang malang itu begitu saja. Menurut dugaan Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi, maka Wicitra dan pengawalnya itu tidak akan mungkin dapat mengalahkan keempat orang yang sedang mencari Pangeran Benawa itu. Keempat orang itu pun tentu berbekal pengertian, bahwa Pangeran Benawa adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Karena itu, maka demikian mereka keluar dari regol rumah Wicitra, mereka pun segera meloncat ke halaman seberang dan bersembunyi di belakang dinding. Agaknya pemilik rumah itu sudah lama menutup pintu rumahnya. Dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh Wicitra, maka ia telah berpesan kepada banyak orang yang ditemuinya, agar mereka sengaja memberitahukan kepada orang-orang yang mencari Pangeran Benawa bahwa Pangeran Benawa ada di rumah itu. “Akulah yang mereka cari,” berkata Wicitra. “Orang-orang di Pajang menyebutku Pangeran Benawa. Mereka iri akan keberhasilanku, sehingga mereka mencari aku.” Orang-orang padukuhan itu tidak banyak yang tahu arti dari sebuah sebutan. Ada di antara mereka yang percaya saja, bahwa Wicitra telah berganti nama dengan Pangeran Benawa. Untuk beberapa lama Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi menunggu. Mereka pun yakin, bahwa keempat orang yang mencari Pangeran Benawa itu akan datang ke rumah Wicitra. “Ternyata ada juga segi baiknya pada Wicitra,” desis Paksi. “Apa?” bertanya Wijang. “Ia tahu bahwa jika orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu tidak menemukannya, maka ia akan menumpahkan kemarahannya kepada penghuni padukuhan ini.” “Tetapi bukan itu yang penting baginya. Wicitra yang baru saja menyelesaikan laku di sebuah perguruan, ingin mencoba kemampuannya di samping kesombongannya karena ia sudah berhasil menjadi orang yang berkecukupan dalam umurnya yang masih muda itu.” “Ya. Keberhasilannya itu telah membuatnya menjadi sangat sombong dan bahkan lupa diri. Kasihan kedua orang tuanya yang sangat mencintainya. Ia adalah anak satu-satunya yang diharapkan dapat menyambung alur keluarganya. Jika ia dihancurkan oleh orang-orang yang mencari Pangeran Benawa, maka terputuslah alur keluarga itu.” “Tetapi Pangeran Benawa tidak akan dibunuh. Ia harus ditangkap hidup-hidup,” desis Paksi. “Tetapi jika akhirnya diketahui bahwa ia bukan Pangeran Benawa, ia bukan saja dibunuh. Tetapi ia akan mengalami perlakuan yang sangat pahit sebelum maut benar-benar merenggutnya,” sahut Ki Marta Brewok. Paksi mengangguk-angguk. Bahkan Paksi menjadi ngeri membayangkan apa yang akan dialami Wicitra itu jika akhirnya diketahui bahwa ia bukan Pangeran Benawa. Dalam pada itu, Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi itu sudah menunggu beberapa lama. Bahkan Paksi mulai merasa mengantuk karena silirnya angin yang berhembus menerpa wajahnya. Katanya, “Aku justru mengantuk. Perutku kenyang, sementara hembusan angin terasa lembut.” “Jika kau tertidur, kau akan ditinggal disini,” desis Wijang. Paksi tertawa. Katanya, “Kenapa kau tidak ikut tidur saja? Jika kau tidak dapat tidur, jangan menjadi iri.” Wijang mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, “Kau kira aku tidak mengantuk? Tetapi siapa yang tertidur, akan ditinggal.” “Jika Ki Marta Brewok yang tertidur?” “Kita akan ikut tidur,” jawab Wijang. Ki Marta Brewok pun tertawa. Dalam pada itu, mereka pun segera terdiam ketika mereka mendengar keributan kecil di jalan sebelah. Mereka mendengar seseorang membentak, “Dimana rumah itu?” Terdengar jawaban dengan suara bergetar. Agaknya orang yang menjawab itu berada dalam keadaan ketakutan. Katanya, “Itu, itu, Ki Sanak. Itu rumahnya.” “Rumah Pangeran Benawa?” “Maksudku, Pangeran Benawa ada disitu.” “Mari ikut aku. Jika kau berbohong, maka kepalamu akan terpisah dari tubuhmu.” “Tetapi aku tidak tahu apa-apa.” “Persetan. Kaulah yang telah membawa aku kemari.” Tidak terdengar jawaban. Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun telah memperhatikan perkembangan keadaan itu dengan seksama. Sejenak kemudian, mereka mendengar geramang orang-orang itu memasuki regol halaman rumah Wicitra. Dengan hati-hati Ki Marta Brewok pun mulai mengintip dari atas dinding halaman yang dibayangi oleh dedaunan perdu yang rimbun. “Mereka sudah masuk,” desis Ki Marta Brewok. Wijang dan Paksi pun kemudian telah berdiri pula dan melihat pintu regol halaman rumah Wicitra yang terbuka. Bertiga mereka berusaha untuk dapat melihat apa yang terjadi di halaman rumah seberang jalan. Meskipun tidak dalam keseluruhan, namun mereka dapat mengetahui serba sedikit apa yang terjadi disana. Ternyata Wicitra sudah berdiri di tangga pendapa rumahnya sambil bertolak pinggang. Dengan lantang Wicitra itu bertanya, “Kalian inikah yang mencari Pangeran Benawa di padukuhan ini?” Keempat orang yang garang itu tiba-tiba menjadi termangu sejenak. Anak muda yang berdiri di tangga pendapa itu sama sekali tidak menunjukkan kecemasan. “Kenapa kalian terdiam? Apakah kalian tuli dan bisu?” Seorang di antara keempat orang itu melangkah maju sambil berdesis, “Siapakah kau?” “Aku adalah orang yang kalian cari.” Orang-orang itu saling berpandangan. Seorang di antara mereka berkata, “Kami memang belum pernah bertemu dengan orang yang bernama Pangeran Benawa. Tetapi ciri-ciri Pangeran Benawa sama sekali tidak sama dengan ciri-ciri yang ada padamu, anak muda.” “Persetan dengan ciri-ciri,” bentak Wicitra. “Apa yang sebenarnya kau kehendaki dengan Pangeran Benawa?” “Kami mendapat perintah untuk menangkap Pangeran Benawa hidup-hidup. Nah, jika kau memang Pangeran Benawa, menyerahlah. Pimpinan kami yang akan mengenalimu nanti. Jika kau memang Pangeran Benawa, maka persoalannya kemudian adalah persoalanmu dengan pimpinanku. Tetapi jika kau bukan Pangeran Benawa, maka kau akan berurusan dengan aku, karena aku akan menjadi sangat malu, bahwa aku telah menangkap orang yang keliru.” Wicitra tertawa. Katanya, “Kalian memang orang-orang yang dungu. Seharusnya kalian tahu, bahwa aku memiliki ilmu yang tidak ada batasnya. Apakah kalian bermimpi untuk dapat mengalahkan Pangeran Benawa?” “Kami tahu bahwa Pangeran Benawa mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Tetapi sebagaimana kau lihat, bahwa kami datang berempat. Seberapa pun tinggi ilmu Pangeran Benawa, maka kau tidak akan dapat melawan kami.” “Aku juga tidak sendiri,” desis Wicitra. “Seorang pengawalku akan ikut bersamaku membantai kalian berempat. Jangan menyesal kalian berempat akan berkubur disini.” Keempat orang itu mulai tersinggung. Seorang di antaranya berkata tidak kalah lantangnya, “Menyerahlah. Jika kami harus mempergunakan kekerasan, mungkin kami akan melukai kulitmu. Apalagi jika kemudian ternyata kau bukan Pangeran Benawa, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk. Tetapi jika kau menyerah, maka kau akan mendapat keringanan.” “Cukup,” teriak Wicitra. “Sekarang kau mau apa? Lakukan apa yang ingin kau lakukan.” Keempat orang itu tiba-tiba saja sudah melangkah mengambil jarak yang satu dengan yang lain. Yang tertua di antara mereka pun berkata, “Kami harus menangkap Pangeran Benawa hidup-hidup. Tetapi jika karena perlawanannya Pangeran Benawa mati, aku harus membawa tubuhnya menghadap pemimpin kami.” “Persetan,” geram Wicitra. “Bersiaplah. Siapakah yang akan mati lebih dahulu.” Wicitra kemudian melangkah turun dari tangga pendapa. Anak muda itu nampaknya memang tidak mengenal takut sama sekali. Meskipun empat orang yang datang kepadanya itu nampak garang, tetapi dengan wajah tengadah Wicitra siap menghadapi mereka. Sementara itu, seorang pengawalnya yang tidak kalah garangnya telah bergeser pula justru mendekati Wicitra yang sudah berdiri di halaman. Ayah Wicitra berdiri dengan tubuh gemetar. Ia menjadi bingung. Rasa-rasanya ia ingin meloncat dan memberitahukan bahwa Wicitra bukan Pangeran Benawa. Tetapi dengan demikian juga akan dapat berakibat buruk. Justru karena anak muda itu bukan Pangeran Benawa, maka ia akan diperlakukan dengan semena-mena. Apalagi setelah Wicitra mengaku sebagai Pangeran Benawa. Bahkan mungkin Wicitra itu akan dibantai dengan cara yang sangat keji. Tetapi jika ia masih dianggap sebagai Pangeran Benawa, maka masih ada kemungkinan untuk tetap hidup, meskipun pada saatnya ia diketahui bukan Pangeran Benawa, maka segala-galanya akan berakhir. Ayah Wicitra itu menjadi sangat bingung. Dalam keadaan yang demikian, ibu Wicitra pun telah membuka pintu pringgitan dan menjenguk apa yang telah terjadi di halaman rumahnya. Ketika ia melihat anaknya dan seorang pengawalnya berhadapan dengan empat orang yang garang, maka ia pun berlari ke arah suaminya. Sambil mengguncang lengan suaminya, ibu Wicitra itu pun berkata, “Kakang. Lakukan sesuatu untuk menyelamatkan anakmu, Kakang.” “Aku sudah berusaha, Nyi. Tadi, tiga orang sudah berusaha membantu menyadarkan Wicitra. Tetapi anak itu tidak mau mendengarkannya. Orang-orang itu bahkan telah diusirnya dengan kasar, sehingga aku sudah kehilangan akal.” Dalam pada itu, pertempuran di halaman itu pun sudah dimulai. Wicitra harus berhadapan dengan dua orang yang garang itu, sementara pengawalnya pun harus menghadapi dua orang yang lain. Pertempuran itu pun dengan cepat menjadi sengit. Wicitra yang merasa memiliki ilmu yang tinggi, segera melibat kedua orang lawannya. Namun Wicitra itu terkejut. Ternyata kedua lawannya itu tidak semudah yang dibayangkannya untuk dapat ditundukkan. Pada benturan-benturan awal, Wicitra sudah merasakan, betapa tangannya yang menggenggam pedangnya menjadi pedih. Kedua orang lawannya itu ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar, serta kecepatan gerak yang tinggi. Untuk beberapa saat lamanya, Wicitra mampu bertahan. Namun kemudian tekanan lawannya itu terasa menjadi semakin berat sehingga Wicitra setiap kali harus berloncatan surut. “Iblis manakah yang telah merasuk ke dalam tubuh mereka,” geram Wicitra di dalam hatinya. Karena itu, maka Wicitra harus mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya untuk mempertahankan dirinya. Sementara itu, pengawalnya juga mengalami kesulitan melawan dua orang lawan yang tidak kalah garangnya. Goloknya yang besar sekali-sekali telah membentur senjata lawannya. Pedang-pedang yang besar dan panjang. Dalam waktu yang terhitung singkat, pengawal Wicitra itu sudah harus berloncatan surut untuk mengambil jarak dan memperbaiki keadaannya, sehingga akhirnya Wicitra itu telah berdiri terpisah beberapa langkah dari pengawalnya. Gambaran Wicitra tentang lawan-lawannya memang jauh berbeda. Wicitra mengira bahwa mereka tidak lebih dari perampok-perampok yang hanya dapat berteriak-teriak dan menggertak. Namun ternyata mereka benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Apalagi Wicitra harus menghadapi dua orang lawan sekaligus. Namun Wicitra masih beruntung, bahwa lawannya berusaha untuk tidak membunuhnya. Kedua lawannya masih berusaha untuk dapat menundukkan Wicitra tanpa melukainya. Karena itu, maka kedua orang lawan Wicitra itu dengan sengaja telah berusaha memancing Wicitra agar mengerahkan tenaganya, sehingga pada suatu saat ia akan menjadi tidak berdaya lagi. Tetapi pengawal Wicitra itu mengalami nasib yang buruk. Ia sama sekali tidak diperlukan oleh keempat orang yang sedang memburu Pangeran Benawa itu. Karena itu, maka kedua orang lawannya pun sama sekali tidak menahan diri. Demikian mereka bertempur, maka serangan-serangan kedua lawan pengawal Wicitra itu datang beruntun sehingga pengawal yang nampak garang itu segera terdesak. Bahkan pertahanannya pun mulai ditembus oleh serangan-serangan lawannya. Ia berteriak marah ketika lengannya tergores pedang lawannya. Tetapi kemudian justru pundaknya telah terkoyak. Ketika kemudian lambungnya menganga, maka ia pun menjadi semakin lemah. Darah yang mengalir dari tubuhnya semakin lama semakin menjadi deras, sehingga tenaganya pun menjadi cepat menyusut. Kedua lawannya sama sekali tidak membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Serangan-serangan mereka justru semakin menentukan. Pengawal Wicitra itu kemudian berteriak nyaring ketika ujung pedang lawannya menghunjam ke dadanya. Sejenak kemudian, maka pengawal Wicitra itu pun terhuyung-huyung. Ketika ujung pedang itu dicabut, maka ia pun jatuh tertelungkup. Pengawal Wicitra itu tidak sempat menggeliat. Nafasnya pun telah putus pula, sementara tubuhnya terbaring diam di tanah. Wicitra terkejut. Ia terlalu yakin akan kemampuan pengawalnya, sehingga kematiannya benar-benar telah mengguncang jantungnya. Sementara itu, kedua orang lawannya semakin menekannya. Apalagi ketika kedua orang yang telah membunuh pengawalnya itu telah ikut mengepungnya pula. “Kau tidak mempunyai kesempatan lagi,” berkata salah seorang dari orang-orang yang mengepungnya itu. “Jika kau menyerah, kau masih mempunyai kesempatan hidup. Tetapi jika kau melawan, mungkin senjata kami akan menggores kulitmu atau bahwa akan menghunjam ke dadamu.” Wicitra menjadi bingung. Empat orang telah mengepungnya di tengah-tengah halaman rumahnya. Ia benar-benar menjadi kehilangan akal. Jika ia berterus terang bahwa sebenarnya ia bukan Pangeran Benawa, maka ia tentu akan dibunuh juga. Wicitra menyesali kesombongannya. Ia tidak mengira bahwa dunia kanuragan yang mulai diterjuninya adalah dunia yang sangat buas dan liar. Kedua orang tuanya menjadi sangat bingung. Ibunya menangis tertahan-tahan, sementara ayahnya mencoba untuk menenangkannya. Tetapi hati ayahnya itu sendiri sama sekali tidak menjadi tenang. Dalam keadaan yang sangat gawat itu, Wicitra benar-benar telah kehilangan akal. Ketika empat ujung pedang teracu ke tubuhnya, maka tiba-tiba saja ia melemparkan senjatanya. Sambil berjongkok Wicitra itu pun merengek seperti kanak-kanak, “Ampun. Aku mohon ampun.” Keempat orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Katakan yang sebenarnya, apakah kau Pangeran Benawa?” “Tidak. Bukan, aku bukan Pangeran Benawa.” “Anak iblis kau. Kau sudah mencoba membohongi aku. Bukan karena kebenaran Pangeran Benawa itu yang sangat menyakitkan, tetapi kau sudah mencoba mempermainkan aku. Menganggap bahwa aku dan kawan-kawanku tidak lebih dari pencuri ayam yang dapat dipermainkan. Kau terlalu sombong dan terlalu merendahkan kami.” “Bukan maksudku. Aku tidak bermaksud apa-apa.” “Kenapa kau mengaku Pangeran Benawa? Bukankah itu berarti bahwa kau telah menantang kami?” “Tidak. Aku mohon ampun.” Dalam pada itu, ibu Wicitra itu pun telah berlari menghambur ke halaman. Dengan serta-merta ia pun memeluk anaknya sambil menangis. Katanya, “Aku mohon ampun bagi anakku. Ia anakku satu-satunya. Ia memang manja. Tetapi ia anak yang baik.” “Persetan dengan anakmu yang hanya satu,” seorang di antara keempat orang itu justru berteriak. “Kaukah yang menyuruh anakmu mengaku Pangeran Benawa? Kau ingin punya anak seperti Pangeran Benawa? Atau kau bangga anakmu disangka Pangeran Benawa?” “Tidak, aku sama sekali tidak menyuruhnya.” Namun tiba-tiba ayah Wicitra itulah yang menjawab, “Akulah yang menyuruhnya mengaku Pangeran Benawa. Alangkah senangnya punya anak yang dikagumi. Yang ditakuti tetapi juga dicari banyak orang. Karena itu, jika hal itu kau anggap salah, akulah yang bersalah. Jika kesalahan itu harus dihukum, hukumlah aku. Kau dapat membunuhku. Tetapi jangan anakku. Ia tidak tahu apa-apa. Ia anak baik. Ia sama sekali tidak sombong sebagaimana kalian duga.” “Kau ayah yang gila. Kau surukkan anakmu ke dalam maut. Kau dorong anakmu sehingga terjerumus ke dalam jurang yang penuh dengan batu-batu karang yang runcing.” “Aku memang bersalah. Karena itu, yang sepantasnya dihukum mati adalah aku. Bukan anakku.” “Aku tidak peduli. Tetapi jika yang kau katakan itu benar, kau dan anakmu harus mati. Kalian berdua sudah menghina kami.” “Ki Sanak,” teriak ibu Wicitra yang masih memeluk anaknya, “jika harus ada dua orang yang dihukum mati, biarlah suamiku dan aku sajalah yang mati, jangan anakku.” “Cukup,” teriak orang yang tertua di antara keempat orang itu. “Kalian tidak dapat memerintah aku. Biarlah terserah kepadaku, apa yang akan aku lakukan. Jika kalian membuat marah aku dan kawan-kawanku, maka kalian akan mengalami nasib yang paling buruk. Siapa pun yang akan aku hukum, maka anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu akan mati.” “Jangan, jangan,” teriak ibu Wicitra. Wicitra sendiri menangis. Ia menjadi sangat ketakutan. Kegarangannya tiba-tiba telah larut hanyut bersama arus air matanya. Katanya tersendat-sendat, “Aku mohon ampun. Aku mohon ampun. Aku mohon hidup.” “Pengecut licik. Melihat kesombonganmu, tidak pantas kau merengek seperti ini. Ayo bangkit. Lebih baik kau mati dengan senjata di tanganmu daripada mati aku jerat kakimu dan aku gantungkan tubuhmu di dahan pohon nangka itu. Ayo cepat. Ambil pedangmu. Kita akan bertempur seorang melawan seorang.” “Tidak, aku tidak berani. Aku mohon ampun.” “Cepat.” Adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja ayah Wicitra itu melangkah dengan tenang ke depan. Dipungutnya pedang Wicitra. Kemudian ia berdiri tegak dengan pedang di tangan sambil berkata lantang, “Aku yang akan melawanmu. Aku tidak takut mati. Tetapi aku mohon anakku hidup.” “Tutup mulut, laki-laki gila. Sudah aku katakan, siapa pun yang akan mati, tetapi anak ini harus mati. Kau dengar? Tidak ada gunanya kau melindungi anakmu. Tetapi berkumpullah kalian bertiga disini, berbaringlah. Aku akan menusuk dadamu seorang demi seorang.” Suasana menjadi sangat tegang. Sementara itu, orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu berteriak lantang, “Cepat. Kalian harus berbaring semua atau mati perlahan-lahan?” Ketegangan telah mencengkam jantung ayah, ibu dan Wicitra sendiri yang masih saja merengek. Tetapi justru karena itu, orang tertua di antara keempat orang itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja kakinya menyambar mulut anak itu dengan kerasnya. “Diam kau monyet kecil. Atau aku akan mengulitimu hidup-hidup?” Mulut Wicitra pun menjadi berdarah. Tetapi ia tidak dapat diam. Ia tetap menangis merengek-rengek. Namun pada keadaan yang demikian, tiba-tiba tiga orang telah memasuki regol halaman rumah itu. Dengan lantang yang tertua di antara mereka, Ki Marta Brewok berteriak nyaring, “Ha, akhirnya kita dapat menemukan Pangeran Benawa disini.” Keempat orang yang sudah siap membunuh itu terkejut. Mereka serentak berpaling..... “Kami datang untuk menjemput Pangeran Benawa,” berkata Ki Marta Brewok. Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Seorang di antara mereka pun kemudian bertanya, “Yang mana yang kau maksud dengan Pangeran Benawa.” “Yang mana? Apakah kalian belum pernah mengenal Pangeran Benawa?” “Belum,” jawab yang lain. “Anak muda itu adalah Pangeran Benawa,” jawab Ki Marta Brewok sambil menunjuk Wicitra. “Ia bukan Pangeran Benawa. Ia tidak lebih dari seorang pembohong yang sombong, tetapi sekaligus pengecut yang cengeng.” Ki Marta Brewok tertawa. Katanya, “Begitu sempurnanya ia mengelabuhi kalian, sehingga kalian percaya bahwa ia bukan Pangeran Benawa. Demikian pandainya ia menyamarkan dirinya.” “Tidak. Ia bukan Pangeran Benawa. Kami sudah siap membantainya bersama ayah dan ibunya, yang berusaha melindunginya.” Ki Marta Brewok tertawa berkepanjangan. Katanya, “Cobalah kau berani benar-benar membunuhnya. Maka kalian akan menjadi adeg pengamun-amun.” Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Marta Brewok berkata, “Nah, serahkan saja Pangeran Benawa kepadaku. Aku akan mengantarkannya kembali ke istana.” Orang tertua di antara keempat orang itu memandang Wicitra yang ketakutan sejenak. Kemudian memandang ayah dan ibunya. Ketika kemudian ia memandang Ki Marta Brewok, maka ia pun kemudian berkata, “Kau jangan menambah kemarahan kami, Ki Sanak. Siapakah kalian dan apakah sebenarnya kepentingan kalian?” “Serahkan Pangeran Benawa kepadaku.” “Tidak ada Pangeran Benawa disini,” jawab orang itu. “Jangan menipu aku. Aku sudah mengenal Pangeran Benawa dengan baik. Anak muda itu adalah Pangeran Benawa.” “Persetan,” geram orang itu. “Apakah ia Pangeran Benawa atau bukan, tetapi aku tidak akan menyerahkannya. Kami sudah bersepakat untuk membunuhnya. Membunuh kedua orang tua ini pula. Mereka telah menghinakan kami dengan mengaku sebagai Pangeran Benawa.” “Jika orang itu menurut pendapatmu memang bukan Pangeran Benawa, serahkan saja kepadaku. Aku akan menukarnya dengan apa yang kau kehendaki.” Keempat orang itu benar-benar menjadi bimbang. Namun ketika ia melihat mulut Wicitra berdarah, maka mereka pun yakin bahwa orang itu bukan Pangeran Benawa. Namun demikian mereka memang tidak berniat menyerahkan anak muda itu karena mereka sudah berniat membunuhnya saja. Sementara itu, Ki Marta Brewok pun berkata, “Ki Sanak. Jika tidak kau serahkan Pangeran Benawa itu, maka kita akan saling berbenturan. Dan itu sangat tidak menguntungkanmu, karena kami bekerja untuk Harya Wisaka.” “Setan kau. Kami juga bekerja untuk Harya Wisaka,” teriak orang tertua di antara keempat orang itu. “Ada bedanya, Ki Sanak. Kalian hanya orang-orang upahan. Tetapi kami adalah keluarga Harya Wisaka itu sendiri.” “Kau jangan mengigau. Kami adalah para petugas dari Harya Wisaka. Kami mendapat kuasa untuk membawa Pangeran Benawa menghadap langsung Harya Wisaka itu.” “Jadi, kenapa Pangeran Benawa itu akan kau bunuh?” “Persetan.” Ki Marta Brewok itu tertawa. Katanya, “Ternyata kau tidak mengenal Harya Wisaka dengan baik. Karena itu, maka biarlah aku memberitahukan kepada kalian, bahwa kalian sudah tidak diperlukan lagi. Demikian Pangeran Benawa dapat kami ketemukan, maka orang-orang upahan memang harus dimusnahkan semuanya. Hanya jika kalian dengan sukarela mengikuti kami dan menyerahkan diri kepada Harya Wisaka, maka kami tidak akan membunuhmu.” “Gila. Ternyata kalian tidak kalah sombongnya dengan anak muda ini. Karena itu, bersiaplah. Kalianlah yang akan mati lebih dahulu. Kami bertiga akan melawan kalian bertiga, seorang di antara kami akan menjaga anak muda yang gila ini.” Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kenapa kita harus mempergunakan kekerasan?” “Kalian adalah iblis-iblis yang harus dibinasakan.” Ki Marta Brewok segera memberi isyarat kepada Paksi dan Wijang untuk berpencar. Katanya, “Jika kalian melawan, aku tidak mempunyai pilihan lain.” Tiga orang di antara keempat orang itu pun telah bergerak. Yang tertua telah menunjuk seorang di antara mereka untuk menunggui Wicitra, “Jangan kau bunuh. Tunggu. Aku sendiri ingin membunuhnya dengan caraku.” Orang itu mengangguk. Sementara ketiga orang kawannya pun telah mempersiapkan diri menghadapi Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi. Demikian Paksi pun segera memutar tongkatnya, sementara senjata lawannya sudah mulai teracu pula. “Gila,” geram lawan Paksi. “Kau kira tongkat semacam itu akan dapat kau pergunakan sebagai senjata?” “Jangan menilai tongkatku,” sahut Paksi. “Sudah seribu kali aku mempergunakannya. Aku mengenal tongkatku ini seperti aku mengenali tangan dan kakiku sendiri. Karena itu, aku tahu seberapa jauh kemampuannya.” Lawan Paksi itu menggeram. Dengan garangnya ia memutar senjatanya. Kemudian senjata itu terjulur lurus menggapai ke arah dada. Paksi sengaja meloncat mundur. Ia belum membenturkan tongkatnya pada senjata lawannya itu. Orang-orang itu pun kemudian bertempur tanpa mengekang diri. Seperti saat mereka bertempur melawan pengawal Wicitra, maka mereka berusaha untuk secepatnya menyelesaikannya. Menurut penilaian mereka, anak-anak muda itu ilmunya tentu tidak akan menyamai orang yang bertubuh kekar dan berwajah garang, yang menjadi pengawal orang yang mengaku Pangeran Benawa itu. Karena itu, maka lawan Paksi pun itu berharap bahwa dalam waktu dekat ia dapat menyelesaikannya. Tetapi ketika senjata mereka mulai berbenturan, maka orang itu pun segera menyadari, bahwa anak muda yang bersenjata tongkat itu memiliki ilmu yang cukup. Bahkan lawan Paksi itu menduga, bahwa anak muda itu memiliki kemampuan lebih tinggi dari anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu. Ketika orang itu menghentakkan kemampuannya, maka Paksi memang agak terkejut dan berloncatan surut. Lawannya yang garang itu dengan kasar telah membentak, “Jangan menyesali diri. Kau akan mati dengan penuh penyesalan.” Orang itu pun benar-benar telah melibat Paksi dengan tanpa dikekang sama sekali. Paksi pun meyakini, bahwa orang-orang itu memang orang-orang yang tidak berjantung. Pembunuh-pembunuh upahan yang dapat menghunjamkan pedangnya di tubuh lawannya dengan tanpa berkedip sama sekali. Paksi pun meyakini bahwa orang itu benar-benar ingin membunuhnya sebagaimana mereka telah membunuh pengawal Wicitra itu. Namun dengan demikian, maka Paksi pun telah mendapatkan satu ketetapan, bahwa orang yang demikian itu tidak akan mungkin dapat berubah. Jika ia tetap hidup, maka orang itu tentu menimbulkan lagi kematian-kematian di hari-hari mendatang. “Pembunuhan-pembunuhan semacam itu harus dihentikan,” berkata Paksi di dalam hatinya. Sementara itu Wijang pun sudah mengambil keputusan pula. Orang yang bertempur melawannya itu juga benar-benar akan membunuhnya. Ia pun yakin, bahwa tanpa pertolongan, Wicitra dan keluarganya itu tentu benar-benar akan dibunuhnya. Karena itu, maka Wijang pun tidak mempunyai pilihan lain. Lawannya itu pun harus dihentikannya untuk selama-lamanya. Karena itu, baik Wijang mau pun Paksi tidak lagi merasa ragu-ragu. Mereka harus bertempur dengan segenap kemampuannya untuk membunuh lawannya. Tetapi orang-orang itu pun benar-benar mempunyai bekal yang cukup untuk melakukan pekerjaan mereka. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi, yang dapat mereka jual. Dengan modal kemampuan itu, mereka menjadi pembunuh upahan. Upah yang besar untuk pekerjaan yang ringan bagi mereka. Tetapi saat itu, mereka ternyata membentur seorang yang berilmu tinggi. Baik lawan Paksi mau pun lawan Wijang, tidak segera mampu mengatasi lawannya. Bahkan dalam benturan-benturan yang terjadi kemudian, mereka harus mengakui kenyataan, bahwa anak-anak muda itu berilmu tinggi. Ki Marta Brewok pun telah bertempur pula melawan orang tertua di antara keempat orang itu. Dengan tangkasnya Ki Marta Brewok menekan lawannya yang bersenjata pedang. Meskipun orang tertua itu juga seorang yang berilmu tinggi, tetapi berhadapan dengan Ki Marta Brewok, orang itu dengan cepat merasakan tekanan yang sangat berat. Sementara itu Ki Marta Brewok pun menilai keempat orang itu adalah orang-orang yang berbahaya. Ternyata usaha Harya Wisaka untuk mencari Pangeran Benawa tidak tanggung-tanggung. Harya Wisaka telah bekerja bersama para prajurit dan petugas sandi yang dapat dipengaruhinya, perguruan-perguruan dan orang-orang berilmu tinggi serta orang-orang upahan yang juga berilmu tinggi. Orang-orang upahan yang kepalanya hanya dibayangi oleh upah yang besar tanpa berusaha mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak pernah menilai arti kebenaran dari tugas-tugas yang mereka lakukan. Meskipun mereka tahu seseorang tidak bersalah sama sekali, tetapi jika ada orang lain yang mengupahnya untuk membunuh orang itu, maka pembunuhan itu dilakukannya juga. Pertempuran di halaman itu semakin lama menjadi semakin sengit. Lawan Ki Marta Brewok semakin lama semakin terdesak karenanya. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kemampuan orang yang wajahnya ditumbuhi jambang, kumis dan janggut yang lebat itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Ketika terdengar orang itu bersiut nyaring, maka Ki Marta Brewok pun menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak mengerti arti isyarat itu. Namun Ki Marta Brewok memang menduga, bahwa akan segera terjadi perubahan di arena pertempuran. Sebenarnyalah seorang yang mengawasi Wicitra yang sudah kehilangan kejantanannya itu beringsut sambil mengancam Wicitra, “Jangan pergi kemana pun juga. Jika kau meninggalkan halaman ini, maka aku akan memotong kedua tangan dan kakimu serta lidahmu. Kemudian kau akan kami tinggalkan begitu saja.” Wicitra benar-benar menjadi ketakutan. Ibunya hampir pingsan membayangkan kemungkinan yang sangat buruk itu, sementara ayahnya masih saja berdiri termangu-mangu. Namun ayah Wicitra itu sempat menyaksikan pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya itu. Ternyata orang yang wajahnya nampak gelap oleh jambang, kumis dan janggutnya serta kedua orang anak muda itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Keempat orang yang sangat garang itu ternyata tidak dapat segera mengalahkan lawan-lawan mereka sebagaimana mereka lakukan terhadap Wicitra serta pengawalnya yang garang itu. Dalam waktu yang dekat, pengawal Wicitra itu telah kehilangan kesempatan untuk melindungi dirinya. Sehingga dalam waktu yang terhitung singkat, orang yang nampaknya garang dan tidak terkalahkan itu telah terbunuh. Namun dua orang yang kemudian bertempur melawan Ki Marta Brewok itu tidak dapat mengulangi keberhasilan mereka. Mereka tidak dapat segera menguasai dan apalagi membunuhnya. Orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu, ternyata memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari orang yang garang yang menjadi pengawal anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu. Dalam pada itu, orang yang bertempur melawan Paksi pun harus meningkatkan kemampuannya pula. Benturan-benturan yang terjadi telah membuat jantung orang itu berdebaran. Tongkat kayu itu ternyata benar-benar merupakan senjata yang sangat berbahaya bagi anak muda itu. “Gila,” geram orang itu. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa orang-orang yang mereka temui di kedai kecil itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Dengan tongkatnya yang berputaran, Paksi mulai mendesak lawannya. Sementara itu Wijang pun telah membuat lawannya menjadi gelisah. Sepasang pisau belatinya yang digenggam di kedua tangannya berputaran dengan cepat. Bahkan bagi lawannya sepasang pisau itu seakan-akan telah berubah menjadi berpasang-pasang yang menyerangnya dari segala arah. “Iblis manakah yang telah mengajarinya bermain pisau seperti itu,” geram lawan Wijang itu. Ayah Wicitra menyaksikan pertempuran itu dengan mulut yang ternganga. Ia bukan seorang yang berilmu tinggi. Tetapi ia dapat melihat, betapa ketiga orang yang datang kemudian itu dengan tangkasnya bertempur melawan keempat orang yang hampir saja membunuhnya, membunuh istrinya dan membunuh anaknya. Wicitra yang ketakutan itu mulai memperhatikan pertempuran yang terjadi. Ia mulai melihat betapa kedua orang anak muda itu bertempur dengan tangkasnya. Kesadaran Wicitra yang mulai tumbuh menguasai gejolak perasaannya itu membuatnya menyadari apa yang telah dilakukannya. Empat orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang berilmu tinggi. Kemampuannya sama sekali tidak berarti menghadapi dua orang di antara mereka, sedangkan pengawalnya yang dibanggakan itu dengan cepat telah terbunuh. Tetapi orang yang wajahnya ditumbuhi jambang, kumis dan janggut yang lebat itu, sama sekali tidak nampak mengalami kesulitan melawan dua orang di antara empat orang yang mencari Pangeran Benawa itu. “Siapakah sebenarnya mereka bertiga?” pertanyaan itu mulai tumbuh di hati Wicitra. Wicitra sama sekali tidak menghiraukan mereka ketika ia melihat ketiga orang itu berada di kedai. Bahkan ia telah mengusir ketiga orang itu ketika ketiga orang itu berusaha meyakinkannya, bahwa keempat orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang yang berbahaya. Wicitra itu tidak mau mendengarkan ketika ketiga orang itu datang dan minta kepadanya untuk meninggalkan rumahnya satu atau dua hari. Dengan sombong Wicitra itu bahkan berniat mengaku dirinya Pangeran Benawa. Wicitra itu pun menjadi sangat malu kepada dirinya sendiri. Apalagi ketika kemudian ia berjongkok sambil menangis untuk minta dikasihani. Sementara itu, Paksi masih bertempur dengan cepat bahkan keras. Lawannya semakin lama menjadi semakin kasar. Namun Paksi sama sekali tidak mengalami kesulitan. Bahkan tongkatnya telah membuat lawannya menjadi kebingungan. Meskipun lawan Paksi telah menghentakkan kemampuannya, tetapi ujung senjatanya sama sekali tidak mampu menggapainya. Setiap kali terjadi benturan, maka tangan lawan Paksi itu terasa pedih. Anak muda itu ternyata mempunyai tenaga dan kekuatan yang sangat besar. Bahkan semakin lama ujung tongkat Paksi pun menjadi semakin membingungkannya. Sehingga akhirnya ujung tongkat Paksi itu mampu menembus pertahanannya. Lawan Paksi itu berteriak nyaring ketika ujung tongkat Paksi mendorong pundaknya sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Bagi lawan Paksi, sentuhan ujung tongkat anak muda itu telah membuatnya menjadi sangat marah. Anak itu masih terlalu muda untuk mampu mengimbangi ilmunya. Namun anak muda itulah yang lebih dahulu mampu menembus pertahanannya, mengenai pundaknya sehingga pundaknya merasa sangat sakit. Tetapi apa pun yang kemudian dilakukan, anak muda bersenjata tongkat itu memang berilmu sangat tinggi. Bahkan ketika lawan Paksi itu berusaha menyerang anak muda itu dengan pedang terjulur mengenai dada, ternyata ujung pedang itu sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Bahkan anak muda itu menghindar dengan memiringkan tubuhnya dan sempat mengayunkan tongkatnya, menghantam lambung. Demikian keras ayunan tongkat Paksi, sehingga orang itu terpelanting selangkah ke samping. Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya, maka orang itu telah terbanting jatuh. Meskipun demikian, setelah berguling beberapa kali, maka ia pun dengan cepat melenting berdiri. Paksi tidak memburunya. Seakan-akan ia memang sengaja memberi kesempatan kepada lawannya mempersiapkan diri untuk menghadapinya lagi. Sambil menyeringai orang itu berdiri sambil menggenggam senjatanya erat-erat. Dipandanginya Paksi dengan mata yang bagaikan menyala. “Anak demit,” orang itu menggeram, “kau akan menyesal dengan kesombonganmu itu.” Paksi berdiri tegak sambil menggenggam tongkatnya. Katanya, “Bersiaplah.” “Aku akan membunuhmu.” “Kita akan bertempur sampai tuntas.” Orang itu menggertakkan giginya. Namun tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Sementara itu, Wijang pun telah mendesak lawannya. Orang itu pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Tetapi lawannya yang terhitung masih muda itu sulit untuk diimbanginya. “Lakukan apa yang dapat kau lakukan,” berkata Wijang. “Persetan,” geram lawannya. “Aku tidak dapat membayangkan, apa jadinya jika kau harus bertempur melawan Pangeran Benawa. Maksudku, jika Pangeran Benawa mulai bersungguh-sungguh. Jika ia merengek dan minta ampun, itu semata-mata ia ingin menjajagi, apakah di otakmu masih ada sisa-sisa akal sehatmu.” “Diam,” teriak lawan Wijang. Tetapi Wijang berkata terus, “Sebenarnyalah Pangeran Benawa itu ingin tahu, apakah kau masih tetap berjantung manusia atau jantungmu sudah berbulu serigala sehingga kau tidak mau mendengarkan permintaan ampun seseorang.” “Cukup,” orang itu berteriak pula. “Aku koyak mulutmu.” “Kenapa tidak kau lakukan?” bertanya Wijang. Kemarahan orang itu sudah membakar ubun-ubunnya. Dengan garangnya ia meloncat sambil mengayunkan senjatanya menebas ke arah leher Wijang. Tetapi dengan tangkas Wijang mengelakkan serangan itu. Bahkan Wijang pun kemudian melenting dengan cepatnya. Ayunan pisau belatinya kemudian justru telah menyambar bahu lawannya. Lawannya meloncat mundur sambil mengumpat-umpat Dengan telapak tangannya ia meraba pundaknya. Cairan yang hangat mengalir dari luka di bahunya itu. Wijang bergerak maju selangkah demi selangkah. Sepasang pisau belatinya bergetar di kedua tangannya. Kemarahan lawannya bagaikan membakar jantungnya. Dengan geram orang itu berkata, “Kau akan menyesali tingkah lakumu.” “Kita sudah memasuki satu sikap akhir, Ki Sanak. Tidak ada yang akan menyesal. Kau tidak, aku juga tidak, apa pun yang akan terjadi. Pertempuran ini hanya akan berakhir setelah aku atau kau mati di arena ini.” Lawan Wijang yang marah itu membentak dengan garangnya, “Aku akan membantaimu sampai lumat.” “Hukuman bagi mereka yang berniat membunuh Pangeran Benawa adalah hukuman mati, karena seandainya Pangeran Benawa sendiri yang melakukannya, akibatnya akan sama saja bagimu.” “Tutup mulutmu, tikus kecil.” Wijang justru tertawa. Katanya, “Aku merasakan getar kecemasan di dalam kata-katamu.” “Persetan kau.” Dengan garangnya orang itu pun segera meloncat menyerang Wijang. Tetapi Wijang sudah siap menghadapinya. Karena itu ketika orang itu meloncat sambil menjulurkan senjatanya. Namun Wijang sempat mengelak. Sambil merendah pisaunya telah terayun menyambar lengan lawannya. Lengan itu pun telah berdarah pula. Setiap titik darah membuat kemarahan orang itu semakin menyala di dalam dadanya. Tetapi setiap titik darah yang menetes dari lukanya telah menyusut tenaga dan kekuatannya. Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh orang itu. Tangan dan kaki Wijang terlalu cepat untuk diimbanginya. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin keras. Orang-orang yang berusaha menangkap Pangeran Benawa itu benar-benar telah memeras segenap kemampuannya. Ki Marta Brewok yang menghadapi dua orang lawan telah membuat kedua orang lawannya menjadi bingung. Orang yang berjambang lebat itu mampu bergerak demikian cepatnya. Kedua orang lawannya tidak tahu, senjata apa yang dipergunakannya, tetapi sentuhan tangannya mampu melukai kulit mereka. Seakan-akan hanya dengan telapak tangannya, orang itu dapat menangkis ayunan senjata lawan-lawannya. Namun keduanya yakin, ada semacam lapisan baja yang dikenakan oleh orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu pada telapak tangannya serta ujung-ujung yang runcing pada jari-jarinya. Kedua orang lawan Ki Marta Brewok memang menjadi bingung. Setelah dengan demikian cepat dan mudahnya mereka membunuh pengawal yang mengaku Pangeran Benawa itu, meskipun ujud pengawal itu demikian garangnya, mereka kemudian menghadapi lawan yang seakan-akan dilindungi oleh oleh dinding baja di seputarnya. Kedua orang itu sama sekali tidak pernah berhasil menyentuh kulit lawannya itu. Jika senjata mereka terjulur lurus atau terayun mendatar, maka senjata mereka itu seakan-akan telah membentur sekat yang tidak tertembus. Tetapi sebaliknya, jari-jari tangan orang itu beberapa kali berhasil menyentuh tubuhnya. Sedangkan setiap sentuhan, meninggalkan luka yang menganga. Keseimbangan pertempuran segera menjadi jelas. Lawan Paksi dan Wijang sudah terdesak semakin jauh. Sementara itu, lawan Ki Marta Brewok pun menjadi semakin tidak berarti. Betapapun mereka berusaha dengan mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan, namun perlawanan mereka sudah tidak berarti apa-apa lagi. Keempat orang itu benar-benar telah kehilangan kesempatan. Wicitra dan kedua orang tuanya telah bergeser menepi. Ia dapat melihat apa yang bakal terjadi. Ia melihat keempat orang yang hampir saja membunuhnya itu sudah tidak berdaya. Kegirangan terasa melonjak di dadanya. Ia merasa terlepas dari bahaya maut yang hampir saja mencekiknya. Namun yang kemudian dipertanyakan, bagaimana sikap ketiga orang itu. Wicitra telah menghinakannya. Telah mengusirnya dan sama sekali tidak menghargai kata-katanya. Tetapi menilik sikap mereka, agaknya mereka tidak akan sebengis keempat orang yang hampir saja membantainya itu. Dengan kerut di dahi, Wicitra melihat bagaimana Ki Marta Brewok dengan tangkasnya bertempur. Wicitra menjadi semakin malu kepada diri sendiri. Ia merasa seakan-akan dirinya telah menguasai semua ilmu di muka bumi sehingga ia telah menjadi orang yang tidak terkalahkan. Namun sekarang ia melihat kenyataan, betapa kecilnya di hadapan orang-orang berilmu tinggi. Orang-orang berilmu tinggi yang rendah hati. Meskipun Wicitra sudah dapat menduga, akhir dari pertempuran itu, namun ia pun terkejut juga ketika seorang lawan Ki Marta Brewok itu berteriak nyaring. Tubuhnya terlempar dari arena dengan darah yang mengalir dari luka-lukanya. Sejenak kemudian orang-orang itu pun telah terbanting jatuh. Menggeliat, namun kemudian tidak bergerak sama sekali. Belum lagi ketegangan di jantungnya mengendor, maka Wicitra itu pun melihat bagaimana lawan yang seorang lagi telah terlempar pula dengan kerasnya. Kepalanya membentur sebatang pohon yang cukup besar. Benturan yang keras sekali, sehingga seorang itu pun kemudian terjatuh dengan tubuh yang lunglai. Nafasnya menjadi sendat, sehingga akhirnya berhenti sama sekali. Wicitra berdiri termangu-mangu. Dengan demikian, maka akhir dari kedua orang lawan anak-anak muda itu pun menjadi semakin jelas pula. Lawan Wijang yang menjadi putus asa telah menyerangnya sejadi-jadinya. Namun ketika pisau belati Wijang bergerak menyilang, maka ujung pisau itu pun telah menggores dadanya. Cukup dalam, sehingga orang itu pun terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Namun kemudian satu loncatan panjang telah mengakhiri pertempuran itu. Ujung pisau belati Wijang yang lain kemudian telah terhujam di dada orang itu. Sementara itu, hampir bersamaan waktunya, Paksi pun telah menyelesaikan lawannya pula. Ketika lawannya berusaha menusuk lambungnya, Paksi sempat mengelak. Bahkan kemudian tongkatnya pun telah terayun tepat mengenai tengkuk lawannya yang kehilangan sasaran itu. Sejenak kemudian halaman itu menjadi sepi. Paksi berdiri dengan kaki renggang mengamati lawannya yang sudah tidak bernyawa. Sementara Wijang berdiri termangu-mangu. Di sebelah yang lain, dua sosok tubuh pun terbaring diam. Di halaman rumah Wicitra itu terdapat lima sosok mayat dengan luka-luka di tubuh mereka. Ki Marta Brewok lah yang kemudian melangkah mendekati Wicitra sambil berkata, “Nah, sekarang kau baru percaya, bahwa orang-orang itu sangat berbahaya bagimu.” Wicitra mengangguk dalam-dalam sambil berkata, “Ya, Ki Sanak. Aku percaya. Aku mohon ampun atas sikapku terhadap Ki Sanak.” Sementara itu, ayah Wicitra itu pun berkata, “Kami mengucapkan terima kasih, Ki Sanak. Ki Sanak telah menyelamatkan nyawa anakku.” “Satu pelajaran yang sangat berharga bagi anakmu.” “Kau harus bersyukur kepada Yang Maha Agung, Wicitra. Kau pun harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ki Sanak bertiga ini.” Sekali lagi Wicitra mengangguk hormat sekali. Katanya, “Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Ki Sanak. Yang Maha Agung sajalah yang dapat membalas kebaikan budi Ki Sanak bertiga.” “Wicitra,” berkata Ki Marta Brewok, “setelah terjadi peristiwa ini, apa yang akan kau lakukan?” Wicitra termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Aku akan melakukan sebagaimana Ki Sanak katakan. Aku akan meninggalkan tempat ini.” “Bagaimana dengan rencanamu menjual tanah dan rumah ini serta mengusir ayah dan ibumu?” Wicitra terkejut mendengar pertanyaan itu. Untuk beberapa saat ia justru terbungkam. Ternyata Ki Marta Brewok tidak memaksanya untuk menjawab. Tetapi ia justru bertanya kepada ayah Wicitra, “Bagaimana dengan lima sosok mayat itu? Apakah kita dapat minta tolong orang-orang padukuhan ini untuk menguburnya?” “Mereka takut keluar rumah, Ki Sanak. Apalagi setelah terjadi peristiwa ini.” “Kau panggil mereka dan katakan bahwa keadaan sudah aman. Tidak ada lagi orang-orang yang mencari Pangeran Benawa. Justru mereka akan diminta tolong untuk menguburkan mereka.” Ayah Wicitra termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Aku akan mencobanya.” Ternyata ayah Wicitra itu berhasil meyakinkan tetangga-tetangganya, bahwa bahaya yang mereka takuti untuk sementara telah tidak ada lagi, sehingga beberapa orang telah keluar dari rumahnya dan pergi ke halaman rumah Wicitra. Mereka memang agak ketakutan ketika mereka melihat Ki Marta Brewok dan kedua orang anak muda yang berpakaian kusut. Tetapi ayah Wicitra memberitahukan kepada mereka, bahwa ketiga orang itulah yang telah membinasakan orang-orang garang yang mencari Pangeran Benawa itu. “Kami adalah para pengikut Harya Wisaka,” berkata Ki Marta Brewok kepada orang-orang yang berkerumun. “Kami sebenarnya juga mencari Pangeran Benawa sebagaimana keempat orang itu. Tetapi kami tahu, bahwa kami tidak dapat melibatkan kalian begitu saja dalam pencaharian ini. Karena itu, maka kami pun tidak akan pernah mengganggu kalian. Apa pun yang aku lakukan terhadap kalian, kalian tentu tidak akan dapat membantu kami.” “Terima kasih, Ki Sanak,” sahut seorang yang rambut dan kumisnya sudah memutih. Di sisa hari itu, orang-orang padukuhan itu disibukkan oleh lima sosok mayat yang harus mereka kuburkan. Namun mereka merasa tenang, bahwa di padukuhan itu terdapat tiga orang berilmu tinggi yang dapat melindungi mereka dari kemungkinan buruk. Hari itu, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang bermalam di rumah Wicitra. Ketika orang-orang yang sibuk menguburkan lima sosok mayat itu sudah pulang ke rumah masing-masing, sementara malam mulai turun, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang telah mandi pula, maka mereka pun duduk di pendapa rumah Wicitra bersama dengan Wicitra dan kedua orang tuanya. Setelah minum seteguk wedang jahe, maka Ki Marta Brewok pun mengulangi pertanyaannya, “Wicitra, aku masih ingin mendengar jawabmu, setelah peristiwa ini, apakah yang akan kau lakukan? Apakah sekedar meninggalkan tempat ini, atau kau mempunyai rencana yang lain?” “Aku belum memikirkannya, Ki Sanak, kecuali pergi meninggalkan tempat ini?” “Dalam keadaan yang gawat, apakah kau sadari, apa yang telah dilakukan oleh ayah dan ibumu, yang sedianya akan kau usir dari rumah ini?” Wajah Wicitra menjadi tegang. Dipandanginya Ki Marta Brewok dengan tajamnya. Pertanyaan itu benar-benar telah mengguncang jantungnya. Ia berusaha mengingat, apa yang akan dilakukan. Menjual tanah dan rumah itu. Mengusir ayah dan ibunya. Namun Wicitra itu pun kemudian sempat membayangkan, apa yang telah dilakukan oleh ayah dan ibunya saat ia berada di dalam keadaan yang paling gawat. Meskipun ayah dan ibunya itu tahu, bahwa ia akan mengusirnya serta menjual tanah dan rumahnya, namun kedua orang tuanya itu masih berusaha melindunginya. Seperti seorang ibu yang memeluk anaknya erat-erat saat terjadi gempa, maka ibunya telah memeluknya saat nyawanya terancam. Bahkan ayah dan ibunya itu telah menyatakan kesediaannya untuk mati jika itu dapat menyelamatkan nyawanya. Sejenak Wicitra termangu-mangu. Di luar sadarnya dipandanginya ayah dan ibunya yang sudah tua itu. Rasa-rasanya di penglihatannya ayah dan ibunya menjadi lain. Ayah dan ibunya kelihatan begitu tua namun wajahnya yang cerah itu bagaikan bercahaya. Tiba-tiba Wicitra itu membayangkan apa yang terjadi dengan ayah dan ibunya itu jika keduanya terusir dari rumahnya. Apa yang terjadi pada keduanya jika keduanya harus hidup menumpang di rumah pamannya, sementara itu, sebelumnya ia mempunyai tanah, rumah, sawah dan ladang. Terasa jantung Wicitra bergetar. Orang tua yang diusirnya itu ternyata masih juga bersedia mati untuknya. Tiba-tiba saja Wicitra itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Terdengar anak muda itu pun menangis terisak-isak seperti kanak-kanak yang menahan tangisnya karena takut dicambuk ayahnya. “Wicitra, kenapa?” Ibunya pun beringsut mendekatinya. “Bukankah segala sesuatunya sudah lampau. Bahaya yang hampir saja merenggut nyawa itu sudah lewat.” Wicitra mengangguk-angguk. Tetapi isaknya masih saja mengguncang tubuhnya. “Kenapa kau Wicitra. Kenapa kau, Ngger.” Tiba-tiba saja Wicitra itu memeluk ibunya. Tangisnya tidak lagi tertahan. Ia tidak saja terisak. Tetapi Wicitra itu benar-benar menangis. “Ibu, maafkan aku. Ayah,” tangisnya. “Kenapa, kau kenapa?” Ibunya yang cemas telah mengguncang-guncang tubuhnya. “Ayah, Ibu. Aku mohon maaf. Hampir saja aku telah menyia-nyiakan Ayah dan Ibu. Aku telah menjadi anak durhaka. Hampir saja aku mengusir Ayah dan Ibu dari rumah ini.” “Sudahlah, Wicitra. Bukankah semua itu belum terjadi?” “Tetapi semuanya itu akan terjadi seandainya tidak terjadi peristiwa yang hampir saja merenggut nyawaku. Bahkan aku pun tidak memikirkannya, jika Ki Sanak itu tidak bertanya kepadaku. Ayah, Ibu, aku mohon maaf. Aku telah khilaf. Aku pun harus minta maaf kepada banyak orang karena kesombonganku selama ini, seolah-olah aku adalah orang yang terpenting di dunia ini. Seolah-olah putaran kehidupan ini berporos padaku.” “Aku bersyukur, Wicitra,” desis ayahnya. “Ternyata peristiwa ini ada juga nilainya bagimu. Nilai yang baik. Kau juga harus minta maaf seribu kali kepada ketiga orang yang telah menyelamatkanmu. Kau telah berbuat kasar kepada mereka, namun justru merekalah yang telah membangunkanmu dari mimpi burukmu.” Wicitra mengangguk-angguk. Tangisnya sudah mereda. Ketika ia sudah dapat mengucapkan permohonan maaf kepada ayah dan ibunya, maka rasa-rasanya bebannya sudah jauh berkurang. Kepada Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang, Wicitra itu pun berkata, “Ki Sanak bertiga. Aku benar-benar menyesal atas sikapku. Bukan saja terhadap kalian bertiga, tetapi juga terhadap semua orang. Selama ini aku telah terbius oleh keberhasilanku. Ketika aku pulang ke padukuhan ini, aku merasa bahwa disini aku adalah orang yang paling penting. Orang yang paling berarti, sehingga aku tidak lagi mampu mengekang perasaanku.” “Kau masih mempunyai banyak waktu untuk meluruskan jalanmu, anak muda.” Wicitra mengangguk-angguk. “Tetapi kau harus setia kepada pengakuanmu ini, Wicitra. Maksudku, kau tidak akan pernah mengulanginya lagi. Juga sikapmu terhadap lingkunganmu, terutama kepada ayah dan ibumu. Mereka adalah sosok yang menjadi lantaran kelahiranmu. Karena itu, kau tidak dapat memisahkan diri dari kehadiran mereka.” “Aku akan selalu mengingatnya, Ki Sanak. Aku akan selalu mengingat apa yang terjadi. Aku tidak akan lagi mengganggu ayah dan ibu tentang tanah, rumah, sawah dan pategalan.” “Mudah-mudahan kau selalu mengingatnya,” desis Ki Marta Brewok. Pembicaraan mereka terputus ketika satu dua orang tetangga datang untuk sekedar ikut berbincang di pendapa. Mereka membicarakan ketakutan yang melanda padukuhan itu sejak keempat orang itu mencari Pangeran Benawa di padukuhan mereka. Bahkan orang itu sudah mengancam untuk membawa sepuluh orang penghuni padukuhan itu apabila mereka tidak menemukan Pangeran Benawa. Kepada orang-orang itu Ki Marta Brewok selalu mengatakan bahwa ia dan kedua orang anak muda yang datang bersamanya itu adalah para pengikut Harya Wisaka. Dengan demikian, maka ceritera yang berkembang di padukuhan itu kemudian adalah, bahwa dua kelompok pengikut Harya Wisaka telah saling berbenturan. Empat orang di antaranya telah terbunuh. Beberapa orang yang datang ke rumah orang tua Wicitra itu berbincang sampai lewat tengah malam. Ibu Wicitra menjadi sibuk menyediakan minuman dan bahkan makan menjelang tengah malam. Baru menjelang dini, tetangga-tetangga dekat orang tua Wicitra itu minta diri. Pagi-pagi sekali, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun telah bangun. Mereka segera pergi ke pakiwan dan berbenah diri. Sebelum fajar mereka telah minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka. “Kemana?” bertanya ayah Wicitra. “Kami tidak dapat mengatakannya, karena kami akan pergi ke tempat yang kami sendiri tidak tahu,” jawab Ki Marta Brewok. “Mencari Pangeran Benawa?” bertanya Wicitra. “Ya. Kami memang harus mencari Pangeran Benawa. Bedanya dengan keempat orang itu, kami telah mengenal Pangeran Benawa sehingga tidak akan dapat dikelabuhi lagi.” “Jadi kalian sudah mengenal Pangeran Benawa?” “Aku adalah abdi di istana Pajang,” jawab Ki Marta Brewok. “Karena itu, aku dapat mengenal Pangeran Benawa dengan baik.” Wicitra mengangguk-angguk. Ia merasa dirinya semakin kecil. Tetapi untunglah bahwa ketiga orang itu mempunyai sifat dan watak yang lain sekali dengan keempat orang yang telah terbunuh itu meskipun mereka mengemban tugas yang sama. Namun sebelum Ki Marta Brewok meninggalkan rumah Wicitra ia masih juga bertanya, “Apakah kau akan segera meninggalkan rumah ini?” “Ya,” Wicitra mengangguk-angguk, “hari ini juga aku akan meninggalkan rumah ini. Siapa tahu masih ada kelompok-kelompok lain yang mencari Pangeran Benawa. Seandainya mereka tidak menyangka aku Pangeran Benawa, mereka mungkin saja memaksa aku untuk menemukannya, sementara Pangeran Benawa tidak ada disini.” Demikianlah, maka Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun telah minta diri kepada seisi rumah itu. Kepada ayah dan ibu Wicitra dan kepada Wicitra yang pada hari itu juga akan meninggalkan rumahnya. Namun Wicitra telah berubah karenanya. Wicitra tidak lagi akan memaksa ayah dan ibunya menjual tanah, rumah, sawah dan pategalannya. Demikianlah, maka sebelum matahari terbit, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang telah berada di sebuah bulak yang panjang. Embun masih nampak menggantung di ujung dedaunan yang basah. Namun langit nampak cerah. Tidak ada selembar awan pun yang nampak di wajah langit. Dalam pada itu, burung-burung liar pun telah terbangun pula di sarangnya. Kicaunya membuat pagi menjadi semakin semarak. Sementara langit menjadi merah oleh cahaya matahari yang mulai menguak cakrawala. Ketiga orang yang berjalan di dinginnya pagi itu tidak banyak berbicara. Paksi yang berjalan di paling depan, sekali-sekali menghentakkan tongkatnya di tanah yang masih basah. Di ujung rerumputan, butir-butir embun masih nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. Paksi memang tidak banyak berbicara. Ia bahkan mulai memikirkan dirinya sendiri. Paksi itu telah melihat, bagaimana seorang ayah yang berusaha melindungi anaknya sehingga siap untuk menyerahkan nyawanya. “Apakah ayahku juga dapat berbuat seperti itu?” pertanyaan itu tiba-tiba saja telah tersembul di hatinya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya agaknya memang agak lain dari ayah Wicitra. “Apakah ayah juga bersedia menyerahkan nyawanya bagiku?” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya justru telah memerintahkannya untuk melakukan satu pekerjaan yang tidak masuk akal. Pada umurnya yang ketujuh-belas, ayahnya telah memerintahkannya memasuki satu dunia yang sangat garang tanpa bekal yang memadai. “Jika saja aku tidak bertemu dengan beberapa orang yang baik hati,” berkata Paksi di dalam hatinya. “Seandainya aku tidak bertemu dengan guru. Tidak bertemu dengan Pangeran Benawa sendiri. Tetapi langsung bertemu dengan keempat orang yang mencari Pangeran Benawa dan diperlakukan seperti Wicitra, maka ayahku tidak akan berusaha melindungi aku sebagaimana dilakukan oleh ayah Wicitra. Bahkan ayah tentu akan menganggap aku seorang yang sudah sepantasnya mati karena hidupku sama sekali tidak berarti bagi seorang ayah.” Terngiang kata-kata yang menusuk hatinya, bahwa ayah Paksi itu tidak menghendaki Paksi pulang tanpa membawa cincin yang dicarinya itu. “Apakah ayah menganggap cincin itu lebih berharga dari anaknya?” pertanyaan itu timbul pula di hati Paksi. Namun Paksi sama sekali tidak tahu jawabnya. “Justru karena itu aku harus pulang,” berkata Paksi di dalam hatinya. Ki Marta Brewok yang berjalan di belakang Paksi juga tidak banyak berbicara. Sementara itu Wijang berjalan di paling belakang. Diamatinya lingkungannya yang hijau. Sawah, padukuhan-padukuhan, namun juga hutan yang lebat di kaki gunung. Ketika Paksi berpaling, maka dilihatnya Ki Marta Brewok berjalan beberapa langkah di belakangnya. Baru beberapa langkah lagi Wijang berjalan sambil menebarkan pandangan matanya. “Marilah. Mumpung masih pagi,” ajak Paksi. Ki Marta Brewok mempercepat langkahnya. Tetapi Wijang menyahut, “Kenapa tergesa-gesa.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Paksi yang kemudian berjalan di sebelah Ki Marta Brewok itu ternyata tidak dapat menahan desakan perasaannya. Bagi Ki Marta Brewok bukan saja kawan seperjalanan. Tetapi ia adalah gurunya yang telah membentuknya menjadi seorang yang berilmu tinggi. “Guru,” berkata Paksi kemudian, “aku menjadi sangat gelisah.” “Kenapa?” “Seakan-akan aku tidak sedang berjalan pulang.” “Apa yang kau pikirkan?” “Apakah ayahku juga bersedia berkorban seperti ayah Wicitra itu, Guru?” Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Tentu, Paksi. Seorang ayah tentu akan selalu melindungi anak-anaknya sebagaimana dilakukan oleh ayah Wicitra. Tentang berhasil atau tidak, itu tergantung pada keadaan dan kemampuan. Tetapi naluri seorang ayah tentu akan berbuat yang terbaik bagi anaknya.” “Bagaimana pendapat Guru tentang ayahku yang telah memerintahkan kepadaku untuk mencari cincin itu?” Glaukomaadalah penyakit mata kronis progresif yang mengenai saraf mata dengan neuropati (kelainan saraf) optik di sertai kelainan bintik buta (lapang pandang) yang khas. Faktor utamanya adalah tekanan bola mata yang tinggi. Menurut survei Departemen Kesehatan RI 1992 dikatakan, angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5 persen dari seluruh penduduk. Kondisi BekasMin. Pemesanan 1 BuahEtalase Semua Etalasejejak di balik kabutoleh Mintardjanomor yg tersedia4,5,6,7,13,15,16,16,17,18,19,19,20,20,21,21,22,22,23,24,24,25,26,27,28,29,31,32,34, di ketik no yg mau di tidak menyertakan nomor,maka akan di kirim original. 192Menelusuri Jejak Sejarah di Makasar 193 Terdampar di Pulau Karang 194 Lipu 195 Misteri Hutan Larangan 196 Pertanian Ramah Lingkungan 197 Surau. fNO. PENULIS Gusnaidar Solikhan Tien Rostini Dwi Nugrah Pusani Rita Erwiyah Krisna Miharja Darsan Achiayadi Drs. Rudi Darmawan Dra. Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Begitu dalam kesetiaan para pengikut Harya Wisaka, sehingga seorang yang berilmu tinggi seperti Ki Santen Ireng itu tidak dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lain kecuali berjuang untuk menempatkan Harya Wisaka pada kedudukan yang tertinggi, apa pun yang harus dikorbankannya. “Tetapi jika hal itu dilakukan oleh Ki Santen Ireng, tentu bukannya tanpa pamrih apa-apa” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya. Namun Raden Sutawijaya tidak menjawab lagi. Sambil bergeser ke samping, Raden Sutawijaya telah bersiap sepenuhnya untuk bertempur melawan Ki Santen Ireng. Ki Santen Ireng pun tidak berbicara lagi. Ia pun segera meloncat menerkam Raden Sutawijaya. Jari-jari pada kedua tangannya yang mengembang menyambar ke arah wajahnya. Raden Sutawijaya dengan cepat menghindar. Hampir di luar sadarnya ia pun berdesis, “Kau mengenakan kuku-kuku baja itu, Ki Santen Ireng. Juga kau lapisi telapak tanganmu” “Kau dapat melihatnya?” “Tentu. Anak-anak pun dapat membedakan antara kuku aslimu dan kuku-kuku baja itu. Bahkan telapak tanganmu” Ki Santen Ireng tidak menjawab. Tetapi serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Tangannya dengan jari-jari yang mengembang menyambar-nyambar menggapai tubuh Raden Sutawijaya. Tetapi di tangan Raden Sutawijaya telah tergenggam tombak pendek. Meskipun senjata itu bukan senjata khusus, tetapi tombak itu menjadi sangat berbahaya di tangan Sutawijaya. “Raden” desis Ki Santen Ireng kemudian, “aku tahu, bahwa kau bunuh Harya Penangsang dengan ujung tombak. Tetapi tentu bukan tombak mainan seperti yang kau pakai sekarang ini. Yang kau pakai untuk membunuh Harya Penangsang adalah tombak berlandean panjang. Tombak pusaka terbaik di Pajang, Kangjeng Kiai Pleret” Tetapi Raden Sutawijaya itu menjawab, “Meskipun tombakku sekarang tombak mainan, Ki Santen Ireng, tetapi ujungnya akan dapat mengoyak dadamu, menembus sampai ke jantung. Di tanganku, mainan kanak-kanak pun akan dapat menjadi sangat berbahaya bagimu dan bagi semua lawan-lawanku” Ki Santen Ireng tertawa berkepanjangan. Namun tiba-tiba saja suara tertawanya terhenti. Dengan tangkasnya ia meloncat mengambil jarak. Hampir saja ujung tombak pendek Raden Sutawijaya menyentuh lengannya. “Kau memang tangkas bermain tombak, Raden” Raden Sutawijaya tidak menjawab. Tombaknya terjulur lagi mengarah ke dada, sehingga Ki Santen Ireng harus meloncat mundur lagi beberapa langkah. Namun Raden Sutawijaya tetap memburunya. Ujung tombaknya semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin dekat dengan kulit Ki Santen Ireng. Dengan telapak tangan yang dilapisi baja hitam serta kukunya yang tajam kehitam-hitaman, Ki Santen Ireng berusaha melawan tombak pendek Raden Sutawijaya. Ditepisnya tombak yang terjulur itu. Bahkan dengan baja hitam di telapak tangannya, Ki Santen Ireng telah menangkis ujung tombak yang mematuknya. Tetapi ternyata bahwa Raden Sutawijaya memiliki kemampuan yang tinggi, sebagaimana namanya yang mendebarkan. Semakin lama maka Ki Santen Ireng itu harus mengakui kenyataan, bahwa Raden Sutawijaya yang masih terhitung muda itu benar-benar seorang berilmu tinggi. Dengan demikian, maka Ki Santen Ireng itu pun menjadi semakin terdesak. Ia tidak lagi dapat mengandalkan lapisan baja hitam di telapak tangannya, serta kuku-kuku bajanya. Karena itu, untuk melawan ujung tombak pendek yang seakan-akan mempunyai mata dan memburunya kemana saja ia berloncatan, Ki Santen Ireng harus mempergunakan senjatanya yang lain. Dengan demikian, maka Ki Santen Ireng telah meloncat mengambil jarak. Dilepasnya lapisan baja di telapak tangan serta kuku-kuku baja di jari-jari tangan kanannya. Kemudian dicabutnya sebuah luwuk yang besar dan panjang. Raden Sutawijaya yang melangkah satu-satu mendekatinya sambil merundukkan ujung tombaknya tertegun. “Aku tidak lagi main-main, Raden” geram Ki Santen Ireng. “Jadi selama ini kau hanya main-main?” “Ya. Sekarang aku bersungguh-sungguh dengan luwuk peninggalan guruku ini” Raden Sutawijaya memandangi luwuk di tangan Ki Santen Ireng. Nampaknya pamornya berkeredipan ditimpa cahaya matahari. Luwuk itu memang luwuk yang sangat baik. “Tetapi segala sesuatu akan tergantung pada orang yang mempergunakannya” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya. “Bukan sebaliknya” Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit. Disamping harus memperhatikan luwuk di tangan Ki Santen Ireng, Raden Sutawijaya masih juga harus memperhatikan tangan kirinya, yang masih mengenakan lapisan baja hitam di telapak tangannya, serta kuku-kuku baja di ujung jari-jarinya. Sementara itu, pertempuran pun menjadi semakin sengit. Pasukan Ki Tumenggung Yudatama telah mendesak para pengikut Harya Wisaka. Apalagi setelah Ki Santen Ireng terikat dalam pertempuran melawan Raden Sutawijaya. Sementara itu, Pangeran Benawa dan Paksi telah memasuki padukuhan dari sisi yang lain, bersama para prajurit yang ada di arah lain dari Padukuhan Pandean itu. Meskipun mereka mendapat perlawanan dari para pengikut Harya Wisaka, tetapi para pengikut Harya Wisaka itu tidak mampu menghentikan gerak maju Pangeran Benawa, Paksi dan para prajurit. Di dalam Padukuhan Pandean, Pangeran Benawa dan Paksi pun segera berusaha menemukan Harya Wisaka yang mereka yakini masih berada di padukuhan itu. Sementara itu, Harya Wisaka sendiri, bersama para pengawalnya yang kuat telah siap untuk keluar dari padukuhan di arah selatan. Mereka siap untuk menembus kepungan yang tidak terlalu kuat di sisi selatan. Bahkan mereka pun telah bersiap menghalau prajurit Pajang yang berusaha menyumbat pintu gerbang di arah selatan itu. Raden Suminar dengan orang-orang terpilih telah merintis jalan, menyibak pasukan Pajang yang berusaha menyumbat pintu gerbang. Dengan kemampuannya yang tinggi, Raden Suminar bersama para pengikut Harya Wisaka telah berhasil mendesak pasukan Pajang yang berusaha menahan mereka untuk tetap berada di dalam padukuhan. Tetapi para pengikut Harya Wisaka itu terkejut. Selagi mereka berusaha membuka jalan serta siap untuk keluar dari padukuhan, maka mereka telah mendapat serangan dari belakang. Pangeran Benawa dan Paksi yang berhasil menyusup memasuki padukuhan itu telah berhasil mengguncang para pengikut Harya Wisaka yang akan menyertainya keluar dari padukuhan dan menembus kepungan yang lemah di sisi selatan. “Gila” geram Gadungbawuk, “siapakah mereka itu?” “Prajurit Pajang” berkata salah seorang penghubung yang memberikan laporan kepada Harya Wisaka. “Siapakah pemimpinnya?” bertanya Harya Wisaka. “Pangeran Benawa” “Pangeran Benawa?” suara Harya Wisaka meninggi. “Jangan cemas, Ngger” desis Kiai Gadungbawuk. “Aku akan menghentikannya” Tetapi penghubung itu berkata pula, “Bersama Pangeran Benawa adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi” “Siapa?” bertanya Harya Wisaka. “Aku tidak tahu namanya” jawab penghubung itu. “Raden Sutawijaya?” bertanya Harya Wisaka. “Bukan” “Tentu Paksi” geram Harya Wisaka. Ki Madujae lah yang menyahut, “Jadi ada gunanya pula aku pergi bersama Harya Wisaka. Biarlah aku menghentikan anak itu. Sebaiknya Harya Wisaka melanjutkan rencana memecah kepungan di sisi yang paling lemah. Apalagi sebagian dari mereka sudah berada di sisi. Biarlah Raden Suminar menjadi ujung tombak kelompok yang akan mengantar Harya Wisaka” “Baiklah, Ki Madujae” sahut Raden Suminar. “Percayalah, bahwa aku dapat menghancurkan pasukan yang akan menahan gerak kami” Demikianlah, maka Raden Suminar dan beberapa orang kepercayaannya telah menembus perlawanan para prajurit Pajang. Mereka berhasil keluar dari pintu gerbang padukuhan. Dengan garangnya Raden Suminar yang berilmu tinggi itu menyibak jalan dengan ujung pedangnya. Sementara itu beberapa orang yang menyertainya bertempur dengan garangnya seperti sekelompok serigala yang sedang lapar. Dalam pada itu, Pangeran Benawa dan Paksi yang berusaha untuk dapat menangkap Harya Wisaka di dalam padukuhan telah bertempur dengan sengitnya. Mereka berusaha untuk dapat menembus pertahanan para pengikut Harya Wisaka yang bertempur tanpa mengenal surut. Mereka benar-benar siap untuk mengorbankan apa saja yang mereka miliki, termasuk tubuh dan nyawa mereka. “Orang-orang itu benar-benar kehilangan pribadi mereka” berkata Paksi di dalam hatinya. “Jika aku tidak berhasil menemukan adikku, maka ia akan menjadi seperti orang-orang itu” Gerak maju Pangeran Benawa pun terhambat ketika seorang tiba-tiba menghadangnya. “Bukankah aku berhadapan dengan Pangeran Benawa?” berkata Ki Gadungbawuk. Pangeran Benawa memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada datar ia pun menjawab, “Ya. Aku adalah Benawa” “Apakah Pangeran sedang memburu Harya Wisaka?” “Ya. Aku memang sedang memburu Paman Harya Wisaka. Paman adalah buruan yang harus ditangkap” “Kenapa Harya Wisaka harus ditangkap?” “Aku tidak mempunyai waktu untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Minggirlah. Jangan korbanku dirimu untuk melindungi Paman Harya Wisaka” Tetapi Ki Gadungbawuk tertawa. Katanya, “Siapakah yang akan mengorbankan dirinya? Aku akan bertempur dengan sungguh-sungguh. Siapa yang menghalangi aku, akan aku singkirkan” Ki Gadungbawuk masih akan mengulur waktu untuk memberi kesempatan Harya Wisaka meninggalkan padukuhan. Karena itu, maka ia pun berkata selanjutnya, “Karena itu, aku mohon Pangeran mengurungkan niat Pangeran untuk menangkap Harya Wisaka” Pangeran Benawa sadar, bahwa orang itu sengaja mengulur waktu. Karena itu, maka Pangeran Benawa tidak berbicara lagi. Dengan tombak pendeknya Pangeran Benawa pun segera menyerang Ki Gadungbawuk. Tetapi Ki Gadungbawuk sudah bersiap sepenuhnya. Karena itu, ketika ujung tombak Pangeran Benawa mematuknya, Ki Gadungbawuk pun bergeser ke samping. Namun ujung tombak Pangeran Benawa itu pun berputar. Seperti menggeliat, ujung tombak itu menyambar mendatar ke arah dada Ki Gadungbawuk. Tetapi Ki Gadungbawuk masih sempat meloncat surut, sehingga dadanya tidak tersentuh. Pangeran Benawa yang marah itu pun memburunya. Ia harus segera menyelesaikan pertempuran itu, agar ia tidak kehilangan Harya Wisaka. Tetapi Ki Gadungbawuk bukan orang kebanyakan. Ia pun memiliki ilmu yang tinggi, sehingga perlawanannya pun benar-benar harus diperhitungkan oleh Pangeran Benawa. Sementara itu, langkah Paksi pun telah tertahan pula. Ki Madujae berusaha untuk menghalanginya. “Namamu siapa, anak muda?” bertanya Ki Madujae. Paksi tidak menghiraukan pertanyaan itu. Ia tidak mau kehilangan waktu sekejap pun. Karena itu, demikian seseorang berdiri di hadapannya sambil bertolak pinggang, maka Paksi yang telah mendapatkan sebatang tombak pendek itu langsung menyerangnya. “Jangan terlalu garang, anak muda” berkata Ki Madujae sambil tersenyum. “Kau akan menjadi terlalu cepat tua” Paksi tidak menghiraukannya. Serangannya pun kemudian justru semakin garang. Ki Madujae berusaha untuk melawannya dengan mengerahkan segenap tenaganya. Ia pun seorang yang berilmu tinggi dan terlatih untuk terjun di segala medan. Meskipun demikian, Ki Madujae harus mengakui kelebihan Paksi yang bergerak dengan tangkasnya. Tombaknya berputaran dengan cepat, menyambar mendatar, kemudian terjulur mematuk dengan cepat. Ki Madujae harus mengerahkan kemampuannya untuk mengimbangi ketangkasan anak muda itu. Ia tidak boleh terlalu cepat tersinggung jika anak muda itu mendesaknya dan bahkan ujung tombaknya mulai menyentuhnya. Ia tidak boleh kehilangan akal sehingga penalarannya menjadi kabur. Dengan demikian, maka perlawanannya akan menjadi semakin lemah. Seperti Pangeran Benawa, maka Paksi pun ingin segera menyelesaikan lawannya agar ia sempat memburu Harya Wisaka. Tetapi Ki Madujae ternyata tidak mudah ditundukkannya. Dengan tangkasnya Ki Madujae berusaha mengimbangi kemampuan Paksi yang masih sangat muda itu. Dengan demikian, bagi Pangeran Benawa dan Paksi tidak terlalu mudah untuk menyelesaikan lawan-lawan mereka. Ki Gadungbawuk telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menahan Pangeran Benawa. Setidak-tidaknya untuk mengulur waktu. Meskipun ujung tombak Pangeran Benawa sempat menyentuh tubuh Ki Gadungbawuk, namun perlawanan Ki Gadungbawuk sama sekali tidak menyusut. Demikian pula Ki Madujae. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri. Tetapi ia lebih banyak memikirkan keselamatan Harya Wisaka. Sementara itu Harya Wisaka telah bergerak keluar dari padukuhan. Raden Suminar dan para pengawal terpilihnya telah berhasil menyibak para prajurit Pajang yang berusaha menahan mereka untuk tetap berada di padukuhan. Sementara itu, Pangeran Benawa dan Paksi masih belum berhasil menghentikan perlawanan lawan-lawan mereka. Demikian pula Raden Sutawijaya. Lawannya tidak lagi hanya seorang Ki Santen Ireng. Tetapi dua orang murid Ki Santen Ireng telah membantunya melawan Raden Sutawijaya. Baru kemudian, setelah pasukan Ki Yudatama berhasil menghancurkan sebagian dari lawan-lawannya, maka Ki Yudatama pun telah bergabung dengan Raden Sutawijaya menghentikan perlawanan Ki Santen Ireng dan murid-muridnya. Dengan demikian, maka Raden Sutawijaya dan Ki Tumenggung Yudatama bersama pasukannya telah memasuki Padukuhan Pandean. Di dalam padukuhan mereka masih tertahan oleh beberapa orang pengikut Harya Wisaka. Namun mereka pun segera dapat diatasi. Dengan cepat maka Raden Sutawijaya pun bergerak ke pintu gerbang di sisi selatan. Ternyata Pangeran Benawa dan Paksi masih bertempur melawan Ki Gadungbawuk dan Ki Madujae. “Biarlah aku ikut bermain, Adimas” berkata Raden Sutawijaya ketika ia berada di belakang Pangeran Benawa yang masih bertempur. Namun Pangeran Benawa pun menjawab, “Susul Paman Harya Wisaka. Ia berada di pintu gerbang padukuhan di sebelah selatan” Dengan cepat Raden Sutawijaya pun segera meninggalkan Pangeran Benawa dan Paksi. Menurut pengamatannya, Pangeran Benawa dan Paksi akan dapat menguasai lawan-lawan mereka, meskipun masih memerlukan waktu. Karena itu, maka Raden Sutawijaya pun tidak merasa perlu untuk membantu mereka. Namun ketika Raden Sutawijaya sampai di pintu gerbang, maka yang ditemuinya adalah pertempuran antara prajurit Pajang dan para pengikut Harya Wisaka yang berusaha menahan mereka yang berusaha untuk memburu Harya Wisaka itu. Tetapi Harya Wisaka sendiri sudah tidak ada di arena pertempuran itu. Raden Sutawijaya pun kemudian bertanya kepada seorang prajurit, “Di mana Paman Harya Wisaka?” “Harya Wisaka berhasil melarikan diri keluar pintu gerbang selatan” “Apakah tidak ada yang memburunya?” “Kami tertahan dalam pertempuran ini” jawab prajurit itu. Raden Sutawijaya menggeram. Bersama Ki Tumenggung Yudatama dan beberapa orang prajurit terpilih, mereka berusaha menyibak medan pertempuran yang menjadi semakin tipis itu. Sejenak kemudian mereka telah berhasil menerobos pintu gerbang dan keluar dari padukuhan. Masih belum terlalu jauh dari pintu gerbang, Raden Sutawijaya melihat arena pertempuran yang tidak begitu besar. Hanya kelompok-kelompok kecil sajalah yang terlibat di dalamnya. “Agaknya Paman Harya Wisaka ada di sana” berkata Raden Sutawijaya. Dengan cepat Raden Sutawijaya bergerak diikuti Ki Tumenggung Yudatama. Mereka berlari ke arah arena pertempuran di tengah-tengah bulak persawahan yang kering itu. Namun langkah Raden Sutawijaya tertegun. Pertempuran itu tidak berlangsung lama. Ketika Raden Sutawijaya mendekat, maka rasa-rasanya semuanya telah selesai Harya Wisaka itu berdiri dengan kepala tunduk. Raden Suminar ternyata telah mengorbankan segala-galanya bagi Harya Wisaka. Tubuhnya terkapar di tanah. Nafasnya pun telah terhenti sama sekali. Di hadapan Harya Wisaka itu berdiri Ki Gede Pemanahan. Beberapa orang pengiringnya, bertebaran di sekitarnya bergabung dengan beberapa orang prajurit Pajang yang datang bersama Ki Tumenggung Yudatama, mengepung padukuhan itu. “Ayah” desis Raden Sutawijaya. “Di mana Pangeran Benawa dan Paksi?” “Mereka masih bertempur di padukuhan itu, Ayah. Padukuhan itu adalah salah satu sarang Paman Harya Wisaka” “Apakah mereka tidak memerlukanmu?” “Tidak, Ayah. Aku baru saja menemui Adimas Pangeran Benawa. Adimas Pangeran Benawa minta aku menyusul Paman Harya Wisaka. Ternyata Ayah sudah ada disini” Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Kemudian dipandanginya Harya Wisaka yang menunduk. Dengan nada dalam Ki Gede Pemanahan pun berkata, “Harya Wisaka, kau lihat korban yang masih saja berjatuhan. Kematian demi kematian mengiringi jejak langkahmu, kemana pun kau pergi. Sekarang, Raden Suminar yang baru tumbuh itu sudah kau korbankan pula” Harya Wisaka memandang tubuh yang terbujur itu. Perlahan Harya Wisaka melangkah mendekatinya dan berjongkok di sampingnya. “Suminar” desisnya sambil meraba dahi tubuh yang terbujur diam itu. Ditengadahkannya wajahnya sambil berdesis, “Kau telah membunuhnya meskipun tidak dengan tanganmu sendiri. Tetapi prajurit-prajuritmu yang licik telah mengeroyoknya dan membunuhnya dengan kejam” “Suminar tidak mau mendengarkan peringatan-peringatan yang diberikan kepadanya. Jika ia mau meletakkan senjatanya, maka ia tidak akan terbunuh” “Suminar adalah seorang laki-laki sejati. Ia pantang menyerah meskipun harus mengorbankan nyawanya” “Untuk apa? Apakah kau bangga bahwa Suminar bersedia mati untukmu? Jika kau memerintahkannya menyerah, ia tentu akan menyerah. Tetapi kau biarkan Suminar berbuat sebagaimana kau sebut sebagai laki-laki sejati. Apakah ukuranmu bagi seorang laki-laki sejati? Orang yang mau mati untukmu, sementara kau hanya memburu keinginanmu sendiri yang kau dasari nafsu ketamakan semata-mata?” “Kau salah, Ki Gede” jawab Harya Wisaka. “Jika itu yang terjadi, maka hanya orang-orang dungu saja yang mau mendukung perjuanganku. Tetapi lihat, orang-orang berilmu tinggi dan bernalar tajam bersedia berjuang bersamaku karena mereka melihat kebenaran di dalamnya” “Kebenaran yang dilihat dari satu sisi, tidak mungkin dipaksakan bagi segala pihak di Pajang, Harya Wisaka. Kau melihat kebenaran itu dari tempatmu berpijak tanpa menghiraukan sisi-sisi lain. Sementara itu, orang-orang yang mendukungmu, kau sangka mempunyai pandangan yang sama dengan kau sendiri? Mereka mempunyai kepentingan mereka sendiri, sementara yang lain terbius oleh harapan-harapan yang kau taburkan meskipun kau sendiri tahu, bahwa harapan-harapan itu kosong semata-mata” “Itu dugaanmu, Ki Gede. Tetapi bagi aku dan kawan-kawanku, dugaanmu itu salah. Kami berjuang bersama-sama untuk menegakkan satu cita-cita yang luhur” “Harya Wisaka. Apakah kau tidak melihat, betapa banyaknya korban yang telah jatuh dalam perselisihan ini? Kematian bertebaran di mana-mana. Sementara itu tujuanmu sangat kabur. Jika Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu kemudian duduk di atas tahta, bukankah itu sudah merupakan hasil satu permufakatan. Mungkin tidak memuaskan segala pihak. Mungkin Sultan Hadiwijaya sendiri bukanlah orang yang tidak bercacat. Tetapi itu adalah yang terbaik bagi Pajang. Terbaik dari kemungkinan-kemungkinan yang lain. Katakan, bahwa aku pun tidak merasa puas sepenuhnya atas kepemimpinan Sultan Hadiwijaya. Bahkan anaknya sendiri, Pangeran Benawa juga melihat cacat-cacat ayahandanya. Tetapi apakah kita harus menghancurkan Pajang? Menebarkan kematian di mana-mana?” Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Adakah perjuangan tanpa pengorbanan?” “Sesuaikah pengorbanan yang kau berikan dengan tujuan perjuanganmu yang kabur dan tidak mendasar? Yang kau berikan hanya berlandasan dendam dan kebencian? Dendam karena kematian Harya Penangsang dan kebencianmu kepada Sultan Hadiwijaya. Tetapi kau tidak mengingat orang-orang yang terbunuh karenanya. Termasuk Raden Suminar. Seorang anak muda yang akan dapat tumbuh menjadi pilar masa mendatang. Tetapi tunas itu harus dipatahkan sekarang, karena merambat di lanjaran yang salah” Harya Wisaka memandang wajah Raden Suminar. Darah membasahi tubuhnya, mengalir dari luka di dadanya, di lambungnya, di bahunya dan di perutnya. Tetapi wajahnya masih saja menunjukkan gereget perjuangannya yang diyakininya. “Suminar” Harya Wisaka itu berdesis. Tetapi Raden Suminar tidak mendengarnya. Harya Wisaka itu pun kemudian bangkit berdiri. Dijulurkannya kedua tangannya sambil berdesis, “Jika Ki Gede akan mengikat tanganku, ikatlah dengan apa saja” “Tidak” berkata Ki Gede. “Kita akan bersama-sama pergi ke istana menghadap Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Kangjeng Sultan bukan seorang pendendam. Ia akan berusaha untuk tegak di atas paugeran” Dalam pada itu, sebelum Ki Gede beranjak dari tempatnya membawa Harya Wisaka langsung ke istana, maka Pangeran Benawa pun telah datang pula. Ketika ia melihat Ki Gede, maka ia pun berdesis, “Paman sudah disini?” “Ki Tumenggung Yudatama telah memberikan laporan kepadaku” berkata Ki Gede Pemanahan. “Agaknya Paman datang tepat pada waktunya” “Ya. Dan perhitungan para penghubung pun benar, bahwa Harya Wisaka akan keluar dari padukuhan lewat arah selatan, karena induk pasukan Pajang berada di sisi utara” “Ya, Paman. Jika saja Paman datang beberapa saat kemudian, maka semuanya tentu sudah lewat” “Di mana Paksi, Pangeran?” bertanya Ki Gede kemudian. “Paksi masih berada di padukuhan itu, Paman. Paksi sedang mencari adiknya” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Anak-anak muda yang sedang tumbuh itu akan kehilangan pribadinya. Mudah-mudahan Paksi dapat menemukannya” Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja dari sela-sela bibirnya terdengar ia berdesis, “Anak itu telah dibawa pergi. Ada tiga orang anak muda pergi bersamanya” “Ke mana, Paman?” bertanya Pangeran Benawa. “Jika Paman bersedia membebaskan mereka, Paksi tentu akan sangat berterima kasih. Jika mereka tidak dapat dibebaskan dari cengkeraman keyakinan Paman Harya Wisaka, maka mereka akan kehilangan dirinya dan masa depannya” “Anak itu akan dapat menjadi korban tanpa arti seperti Suminar, Paman” berkata Raden Sutawijaya pula. Harya Wisaka menarik nafas panjang. Sementara itu Ki Gede pun berkata, “Apalagi setelah kau berada di tangan kami. Perjuangan yang diyakininya pada dasarnya sudah terhenti. Yang mereka lakukan kemudian tidak lagi bertujuan sama sekali. Bahkan tujuan yang kabur pun tidak. Karena itu, mereka akan dapat melakukan apa saja untuk mendapatkan kepuasan batin, sementara itu batinnya dilandasi oleh perasaan dendam dan kebencian, sehingga yang lahir dari ungkapan batinnya adalah nafsu menghancurkan apa saja tanpa tujuan” Harya Wisaka termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku tidak tahu pasti, ke mana mereka dibawa pergi. Tetapi ada niat untuk membawa mereka kepada seorang guru yang akan dapat menempa mereka menjadi orang-orang yang berilmu tinggi” “Siapakah guru yang dimaksud?” Harya Wisaka nampak ragu-ragu. Namun kemudian ia pun berkata, “Ki Gede Lenglengan” “Ki Gede Lenglengan? Aku belum pernah mendengar nama itu” desis Ki Gede Pemanahan. “Paman Harya, jika saja Paman Harya sudi menunjukkan, ke mana Paksi harus pergi mencarinya?” Harya Wisaka termangu-mangu sejenak. Ada dorongan di dalam hatinya untuk mengatakan sesuatu. “Tolonglah Paksi, Paman, agar adiknya, anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak mengalami nasib seperti Suminar. Bahkan Suminar masih dapat berbangga karena ia mati untuk satu keyakinan. Apalagi ia mati di hadapan Paman Harya Wisaka. Tetapi apa jadinya adik Paksi itu kelak jika jiwanya tidak segera dapat diselamatkan. Apakah memang tujuan Paman untuk membiarkan Paksi dan adik laki-lakinya kelak saling mendendam dan seorang di antaranya membunuh yang lain?” Tiba-tiba saja terasa kaki Harya Wisaka itu bergetar. Dengan sendat ia pun berkata, “Aku akan berkata dengan jujur, Pangeran. Aku belum tahu letak padepokan Ki Gede Lenglengan. Aku pun tidak tahu nama perguruannya, yang aku dengar, padepokan itu berada di arah Gunung Merapi” Pangeran Benawa memandang wajah Harya Wisaka dengan tajamnya. Sebelum ia mengatakan sesuatu, Ki Gede Pemanahan pun berkata, “Aku percaya kepadamu, Harya Wisaka. Agaknya kau benar-benar belum tahu letak padepokan yang dipimpin oleh orang yang menyebut dirinya Ki Gede Lenglengan itu. Tetapi jika saja kau bersedia mengatakan, siapakah di antara orang-orangmu yang mengenal dan mengetahui letak padepokan itu?” “Suminar adalah murid Ki Gede Lenglengan” “Jika demikian, perguruan itu tentu sebuah perguruan yang mempunyai tataran yang tinggi. Suminar adalah anak muda yang berilmu tinggi” “Apakah ada orang lain yang seperguruan dengan Suminar, Paman?” bertanya Pangeran Benawa. Harya Wisaka mengerutkan dahinya. Dipandanginya orang-orangnya yang ada di sekitarnya. Namun kemudian ia pun menggeleng, “Aku tidak melihatnya sekarang, Pangeran. Tetapi aku berjanji, jika aku dapat mengenali seseorang di antara saudara seperguruan Suminar, aku akan mengatakannya” “Terima kasih” Ki Gede Pemanahanlah yang menyahut, “sekarang kita akan kembali ke kota, bahkan langsung ke istana” Ki Gede pun kemudian memerintahkan untuk menyediakan kudanya dan seekor kuda bagi Harya Wisaka. “Apakah Pangeran akan kembali bersama kami?” bertanya Ki Gede. “Tidak, Paman. Aku akan menunggu Paksi. Kami akan kembali bersama-sama” Dengan demikian, maka Ki Gede Pemanahan segera meninggalkan tempat itu sambil membawa Harya Wisaka. Sekelompok prajurit pengawal yang kuat menyertainya. Bagaimanapun juga mereka masih memperhitungkan kemungkinan buruk dapat terjadi, karena para pengikut Harya Wisaka yang mungkin masih berkeliaran. Sementara itu, Raden Sutawijaya pun sempat berceritera kepada Ki Gede, apa yang terjadi di pintu gerbang kota ketika ia membawa Harya Wisaka memasuki pintu gerbang itu. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Ki Tumenggung Yudatama masih tetap tinggal. Bukan saja menunggu Paksi. Tetapi mereka harus merawat para prajurit yang terluka dan mengumpulkan mereka yang gugur di pertempuran. Bahkan juga para pengikut Harya Wisaka. Sementara yang menyerah telah dikumpulkan di banjar padukuhan dengan tangan terikat di bawah pengawasan yang kuat. Di banjar itu pula Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi mengamati para tawanan. Sebagian dari mereka adalah anak-anak muda yang sedang tumbuh. Namun ternyata mereka telah terperangkap ke dalam lingkungan yang salah. “Aku menjadi sangat cemas akan nasib adikku” berkata Paksi kemudian. “Kesempatanmu untuk menemukan adikmu memang kecil sekali, Paksi. Tetapi tidak tertutup sama sekali. Harya Wisaka pada saat-saat terakhir memberikan sedikit petunjuk yang barangkali dapat dipakai sebagai alas usaha pencaharian itu” berkata Pangeran Benawa. Paksi memandang Pangeran Benawa dengan karut di kening. Dengan singkat Pangeran Benawa pun kemudian telah memberitahukan kepada Paksi, bahwa ada kemungkinan adiknya berada di sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Padepokan yang berada di arah Gunung Merapi. Tetapi Harya Wisaka tidak dapat memberikan keterangan lebih banyak lagi, sementara itu, Suminar, salah seorang pengikut setia Paman Harya Wisaka yang berasal dari perguruan itu sudah terbunuh. Paksi menarik nafas panjang. Ia menjadi semakin cemas, bahwa adiknya akan berada di bawah bimbingan seorang guru yang telah membentuk seseorang yang seakan-akan tidak lagi sempat mempergunakan penalarannya meskipun ia berilmu tinggi sebagaimana Raden Suminar. “Anak itu harus diselamatkan” berkata Paksi seakan-akan kepada diri sendiri. “Ya. Kau memang tidak akan dapat membiarkan anak itu tenggelam di dalam dendam” “Hamba tidak dapat menunda-nunda lagi, Pangeran. Hamba harus segera pergi” “Aku tahu, Paksi. Tetapi sebaiknya kita berbicara lebih mendalam. Mungkin kita perlu berbicara dengan Guru, dengan Paman Pemanahan dan mungkin dengan Ayahanda sendiri” Paksi mengangguk hormat. Hampir tidak terdengar ia berdesis, “Hamba, Pangeran” Dalam pada itu, para prajurit Pajang pun telah sibuk dengan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur. Lewat tengah hari, telah datang pasukan baru yang akan menggantikan pasukan yang letih itu. Pasukan yang baru itu harus menyelesaikan tugas-tugas pasukan yang terdahulu, yang akan segera kembali ke barak mereka. Setelah serah terima tugas, maka Ki Yudatama dan pasukan berkudanya segera kembali ke barak mereka. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pun berkuda bersama mereka pula. Di pintu gerbang kota mereka berhenti. Ki Yudatama bertanya kepada pemimpin prajurit yang bertugas, siapakah yang memimpin tugas para prajurit di pintu gerbang semalam. Dalam pada itu, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pun telah ikut pula memasuki barak Ki Tumenggung Yudatama. Mereka merencanakan, menjelang malam mereka akan mohon menghadap Kangjeng Sultan untuk melengkapi laporan tentang tertangkapnya Harya Wisaka. Sementara itu, pemimpin prajurit yang bertugas di pintu gerbang semalam yang dipanggil oleh Ki Tumenggung Yudatama telah menghadap pula. “Kau kenal dengan ketiga orang ini?” bertanya Ki Tumenggung Yudatama. “Ampun, Ki Tumenggung. Semalam aku tidak dapat mengenal ketiganya” “Seandainya bukan mereka, kau telah menyebabkan Harya Wisaka terlepas” “Ampun, Ki Tumenggung. Aku sama sekali tidak tahu, bahwa orang itu adalah Harya Wisaka” “Bukankah Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi sudah memberitahukan bahwa yang ditangkap itu adalah Harya Wisaka?” “Ya, Ki Tumenggung” “Kau terlalu bernafsu untuk memiliki hadiah bagi siapa yang dapat menangkap Harya Wisaka. Bahkan kemudian kau telah terjebak oleh daging seekor kambing yang akan disembelih, jadi kau tukar Harya Wisaka dengan seekor kambing” “Ampun, Ki Tumenggung” “Bukan itu saja. Tiga orang prajuritmu mati sia-sia di pintu gerbang Padukuhan Pandean. Mereka terjebak karena kebodohan dan ketamakanmu” Pemimpin prajurit yang bertugas di pintu gerbang semalam itu menundukkan kepalanya. Ia sangat menyesal. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Tiga orang kawannya meninggal tanpa arti terjebak di sarang para pengikut Harya Wisaka. “Sekarang pulanglah” berkata Ki Tumenggung. “Tetapi setiap saat kau akan dipanggil untuk mempertanggung-jawabkan kebodohanmu itu” “Aku pasrah, karena aku memang telah melakukan kesalahan yang besar” “Kau dapat membayangkan, karena kesalahanmu itu, maka Harya Wisaka harus ditangkap setelah terjadi pertempuran yang menelan banyak korban di kedua pihak. Jika kau tidak melakukan kesalahan itu, maka Harya Wisaka sudah berada di tangan kami tanpa harus menambah korban” Wajah pemimpin kelompok prajurit itu menunduk dalam-dalam. Waktu sudah berlalu, sehingga ia tidak akan dapat mengulanginya lagi. Kematian itu sudah menerkam beberapa orang dan menelannya, sehingga tidak akan dapat dimuntahkan kembali. Yang kemudian harus dihadapinya adalah pengadilan yang akan menentukan, hukuman apakah yang harus disandangnya. Dalam pada itu, ketika malam turun, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya, Paksi, diantar Ki Tumenggung Yudatama telah pergi menemui Ki Gede Pemanahan. Bersama-sama mereka akan menghadap Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Berlima mereka diterima oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang nampak letih. Kangjeng Sultan sendiri bersama Ki Gede Pemanahan menjelang senja telah berbicara langsung dengan Harya Wisaka. Namun Ki Gede Pemanahan telah memberitahukan, jika diperkenankan, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi akan mohon waktu untuk menghadap. Meskipun Kangjeng Sultan merasa letih, tetapi Kangjeng Sultan tidak menolak. Apalagi di antara mereka terdapat Pangeran Benawa. Sebenarnya Pangeran Benawa sendiri mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadap ayahandanya. Namun karena ia akan datang bersama Paksi, maka ia memerlukan perkenan ayahandanya untuk menerimanya. Pada dasarnya Kangjeng Sultan sendiri juga ingin mendengar laporan langsung dari Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi yang telah berhasil menangkap Harya Wisaka, dan yang kemudian harus dilepaskannya kembali. Namun dengan demikian, mereka justru dapat menemukan salah satu sarang dari para pengikut Harya Wisaka. Bahkan beberapa orang terpenting di antara mereka telah menyerah dan yang lain terbunuh di pertempuran. Berganti-ganti Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menceriterakan apa yang sudah terjadi sejak mereka bertemu dengan adik laki-laki Paksi di rumahnya sehingga pertempuran yang terjadi di Padukuhan Pandean serta kedatangan Ki Gede Pemanahan serta tertangkapnya kembali Harya Wisaka. Terakhir Paksi telah melaporkan, bahwa ia benar-benar telah kehilangan adiknya. Kangjeng Sultan Hadiwijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku telah berbicara dengan Harya Wisaka yang dibawa menghadap oleh Kakang Pemanahan. Kakang Pemanahan juga sudah menyinggung tentang adik Paksi yang sudah terlanjur dibawa pergi” “Jika hamba tidak segera dapat menemukannya, maka nasib adik hamba itu tidak akan menjadi lebih baik dari nasib Raden Suminar” “Nampaknya Harya Wisaka menyesali kematian Suminar” berkata Kangjeng Sultan kemudian. “Agaknya ada sesuatu yang tumbuh di hati Harya Wisaka. Ia berusaha memberikan petunjuk sejauh yang diketahui tentang sebuah padepokan yang mungkin akan menjadi tempat berguru adikmu, Paksi. Mungkin Harya Wisaka juga sudah mengatakan kepadamu serba sedikit tentang Ki Gede Lenglengan” “Hamba, Sinuhun” “Aku mengenal Ki Gede Lenglengan meskipun Kakang Pemanahan nampaknya belum. Ki Gede Lenglengan di masa kecilnya adalah seorang anak muda yang binal. Anak muda yang tidak mau terikat oleh paugeran yang berlaku dalam tatanan kehidupan. Aku pernah mengembara bersamanya. Tetapi kami berselisih dan berkelahi. Aku hampir saja membunuhnya. Nampaknya Lenglengan itulah yang kini mendirikan sebuah padepokan di kaki Gunung Merapi itu” Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Hamba ingin mencari adik hamba” “Tapi kau harus sangat berhati-hati berhubungan dengan Lenglengan. Menilik kelebihannya di masa muda, Lenglengan sekarang tentu memiliki ilmu yang sangat tinggi” “Tetapi hamba tidak dapat membiarkan adik hamba berada di tangannya. Hamba tidak dapat membiarkan adik hamba mengalami nasib seperti Raden Suminar” “Aku mengerti akan kecemasanmu itu, Paksi. Tetapi sebaiknya kau berbicara lebih dahulu dengan guru-gurumu” “Hamba, Sinuhun” “Kau harus mendengarkan nasehat dan petunjuk-petunjuknya. Tugas yang akan kau sandang mungkin akan memerlukan waktu yang agak panjang” “Hamba, Sinuhun” “Meskipun demikian, aku ingin berpesan kepadamu, Paksi. Jika kau sudah mendapatkan kepastian bahwa kau akan mencari adikmu, aku minta kau datang kepadaku” “Hamba, Sinuhun” “Kau juga harus minta diri kepada Ki Gede Pemanahan” “Hamba, Sinuhun” Demikianlah, maka Ki Gede Pemanahan pun minta diri. Ternyata atas permohonan Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi malam itu diperkenankan bermalam di istana. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan dan Ki Tumenggung Yudatama pun segera minta diri. “Mudah-mudahan dengan tertangkapnya Harya Wisaka, keadaan akan dapat menjadi semakin tenang. Apalagi beberapa orang pemimpinnya telah tidak berdaya pula. Bahkan sebagian dari mereka telah terbunuh” berkata Kangjeng Sultan. “Tetapi kita masih akan membersihkan Pajang dari sisa-sisa pengikutnya, Sinuhun” sahut Ki Tumenggung Yudatama. “Tentu, Ki Tumenggung. Semisal sapu lidi, mereka telah kehilangan ikatannya. Tetapi bukan berarti bahwa semuanya sudah selesai. Jika pada suatu saat tampil seorang kuat yang sanggup mengikat mereka, maka mereka akan timbul lagi. Bahkan mungkin yang timbul itu akan menjadi lebih keras dan buas” berkata Kangjeng Sultan selanjutnya. “Hamba, Sinuhun” Ki Tumenggung Yudatama mengangguk dalam-dalam. Demikianlah, maka Ki Tumenggung Yudatama dan Ki Gede Pemanahan pun segera meninggalkan istana. Mereka sepakat untuk tidak mengendorkan usaha untuk menumpas sisa-sisa para pengikut Harya Wisaka. Justru pada satu saat yang sangat menentukan. Saat mereka kehilangan harapan dan kehilangan tempat bergantung karena Harya Wisaka sudah tertangkap. Malam itu, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi bermalam di istana. Pangeran Benawa telah membawa mereka ke kasatrian. Namun Pangeran Benawa tidak tidur di dalam biliknya. Biliknya sebagai seorang putra terpenting dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Tetapi Pangeran Benawa tidur bersama Raden Sutawijaya dan Paksi di serambi samping bangsal kasatrian Pajang. Esok pagi-pagi mereka bertiga sudah bersiap untuk meninggalkan istana kembali ke padepokan mereka di Hutan Jabung. “Pergilah” berkata Kangjeng Sultan kepada mereka bertiga ketika mereka minta diri. Lalu kepada Paksi Kangjeng Sultan itu pun berkata, “Aku ingin mengingatkan, jika kau pergi mencari adikmu, jangan lupa, datanglah kepadaku dan kepada Ki Gede Pemanahan” “Hamba, Sinuhun” Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu pun telah meninggalkan istana. Mereka masih saja mengenakan pakaian orang kebanyakan dan berjalan kaki keluar pintu gerbang kota. Para prajurit yang bertugas tidak memperhatikan mereka bertiga. Mereka pun tidak menghentikan mereka bertiga, apalagi setelah Harya Wisaka tertangkap. Namun seorang lurah prajurit yang bertugas memimpin para prajurit yang bertugas itu sempat mengenali mereka. Terutama Pangeran Benawa. Karena itu, maka lurah prajurit itu pun mengangguk hormat sambil berkata, “Ampun, Pangeran. Kemana Pangeran ini hendak pergi sepagi ini?” “Kau kenal aku?” bertanya Pangeran Benawa. “Hamba, Pangeran” jawab Lurah prajurit itu. “Sudahlah. Kau simpan saja sendiri” “Hamba, Pangeran” Tetapi ketika Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi itu melanjutkan perjalanan, prajurit-prajuritnya pun bertanya, “Siapakah mereka, Ki Lurah?” “Orang-orang dungu. Seorang di antara mereka adalah Pangeran Benawa” “Jika demikian, yang seorang lagi itu tentu Raden Sutawijaya dan yang satu lagi Paksi, anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang sudah tertangkap itu” “Ya. Ya” Para prajurit itu hanya dapat memandang mereka dari kejauhan. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pun sudah menjadi semakin jauh. “Kenapa mereka berpakaian seperti orang kebanyakan?” bertanya seorang prajurit. Lurahnya menggeleng sambil berkata, “Entahlah. Namun justru karena itu, pemimpin prajurit yang bertugas kemarin malam telah melakukan kesalahan yang besar sekali” “Mereka tentu sedang menyamar” berkata prajurit yang lain. “Sebelum Harya Wisaka tertangkap, mereka tentu sedang menyamar. Tetapi setelah Harya Wisaka tertangkap, mereka masih saja mengenakan pakaian seperti itu” “Mereka menyatakan dirinya sebagai cantrik padepokan di Hutan Jabung” “Ya, kau benar” berkata lurah prajurit itu. “Pakaian seperti itulah mungkin yang dianggap paling pantas bagi seorang cantrik padepokan Hutan Jabung” Ki Lurah tersenyum. Kawan-kawannya pun mengangguk-angguk. Sementara itu Pangeran Benawa Raden Sutawijaya dan Paksi pun melangkah terus menuju ke Hutan Jabung..... Namun ketika mereka sampai di Hutan Jabung, yang ada hanyalah Ki Panengah. Ki Waskita sendiri masih berada di kota. “Sayang sekali. Ketika kami meninggalkan kota, kami tidak berusaha menemui Ki Waskita lebih dahulu” desis Pangeran Benawa. “Tidak apa-apa” sahut Ki Panengah. “Ki Waskita tentu akan segera kembali” Dalam pada itu, Paksi masih belum menyatakan keinginannya untuk pergi mencari adiknya. Ia menunggu Ki Waskita datang di padepokan. Baru kemudian ia akan mengatakan kepada kedua orang gurunya itu, bahwa ia akan pergi mencari adiknya. Di sore hari, Ki Waskita ternyata sudah datang pula. Pada hari itu Ki Waskita bertemu dengan Ki Gede Pemanahan untuk mendapatkan penjelasan tentang tertangkapnya Harya Wisaka. “Ki Gede mengatakan bahwa hari ini kalian bertiga merencanakan untuk kembali ke Hutan Jabung. Karena itu, maka aku pun segera menyusul kalian” Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi mengangguk-angguk mengiakan. Sementara itu, Ki Waskita pun berkata, “Selain itu, Ki Gede mengatakan, bahwa ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan oleh Paksi kepadaku dan kepada Ki Panengah” “Ya, Guru” sahut Paksi. “Apakah kau sudah mengatakannya kepada Ki Panengah?” “Belum, Guru. Aku memang menunggu Guru, agar aku dapat menyampaikannya sekaligus kepada kedua orang guruku” “Sekarang kami sudah lengkap” berkata Ki Panengah. “Apa yang ingin kau sampaikan kepada kami, Paksi?” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Guru, aku tidak berhasil menemukan adikku. Ketika aku ikut memburu Harya Wisaka ke Padukuhan Pandean, ternyata adikku sudah dibawa pergi. Karena itu, aku mohon ijin untuk pergi mencari adikku itu” Ki Panengah menarik nafas panjang. Katanya, “Kemana kau akan mencari, Paksi? Bukankah tidak seorang pun tahu, kemana adikmu dibawa pergi” “Ada beberapa petunjuk yang diberikan oleh Harya Wisaka, Guru” “Harya Wisaka?” “Ya. Agaknya ada sentuhan-sentuhan halus di dalam dadanya ketika ia melihat tubuh Raden Suminar yang terbunuh di pertempuran” “Raden Suminar?” desis Ki Panengah. “Ya. Tubuhnya yang terbaring dipenuhi oleh luka-luka, sehingga seluruh pakaiannya menjadi merah” “Apa petunjuk Harya Wisaka?” bertanya Ki Waskita. “Harya Wisaka menyebut sebuah perguruan yang mungkin akan menjadi tempat persinggahan adikku, dan bahkan mungkin ia akan berguru di perguruan itu” “Perguruan apa, Paksi?” bertanya Ki Waskita pula. “Harya Wisaka tidak dapat menyebut nama perguruan itu. Ia hanya mengatakan bahwa letak perguruan itu di arah Gunung Merapi. Sedangkan pemimpinnya bernama Ki Gede Lenglengan. Tetapi Harya Wisaka tidak dapat memberikan keterangan lebih jelas. Sedangkan Raden Suminar adalah salah seorang murid dari perguruan itu” “Ki Gede Lenglengan” Ki Waskita mengulang. “Aku belum pernah mendengar nama itu” Sambil berpaling kepada Ki Panengah, Ki Waskita itu pun bertanya, “Apakah Ki Panengah pernah mendengarnya?” Ki Panengah menggeleng, “Belum, Ki Waskita” “Kangjeng Sultan Hadiwijaya justru sudah mengenalnya” Paksi menyela. “Keduanya justru bertengkar dan bahkan Kangjeng Sultan selagi masih mudanya, hampir saja membunuhnya. Tetapi Kangjeng Sultan berhasil mengekang diri. Namun setelah itu, mereka tidak pernah bertemu lagi. Kangjeng Sultan menduga, bahwa Ki Gede Lenglengan itu adalah kawannya mengembara yang bernama Lenglengan pula” Ki Panengah dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Dengan nada datar Ki Waskita bertanya, “Memang mungkin sekali. Nama itu jarang sekali dipakai orang, sehingga kemungkinannya di Pajang, Demak dan sekitarnya hanya ada satu orang yang bernama Lenglengan. Sejak dahulu sampai sekarang. Meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa ada orang lain yang bernama sama. Tetapi kemungkinannya kecil sekali” “Ya, Guru” sahut Paksi. “Jika demikian, apakah rencanamu?” bertanya Ki Waskita. “Aku akan mohon diri, Guru. Aku ingin mencari adikku itu” “Kau sadari jalan yang akan kau tempuh?” “Aku sadari, Guru” “Seandainya kau dapat menemukan padepokan itu, apakah kau akan dapat mengambil adikmu keluar? Kau harus memperhitungkan kemungkinan, bahwa orang-orang di padepokan itu akan memusuhimu, apalagi jika mereka mendengar bahwa salah seorang muridnya terbunuh di pertempuran melawan orang-orang Pajang di Pandean. Sedangkan kau berdiri di pihak Pajang, meskipun Ki Tumenggung Sarpa Biwada berdiri di pihak Harya Wisaka bersama-sama dengan Raden Suminar. Apalagi jika sikap adikmu tetap memusuhimu” “Aku mengerti, Guru. Tetapi aku tidak dapat berdiam diri jika adikku akan mengalami nasib seperti Raden Suminar. Meskipun Harya Wisaka sudah tertangkap, tetapi akan dapat timbul orang lain untuk menggantikannya. Mungkin orang lain itu mengemban keyakinan sebagai pengikut Harya Wisaka, tetapi mungkin orang lain itu sekedar memanfaatkan keadaan. Orang lain itu berhasil memasang kendali dan mengarahkan gejolak yang sudah tersimpan sebelumnya untuk kepentingannya sendiri, meskipun orang itu juga menyebut-nyebut nama Harya Wisaka” “Syukurlah jika hal itu kau sadari” berkata Ki Waskita. “Dengan demikian kau pun menyadari, bahwa beban tugasmu akan menjadi sangat berat” “Ya, Guru” “Lalu apa rencanamu?” “Aku akan mohon diri” “Sendiri?” “Ya, Guru” “Aku ikut bersamamu, Paksi” berkata Pangeran Benawa. “Kita pernah menjelajahi kaki Gunung Merapi meskipun di sisi selatan. Sekarang kita akan memanjat kaki Gunung Merapi di sisi timur dan mungkin utara” “Pangeran” berkata Paksi, “Pangeran tentu mempunyai tugas-tugas tertentu di istana sebagai putera Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang kelak akan menggantikan kedudukan ayahanda Pangeran. Sebaiknya hamba pergi sendiri” “Tidak” berkata Pangeran Benawa, “aku tidak mempunyai tugas apa-apa. Ketika masih muda, Ayah juga seorang pengembara. Dengan demikian pengalamanku akan menjadi semakin luas. Pengenalanku atas bumi Pajang akan menjadi semakin akrab” “Tetapi jika terjadi sesuatu di perjalanan, taruhannya akan menjadi sangat mahal. Pangeran mempunyai nilai yang sangat tinggi bagi Pajang. Berbeda dengan hamba, Pangeran. Hamba adalah seorang yang tidak mempunyai arti apa-apa bagi Pajang. Persoalan yang hamba hadapi adalah persoalan keluarga hamba. Persoalan yang sangat pribadi, yang tidak selayaknya menyentuh ujung kain panjang Pangeran Benawa” “Sudahlah, jangan berpikir terlalu jauh. Kita lanjutkan pengembaraan kita yang sangat menarik itu. Aku senang hidup di kaki Gunung Merapi yang sejuk itu” Ki Waskita dan Ki Panengah mendengarkan pembicaraan itu dengan jantung yang berdebaran. Dengan ragu-ragu Ki Waskita pun kemudian menyela, “Pangeran, sebaiknya Pangeran tidak pergi. Paksi akan pergi untuk waktu yang tidak ditentukan. Perjalanannya pun sangat berbahaya. Sementara itu persoalan yang dihadapinya adalah persoalan keluarganya. Persoalan yang sangat kecil untuk menyangkut Pangeran Benawa” “Ki Waskita jangan memilah-milahkan kepentingan seseorang berdasarkan pada kedudukannya. Mungkin persoalan yang ingin ditangani oleh Paksi adalah persoalan keluarga dalam hubungannya dengan adik laki-lakinya. Tetapi persoalan ini menyangkut keselamatan seseorang. Mungkin tidak hanya seorang adik Paksi, tetapi ada beberapa orang anak muda yang harus diselamatkan jiwanya. Menurut Paman Harya Wisaka, adik laki-laki Paksi itu telah dibawa ke padepokan Ki Gede Lenglengan bersama-sama dengan tiga orang anak muda. Setidak-tidaknya bertiga dengan adik laki-laki Paksi itu. Dengan demikian aku mempunyai kesimpulan, bahwa selain mereka tentu sudah ada anak muda yang lain yang dibawa ke padepokan Ki Gede Lenglengan itu” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Ki Panengah pun berkata, “Jika Pangeran sudah kukuh untuk pergi bersama Paksi, maka Pangeran harus minta ijin lebih dahulu kepada Ayahanda. Jika Pangeran pergi tanpa ijin Ayahanda, maka aku akan terbebani tanggung jawab, karena selama ini Pangeran dianggap menjadi seorang cantrik di padepokan ini” “Baik, Ki Panengah. Aku akan minta ijin Ayahanda” Sambil berpaling kepada Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa berkata, “Tolong, bantu aku Kakangmas, agar aku diijinkan. Baik oleh Ayahanda Sultan maupun oleh Paman Pemanahan” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya aku juga ingin pergi, Adimas. Tetapi tidak mungkin. Ayah tentu tidak mengijinkan. Kami harus mulai memikirkan Tanah Mentaok yang dibuka. Ayahanda Sultan telah memberikan isyarat, jika persoalan Harya Wisaka selesai, maka Ayahanda Sultan akan mulai memikirkan Hutan Mentaok” “Waktunya masih lama, Kakangmas. Ayah nampaknya terlalu lamban menangani Hutan Mentaok. Setelah persoalan Paman Harya Wisaka selesai, Ayahanda baru akan mulai menangani Hutan Mentaok. Akan mulai bagi Ayahanda dapat berarti setelah setahun tetapi juga dapat berarti setelah sepuluh tahun” Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Tetapi jika akan mulai itu tiba-tiba datang? Sayang sekali, Adimas. Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku tidak boleh pergi meninggalkan Pajang. Setiap saat aku dan Ayah Pemanahan dapat dipanggil oleh Ayahanda Sultan untuk membicarakan persoalan Hutan Mentaok” “Baiklah, Kakangmas. Namun aku minta Kakangmas membantu aku agar aku dapat pergi bersama Paksi ke kaki Gunung Merapi” “Sampai kapan, Dimas?” “Tentu tidak dapat menyebut, berapa lama aku akan mengembara bersama Paksi” Raden Sutawijaya menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Baiklah, Dimas. Aku akan membantu. Mudah-mudahan Ayahanda Sultan tidak berkeberatan sehingga Paksi tidak pergi seorang diri” “Besok kita menghadap Ayahanda. Bukankah Ayahanda berpesan, jika Paksi jadi akan pergi mencari adiknya, ia harus minta diri kepada Ayahanda Sultan?” “Ya. Kita besok menghadap Ayahanda. Bukankah begitu, Paksi? Sesuai dengan pesan Ayahanda” “Hamba, Pangeran” “Baiklah, Paksi. Jika kau memang berkeras untuk pergi mencari adikmu, demikian pula jika Pangeran Benawa berkeras untuk pergi bersama Paksi, maka kami tidak akan dapat mencegah kalian. Tetapi sebaiknya kalian jangan pergi esok pagi. Esok pagi dapat saja kalian menghadap Kangjeng Sultan. Tetapi kami, aku dan Ki Waskita, minta kalian masih kembali ke padepokan ini. Besok malam kami akan memberikan beberapa pesan kepada kalian berdua sebagai murid-murid dari padepokan ini” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Ki Panengah. Paksi tentu juga tidak akan berkeberatan” Demikianlah, maka Ki Panengah dan Ki Waskita telah sepakat untuk melepaskan Paksi dan Pangeran Benawa pergi, meskipun mereka menyadari, bahwa perjalanan yang akan ditempuh oleh Pangeran Benawa dan Paksi itu adalah perjalanan yang sangat berbahaya. Malam itu Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi tidur di barak mereka. Ketika mereka berada di tengah-tengah para cantrik maka berganti-ganti mereka bertanya, bagaimana mereka bertiga mampu menangkap Harya Wisaka yang disebut memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan Harya Wisaka itu tidak sendiri pada saat itu. Ia dikawal oleh beberapa orang pengawalnya yang setia. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi tidak mau mengecewakan kawan-kawannya para cantrik padepokan Hutan Jabung itu. Karena itu, maka berganti-ganti mereka berceritera untuk saling melengkapi. Para cantrik itu pun menjadi sangat kagum kepada ketiga orang itu. Namun mereka berkata di dalam hati, “Tentu saja putera Kangjeng Sultan dan putera Ki Gede Pemanahan itu mempunyai banyak kelebihan. Sedangkan Paksi telah mendapat tempaan khusus dari Ki Panengah dan Ki Waskita” Baru sedikit lewat malam para cantrik itu pun pergi ke pembaringan mereka masing-masing. Di hari berikutnya, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pergi menghadap Ki Gede Pemanahan dan Kangjeng Sultan untuk mohon diri. Sebagaimana diperintahkan oleh Kangjeng Sultan, jika Paksi benar-benar akan pergi mencari adiknya, supaya datang menghadap untuk mohon diri. Ki Pemanahan memang menjadi terharu melihat kesediaan Paksi menempuh bahaya untuk menemukan adiknya. Dengan nada berat Ki Gede Pemanahan itu berkata, “Kau sadari sikap adikmu terhadapmu, Paksi?” “Ya, Ki Gede. Selagi belum terlanjur, aku ingin membawanya kembali dari jalan sesat yang dipaksakan kepadanya itu, Ki Gede” “Aku hormati ketetapan hatimu itu, Paksi. Kebesaran jiwamu dan cintamu kepada keluargamu. Tetapi kau pun harus menghargai hidupmu sendiri” “Ya, Ki Gede” “Kau harus dapat menilai dengar wajar padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan itu. Jika kau memasuki padepokan itu, maka kau akan sama saja dengan memasuki sarang ular naga yang siap menyambutnya dengan mulut menganga” “Aku mengerti, Ki Gede” “Pikirkan sepanjang perjalananmu cara terbaik untuk membawa adikmu pulang, Paksi” “Ya, Ki Gede” Setelah memberikan banyak pesan-pesan yang sangat berarti bagi Paksi, maka Ki Gede itu pun kemudian berkata, Kita pergi ke istana untuk menghadap Kangjeng Sultan sekarang, Paksi” Demikianlah, bersama Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan, Paksi pun pergi ke istana memenuhi perintah Kangjeng Sultan. Seperti Ki Gede Pemanahan, Sultan Hadiwijaya merasa kagum akan kesetiaan Paksi terhadap keluarganya. Meskipun ia sadar, bahwa padepokan itu merupakan tempat yang sangat berbahaya, namun ia akan berusaha untuk menemukan adiknya yang sudah tersuruk ke dalamnya. Seperti Ki Gede, maka Kangjeng Sultan yang juga sudah kenyang pengalaman pengembaraan di masa mudanya, memberikan banyak sekali pesan-pesan yang sangat berarti bagi Paksi. Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa berkata, “Ayahanda, hamba ingin mohon ijin untuk menemani Paksi” Kangjeng Sultan memang agak terkejut. Dipandanginya Ki Gede Pemanahan untuk mendapatkan pertimbangannya. “Pangeran” berkata Ki Gede Pemanahan, “Pangeran harus mempersiapkan diri untuk tugas-tugas kerajaan mendatang”, “Apakah Ayahanda dahulu juga pernah mempersiapkan diri seperti itu di istana?” Pangeran Benawa itu justru bertanya. “Tetapi sebagai menantu Kangjeng Sultan Trenggana di Demak, aku banyak belajar di lingkungan istana, Benawa” sahut Kangjeng Sultan. “Baru setelah Ayah berada di istana. Tetapi sebelumnya? Sampai kapan waktu itu Ayah mengembara?” Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa darah pengembaranya telah mengalir di tubuh anaknya. Meskipun berbeda dengan dirinya yang lahir di padukuhan kecil yang bernama Tingkir, sedangkan Pangeran Benawa lahir di istana, namun ia tidak dapat mencegah mengalirnya darah pengembaranya ke tubuh anaknya. Sementara itu Pangeran Benawa telah menggamit Raden Sutawijaya, agar ia membantunya mendesak ayahnya, Ki Gede Pemanahan dan ayahanda angkatnya, Kangjeng Sultan Hadiwijaya, agar mereka mengijinkan Pangeran Benawa pergi bersama Paksi. Namun ternyata Raden Sutawijaya tidak berkata apa-apa. Bahkan Raden Sutawijaya itu justru semakin menunduk. Karena itu, maka Pangeran Benawa itu berkata pula, “Hamba mohon, Ayahanda” “Menurut ceriteramu, ketika kau mengembara bersama Paksi sebelumnya, kau dan Paksi telah menyamarkan diri. Tidak ada yang tahu bahwa kau adalah Pangeran Benawa. Namun sekarang kau tidak dapat melakukannya, karena adik Paksi itu akan dapat segera mengenalimu. Dengan demikian, maka seisi padepokan itu akan segera tahu, bahwa kau adalah anak Sultan Hadiwijaya yang memenjarakan Harya Wisaka. Apalagi jika Ki Gede Lenglengan itu benar-benar Lenglengan yang aku kenal. Ia sangat berhati-hati” Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Namun Kangjeng Sultan itu pun kemudian berkata, “Baiklah, Benawa. Kau boleh pergi bersama Paksi. Tetapi aku ingin menasehatkan kepada Paksi dan kau, Benawa. Sebaiknya yang kalian lakukan adalah sekedar mencari dan menemukan padepokan itu. Kemudian setelah kalian menemukannya, maka kalian harus membawa sekelompok prajurit untuk memasuki padepokan itu” “Maksud Ayahanda, jika kami menemukan padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan, kami harus kembali ke Pajang untuk mengambil dan kemudian membawa sekelompok prajurit menyerang padepokan itu?” “Ya” Sementara itu Ki Gede Pemanahan pun berkata pula, “Itu adalah jalan yang paling baik untuk ditempuh, Pangeran” “Tetapi kalau Ki Gede Lenglengan tidak berniat memusuhi kami?” “Bukankah pasukan itu tidak menyerang padepokan itu dengan serta-merta. Kalian harus membuat hubungan dengan Ki Gede Lenglengan. Jika Ki Gede Lenglengan tidak ingin memusuhimu, maka dalam hubungan itu, ia tentu akan bersedia menyerahkan adik laki-laki Paksi. Tetapi jika tidak, maka persoalannya akan menjadi lain” Pangeran Benawa termangu-mangu sejenak. Di luar sadarnya ia berpaling kepada Paksi. “Kalian tidak mempunyai pilihan lain” berkata Kangjeng Sultan. “Jika kalian memaksa diri karena kemudaan kalian, sehingga darah kalian mudah mendidih, maka kalian akan mengalami kesulitan yang mungkin tidak teratasi” “Bagaimana pendapatmu, Paksi?” Paksi memang tidak dapat mengelak. Jika ia menolak petunjuk Kangjeng Sultan, maka mungkin Kangjeng Sultan justru tidak dapat mengijinkan Pangeran Benawa pergi. Pangeran Benawa tentu akan menjadi sangat kecewa. Karena itu, maka Paksi pun kemudian berkata, “Segala sesuatunya terserah kepada Pangeran” Pangeran Benawa memandang Raden Sutawijaya sekilas. Namun Raden Sutawijaya itu justru berkata, “Adimas, nampaknya jalan itu adalah jalan yang terbaik. Kita tidak dapat membanggakan diri melampaui keterbatasan kita masing-masing. Padepokan Ki Gede Lenglengan tentu berisi beberapa orang cantrik dan putut yang sudah mewarisi sebagian besar ilmu Ki Gede Lenglengan sebagaimana Raden Suminar. Karena itu, seberapa pun tinggi ilmu Adimas Pangeran dan Paksi, namun adalah sangat berbahaya jika Pangeran dan Paksi ingin memaksakan kehendak kalian kepada Ki Gede Lenglengan di padepokannya sendiri yang dikerumuni oleh para cantrik, putut dan jejanggan” Akhirnya Pangeran Benawa mengangguk-angguk sambil berdesis, “Baiklah, Ayahanda. Hamba dan Paksi akan menjalankan petunjuk Ayahanda” Kangjeng Sultan Hadiwijaya menarik nafas panjang. Katanya, “Jika kalian berjanji, maka Benawa akan aku ijinkan pergi bersama Paksi. Bagaimanapun juga Benawa mempunyai kedudukan khusus di Pajang, sehingga keselamatannya harus mendapat perhatian. Bukan berarti aku mengabaikan keselamatan Paksi. Tetapi kedua-duanya tidak boleh terperosok ke dalam panasnya api yang menyala di dalam dada kalian. Aku sekarang selalu mengucap syukur, bahwa aku dapat melampaui masa-masa gejolak mudaku dengan selamat, karena waktu itu aku kadang-kadang hanyut dalam arus kemudaanku, sehingga aku sering kehilangan penalaran yang wajar. Karena itu, aku dapat memperingatkan kalian, agar kalian lebih berhati-hati dari sikap dan tingkah lakuku di masa muda. Bahkan aku kadang-kadang masih merasa ngeri atas sikap dan tingkah lakuku sendiri di masa muda itu” Pangeran Benawa dan Paksi menundukkan wajah mereka. Mereka mengerti maksud pesan-pesan Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang di masa mudanya telah melakukan pengembaraan yang sangat panjang. Banyak sekali pengalaman-pengalaman yang didapatnya dalam pengembaraan itu. Namun Kangjeng Sultan itu berkata lebih lanjut, “Jika aku mendapat kesempatan untuk menjadi muda kembali, aku tidak akan berani melakukan sebagaimana pernah aku lakukan itu” Peringatan itu terasa sangat keras di hati Pangeran Benawa dan Paksi. Namun dengan demikian, maka Pangeran Benawa dan Paksi akan mempertimbangkan segala tingkah lakunya dengan lebih seksama lagi. Dalam pada itu, maka Ki Gede Pemanahan pun berkata, “Jika demikian, Kangjeng Sultan, hamba akan menyiapkan sekelompok pasukan khusus. Hamba ingin mengumpulkan kembali para prajurit yang pernah mendapat tempaan khusus untuk memburu Harya Wisaka bersama Pangeran Benawa, Sutawijaya dan Paksi. Mereka akan berada kembali dalam satu kelompok yang siap untuk menjalankan tugas apabila datang perintah untuk pergi ke padepokan Ki Gede Lenglengan” “Baiklah, Kakang. Kakang dapat menyusun sebuah kelompok khusus yang akan dilengkapi dengan kuda agar dapat bergerak lebih cepat. Namun jika kekuatan padepokan Ki Gede Lenglengan itu jauh lebih besar dari kelompok yang sudah Kakang siapkan, maka Kakang akan dapat berhubungan dengan Ki Yudatama. Bukankah sebagian dari pasukannya terdiri dari pasukan berkuda yang akan dapat bergerak dengan cepat pula?” “Hamba, Sinuhun” Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Kangjeng Sultan itu pun kemudian bertanya kepada Paksi, “Kapan kau akan berangkat, Paksi?” “Secepatnya, Sinuhun. Jika guru-guru hamba memperkenankan, hamba akan berangkat esok pagi” “Baiklah. Aku akan berdoa untukmu, Paksi, agar kau berhasil menemukan adikmu itu” Kemudian Kangjeng Sultan itu pun berpaling kepada Pangeran Benawa. “Bawalah bekal secukupnya. Mungkin kalian memerlukan uang. Bukan saja untuk bekal perjalanan, tetapi mungkin kalian dapat mempergunakannya untuk memperlancar usaha kalian membebaskan adik laki-laki Paksi. Bukan saja seorang anak muda. Tetapi mungkin di perguruan itu ada beberapa anak muda yang akan disiapkan untuk satu perjuangan berjangka panjang. Dan bahkan mungkin di perguruan itu pula diharapkan akan tumbuh tunas untuk menggantikan kepemimpinan Harya Wisaka” “Terima Kasih, Sinuhun. Hamba mohon doa restu” “Tugas yang dibebankan kepadamu kali ini bukan saja menyangkut kepentingan pribadimu dan keluargamu, Paksi. Tetapi juga untuk kepentingan yang lebih besar lagi bagi Pajang” “Hamba, Sinuhun” “Nah, sekarang persiapkan segala-galanya bersama Benawa” “Hamba, Sinuhun” Dengan demikian, maka Pangeran Benawa, Paksi dan Raden Sutawijaya pun mohon diri. Namun mereka tidak langsung keluar dari lingkungan istana. Tetapi Pangeran Benawa telah membawa mereka ke kasatrian. Sementara itu, Ki Gede Pemanahan masih berbincang dengan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Dalam pada itu, Pangeran Benawa pun segera mempersiapkan segala sesuatunya menjelang keberangkatannya bersama Paksi untuk mencari padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Padepokan yang belum diketahui tempatnya selain sekedar arahnya saja. Seperti pesan ayahandanya, maka Pangeran Benawa dalam pengembaraannya akan membawa uang yang cukup. Bukan saja sebagai bekal, tetapi juga untuk keperluan-keperluan yang lain. “Sayang sekali, aku tidak dapat ikut bersama kalian” berkata Raden Sutawijaya. “Doakan saja kami dapat berhasil dan selamat di perjalanan, Kakangmas” “Tentu, Adimas. Aku yakin, kalian adalah pengembara-pengembara yang berpengalaman. Meskipun demikian, jangan lupa kalian mohon perlindungan serta petunjuk-petunjuk-Nya di sepanjang jalan” “Ya, Kakangmas. Nampaknya perjalanan kami kali ini tidak akan terlalu lama. Kami akan segera menemukan padepokan Ki Gede Lenglengan. Seterusnya seperti kanak-kanak, kami akan pulang sambil merengek-rengek menyampaikannya kepada orang tuanya tentang anak-anak yang nakal yang tidak dapat kami lawan sendiri” “Maksud Ayahanda tentu tidak begitu, Adimas. Tetapi Ayahanda yang sudah sangat berpengalaman mengembara itu justru ingin berhati-hati. Penglihatan Ayahanda tentang padepokan itu memaksa Ayahanda untuk mengambil langkah-langkah pengamanan. Apalagi Adimas Pangeran Benawa seperti yang dikatakan oleh Ayahanda mempunyai kedudukan yang khusus bagi Pajang” Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Kakangmas benar. Kami pun akan mematuhinya” Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Benawa pun telah selesai. Karena itu, maka Pangeran Benawa pun telah minta diri kepada Raden Sutawijaya. Demikian pula Paksi. “Selamat jalan” desis Raden Sutawijaya yang juga memiliki pengalaman mengembara yang luas. Seperti pada saat-saat mereka mencari Harya Wisaka, maka keduanya telah mengenakan pakaian orang kebanyakan. Mereka keluar dari pintu gerbang samping. Para prajurit yang bertugas di pintu gerbang itu sama sekali tidak menjadi heran melihat Pangeran Benawa mengenakan pakaian yang lusuh itu, karena Pangeran Benawa memang sering melakukannya. Dari istana, maka Paksi mengajak Pangeran Benawa untuk singgah di rumah Paksi. Paksi ingin menemui ibunya sebelum berangkat mencari adik laki-lakinya itu. “Berapa lama kau akan pergi, Paksi?” “Aku tidak dapat mengatakannya, Ibu” “Bukankah kau berjanji untuk menemani kami tinggal di rumah ini?” “Tetapi adikku itu harus diselamatkan dari tangan para pengikut Harya Wisaka. Meskipun Harya Wisaka sudah tertangkap, namun keyakinan sesatnya masih akan dapat tumbuh lagi setiap saat. Karena itu, aku ingin adikku dan mungkin beberapa orang anak muda yang lain, dapat terlepas dari pengaruh yang jahat itu, Ibu” Ibunya mengangguk kecil. Sementara itu adik perempuan Paksi pun bertanya, “Kakang Paksi akan membawa Kakang itu pulang?” “Berdoalah. Semoga aku dapat membawanya pulang” “Tetapi Kakang Paksi juga harus pulang” “Tentu. Doamu tentu akan didengar oleh Yang Maha Agung, sehingga Kakang akan pulang dengan selamat” “Paksi” berkata ibunya, “apa saja yang akan kau bawa? Kau mempunyai simpanan yang dapat kau pakai sebagai bekal” Paksi berpaling kepada Pangeran Benawa yang berdesis, “Kau tidak usah membawa apa-apa, Paksi. Aku kira bekal kita sudah cukup” Namun Paksi itu pun menyahut, “Jika kita terpisah dengan tiba-tiba tanpa kita kehendaki, maka aku akan kekeringan di pengembaraan” Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Baiklah. Terserah kepadamu” Paksi pun kemudian telah menyiapkan bekal pula sebagaimana ia menempuh pengembaraan yang terdahulu. Ketika kemudian Paksi minta diri, maka mata adik perempuannya pun menjadi berkaca-kaca. Katanya, “Jangan terlalu lama pergi, Kakang” Paksi mencium adiknya di kening sambil berdesis, “Aku akan segera pulang. Jangan menangis” Ibunya serta adiknya melepas Paksi dan Pangeran Benawa di regol halaman. Setelah berjalan beberapa langkah Paksi berpaling sambil melambaikan tangannya. Adik perempuan dan ibunya pun melambaikan tangannya pula. Namun kemudian Paksi dan Pangeran Benawa pun mempercepat langkahnya. Mereka akan menuju ke Hutan Jabung. Menurut kedua orang gurunya, malam itu mereka diminta untuk berada di padepokan sebelum mereka berangkat mencari sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Ketika malam turun, maka Pangeran Benawa dan Paksi yang sudah berada di padepokan, segera menghadap Ki Panengah dan Ki Waskita. Kedua orang itu tidak hanya sekedar memberikan beberapa petunjuk tentang perjalanan yang akan mereka tempuh. Tetapi keduanya juga memberikan beberapa petunjuk tentang ilmu yang sudah mereka kuasai. Ki Panengah dan Ki Waskita telah membuka beberapa celah-celah dari ilmu yang mereka ajarkan, yang masih mungkin dikembangkan. Sehingga dengan demikian, mereka akan dapat mencari tataran yang lebih tinggi dari tataran sebelumnya. “Kalian berdua mempunyai banyak kesempatan di dalam pengembaraan kalian untuk mencobanya. Tetapi kalian harus berhati-hati. Kalian tidak boleh tergesa-gesa. Tetapi kalian harus memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat terjadi. Kalian harus memperhitungkan kesediaan wadag kalian mendukung perkembangan ilmu kalian, karena kalian tidak dapat memaksa kemampuan kewadagan kalian melampaui yang seharusnya” Keduanya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Panengah pun berkata, “Aku tahu, bahwa ilmu dan kemampuan Pangeran Benawa sulit untuk dijajagi. Karena itu, aku mohon Pangeran dapat membimbing Paksi mengembangkan ilmunya melalui celah-celah yang sudah kami sebutkan itu” “Terima kasih atas pujian ini, Ki Panengah. Tetapi apakah yang dapat aku lakukan? Apakah aku mempunyai kelebihan dalam olah kanuragan?” Ki Panengah dan Ki Waskita tertawa. Dengan nada rendah Ki Waskita berkata, “Jika saja kami belum mengenal Pangeran” Pangeran Benawa hanya menarik nafas dalam-dalam. Demikianlah mereka berbincang sampai jauh lewat tengah malam. Ki Waskita bahkan berkata, “Kalian tidak usah tergesa-gesa beristirahat. Meskipun besok kalian akan pergi, tetapi kalian tidak terikat oleh waktu. Kalian dapat saja berangkat pagi-pagi sekali. Tetapi kalian dapat berangkat lewat tengah hari. Sementara itu jika kalian lelah di perjalanan, maka kalian dapat saja beristirahat kapan saja” “Ya, Guru” desis Paksi. Karena itu, maka Ki Panengah dan Ki Waskita masih saja memberikan petunjuk-petunjuk terpenting bagi perjalanan Paksi dan Pangeran Benawa serta petunjuk-petunjuk untuk dapat mencapai tataran tertinggi dari ilmu mereka. Baru ketika terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, Ki Panengah pun berkata, “Nah, sekarang kalian boleh beristirahat” Pangeran Benawa dan Paksi pun telah pergi ke pembaringan mereka. Namun malam tinggal sejemput lagi. Meskipun demikian, keduanya masih sempat tidur beberapa saat. Namun mereka pun segera terbangun ketika kawan-kawannya, para cantrik padepokan itu bangun. Pangeran Benawa dan Paksi memang tidak nampak tergesa-gesa. Mereka dapat berangkat kapan saja. Jika mereka ingin berangkat pagi-pagi, bukannya karena mereka dikejar waktu. Tetapi mereka ingin berjalan sebelum sinar matahari menggatalkan kulit mereka. Baru setelah matahari naik, serta setelah mereka bersama-sama para cantrik makan pagi, maka Pangeran Benawa dan Paksi pun minta diri. Ki Panengah memberikan ucapan selamat atas nama para cantrik. Ia mengharap bahwa Pangeran Benawa dan Paksi segera kembali ke padepokan. “Kami akan segera kembali” berkata Paksi di hadapan para cantrik dan kedua orang gurunya. “Selama ini Raden Sutawijaya akan tetap berada di padepokan ini. Mungkin sore nanti atau esok pagi, Raden Sutawijaya telah berada disini” Kedua orang guru Paksi itu mengantarnya sampai ke regol padepokan. Demikian pula para cantrik, bahkan beberapa orang yang bertugas menyelesaikan padepokan itu. Di regol, Ki Waskita sempat berdesis, “Sekarang kalian benar-benar hanya berdua. Kami tidak dapat mengikuti perjalanan kalian sebagaimana pernah kami lakukan” “Aku mengerti, Guru” jawab Paksi. “Kami mohon doa restu” Demikianlah, maka kedua orang itu telah meninggalkan padepokan mereka di Hutan Jabung. Mereka mengenakan pakaian orang kebanyakan. Paksi membawa tongkatnya sementara Pangeran Benawa siap dengan pisau belatinya yang berada di bawah kain panjangnya. Gelang yang lebar yang dikenakan di pergelangan tangannya di bawah bajunya yang berlengan panjang. Keduanya memang tidak tergesa-gesa. Mereka meninggalkan padepokan setelah matahari menjadi semakin tinggi. Mereka berjalan menyusuri jalan di pinggir Hutan Jabung. Perjalanan mereka memang belum perjalanan yang sangat jauh. Tetapi jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang rumit. Mereka menempuh perjalanan ke arah Gunung Merapi. Padepokan yang mereka cari mungkin berada di kaki Gunung Merapi. Tetapi mungkin pula berada di lambungnya. Mungkin padepokan itu berada di lingkungan yang berpenghuni, tetapi mungkin pula tidak. “Apakah kita akan melihat ladang kita di sisi selatan kaki Gunung Merapi?” berkata Pangeran Benawa tiba-tiba. “Apakah gubuk itu masih ada? Tanaman-tanaman yang kita tinggalkan. Rumpun-rumpun pohon pisang. Air terjun dan goa di belakangnya?” “Kita akan mencari padepokan itu lebih dahulu, Pangeran” “Ya. Kita akan mencari padepokan itu dahulu” Pangeran Benawa dan Paksi berjalan seenaknya saja. Mereka sempat memperhatikan pohon-pohon raksasa yang tumbuh di Hutan Jabung. Meskipun Hutan Jabung tidak terlalu luas, tetapi Hutan Jabung adalah hutan yang tua. Pepohonan yang terdapat di dalamnya adalah pohon-pohon yang sudah tua pula, sehingga tumbuh menjadi pohon-pohon raksasa. Di dalamnya terdapat pula binatang buas yang berkeliaran. Pangeran Benawa dan Paksi yang berjalan di sebelah pohon-pohon raksasa itu merasa diri mereka seperti orang-orang kerdil. Sekali-sekali mereka menengadahkan wajah mereka memandang rimbunnya dedaunan. Namun beberapa saat kemudian, mereka meninggalkan jalan setapak di pinggir Hutan Jabung. Mereka turun ke jalan yang sedikit lebih lebar lagi melintas padang perdu yang ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul liar. Di sana-sini masih terdapat beberapa pohon yang besar. Bahkan berkelompok. Di dekat gumuk kecil, terdapat sekelompok pohon-pohon raksasa yang tumbuh mengitari sebuah belumbang yang airnya penuh dengan reruntuhan daun-daun kering. Namun di dalamnya terdapat ikan-ikan yang besar berkeliaran di bawah permukaan, yang sekali-sekali menyembulkan kepalanya. Ikan-ikan yang semakin lama menjadi semakin besar, karena tidak seorang pun yang pernah mengambil ikan di belumbang yang dianggap keramat itu. Apalagi tempat itu memang agak jauh dari padukuhan-padukuhan yang berpenghuni. Ketika matahari mulai turun, maka mereka telah berada di sebuah bulak yang panjang. Panjang sekali. Jalannya yang mulai naik perlahan-lahan, berkelok-kelok menghindari gumuk-gumuk padas serta lereng sungai-sungai kecil terjal dan licin. “Kita berada di daerah Manjung, Paksi” berkata Pangeran Benawa. “Ya” Paksi mengangguk-angguk. “Nampaknya jalan ini jarang dilalui orang. Hanya para petani yang sawahnya berada di bulak ini sajalah yang sering melewati jalan ini” “Jalan ini adalah jalan ke Nglungge” “Nglungge?” “Ya. Jalan ini adalah jalan yang paling dekat untuk pergi ke Nglungge. Sebenarnya jalan ini bukan jalan yang sepi. Dari Nglungge orang dapat pergi memanjat kaki Gunung Merapi atau melingkar ke Ponggok, Klalung, Jati Anom dan jika kita melingkari Gunung Merapi sepanjang kakinya, dan sampai di sisi selatan, kita akan sampai ke daerah pengembaraan kita itu” “Tetapi dari Nglungge kita akan meneruskan perjalanan memanjat kaki Gunung Merapi. Kita tidak akan melingkar ke sisi sebelah selatan” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Paksi terlalu gelisah karena adik laki-lakinya yang hilang itu. Sebenarnyalah jalan yang dilalui itu bukan jalan yang terlalu sepi. Mereka menyusuri jalan itu menuju ke Manjung. Dari Manjung mereka akan turun ke sebuah sungai yang tidak terlalu besar untuk menyeberang. Di sore hari mereka sampai di Manjung. Langit sudah mulai nampak buram. Pakaian Pangeran Benawa dan Paksi yang lusuh itu sudah menjadi basah oleh keringat. Meskipun sebenarnya jarak ke Manjung tidak terlalu jauh, tetapi karena jalan yang berkelok-kelok dan menanjak, maka perjalanan itu mereka tempuh beberapa lama. Dua orang berkuda mendahului Pangeran Benawa dan Paksi yang menepi. Kuda-kuda itu tidak berlari terlalu kencang. Agaknya jalan memang agak licin meskipun tidak turun hujan. Lereng-lereng batu padas itu rasa-rasanya mengandung air sehingga di satu dua tempat, batu-batu padas itu menjadi basah. Bahkan titik-titik air seakan-akan meleleh dari lubang-lubang kecil pada batu-batu padas itu. “Di sini terdapat banyak air” desis Pangeran Benawa. “Ya” Paksi mengangguk-angguk. “Parit itu tentu tidak pernah kering” “Tanah persawahan itu juga merupakan tanah yang subur. Batu-batu padas itu bagaikan menyibak dan berkumpul pada gumuk-gumuk kecil yang terdapat di bulak itu” “Tentu hasil kerja keras para petani” “Ya” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ketika keduanya akan memasuki padukuhan Manjung, mereka harus menepi lagi. Dua orang berkuda yang lain telah mendahului mereka pula di pintu gerbang tanpa mau menunggu Pangeran Benawa dan Paksi melewatinya. “Kaki kuda itu hampir menginjak kakiku” desis Pangeran Benawa. Paksi memandang kedua orang berkuda itu yang tanpa berpaling melanjutkan perjalanan mereka menyusuri jalan padukuhan Manjung. Ternyata Manjung adalah sebuah padukuhan yang cukup besar dan ramai. Kesejahteraan para penghuninya pun nampaknya tidak tertinggal dari para penghuni padukuhan dekat pintu gerbang kota. Rumah-rumah di sebelah-menyebelah jalan induk padukuhan Manjung itu pun terdiri dari rumah-rumah yang cukup besar di halaman yang luas. Namun sayang, bahwa rumah-rumah itu nampaknya kurang terpelihara sehingga nampak kurang rapi dan kurang bersih. “Kau pernah datang ke padukuhan ini, Paksi?” bertanya Pangeran Benawa. “Belum, Pangeran. Hamba baru sekali pergi mengembara di sisi selatan Gunung Merapi” Demikianlah, keduanya memasuki Padukuhan Manjung semakin dalam. Mereka mulai melihat isi dari padukuhan itu. “Pangeran pernah datang kemari?” “Beberapa tahun yang lalu. Tetapi padukuhan ini belum seramai sekarang” “Apakah beberapa tahun yang lalu jalan ini belum merupakan jalur perjalanan seperti sekarang?” “Nampaknya sekarang jalan ini juga menjadi jalur perdagangan” Paksi mengangguk-angguk. Paksi itu bahkan tertegun ketika ia melihat sebuah kedai di pinggir jalan. Tidak hanya satu. Tetapi dua dan bahkan tiga. “Nampaknya kita akan sampai ke sebuah pasar” berkata Paksi. “Ya. Memang ada pasar di pinggir padukuhan ini. Tetapi seingatku, pasar di padukuhan ini adalah pasar yang hanya ramai sepekan sekali” “Mungkin hari ini hari pasaran” Pangeran Benawa itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin hari ini memang hari pasaran” “Apakah Pangeran akan singgah?” “Panggil aku Wijang” “Wijang” ulang Paksi. “Ya. Wijang. Kau kenal nama itu” Paksi tersenyum. Tetapi ia harus mengingat-ingat bahwa ia berjalan bersama Wijang..... Beberapa saat kemudian, mereka sudah menjadi semakin dekat dengan pasar. “Pangeran” desis Paksi. “Namaku Wijang” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Wijang, langit sudah menjadi semakin muram. Tetapi nampaknya pasar itu masih ramai” “Tetapi suasananya lain, Paksi. Ramainya tidak seperti ramainya pasar kebanyakan” Paksi mengangguk-angguk. Namun keduanya pun melangkah terus. Ketika mereka melewati kedai-kedai yang masih membuka pintunya, mereka melihat ada beberapa orang yang berada di dalam kedai itu. Mereka pun melihat beberapa ekor kuda yang terikat di lorong sebelah pasar itu. “Ada apa sebenarnya?” desis Pangeran Benawa yang lebih senang dipanggil Wijang itu. Paksi pun merasa heran. Tetapi pasar itu nampak hidup meskipun menjelang malam. Paksi dan Wijang pun kemudian berhenti di pasar itu. Mereka tidak masuk ke dalam sebuah kedai yang masih terbuka dan melayani banyak orang. Tetapi Paksi dan Wijang duduk di dekat seorang penjual nasi yang menjajakan dagangannya di sebelah regol pasar. “Ada minumannya, Bibi?” bertanya Wijang. “Ada. Ada, Ngger. Wedang sere dengan gula kelapa” “Aku haus, Bi” “Satu atau dua mangkuk?” “Dua mangkuk, Bi. Adikku ini juga haus” Sejenak kemudian, keduanya pun sudah menghirup minuman yang ternyata masih hangat. “Nasinya, Ngger?” “Nasi apa, Bi?” “Nasi megana, Ngger” “Baik, Bi. Beri kami dua pincuk nasi megana” Sejenak kemudian, Paksi dan Wijang pun telah sibuk menyuapi mulut mereka dengan nasi megana yang agak pedas. Meskipun demikian Wijang itu masih sempat bertanya, “Ada apa, Bi? Tempat ini nampaknya masih ramai meskipun matahari sudah turun” “Hari ini hari pasaran, Ngger” “O. Tetapi aku tidak melihat lagi orang berjualan di pasar seperti kebanyakan pasar. Tidak ada sayuran, tidak ada barang-barang kerajinan bambu seperti tenggok, tenong, irig dan sebagainya. Tetapi ada pula orang berjualan gula kelapa kain tenun dan lain-lainnya” “Tadi pagi ada, Ngger” “Tetapi orang-orang itu masih belum pergi, Bi. Justru orang-orang berkuda. Kedai-kedai itu masih banyak pembelinya. Bahkan nampaknya Bibi pun masih mengharap beberapa orang pembeli lagi” “Apakah kalian berdua belum pernah datang sebelumnya di pasar Manjung ini?” “Aku tahu di sini ada pasar, Bi” jawab Pangeran Benawa. “Tetapi seingatku hanya ramai di hari pasaran di pagi hari” Perempuan separo baya yang menjual nasi itu tersenyum. Katanya, “Tadi pagi pasar ini ramai sebagaimana pasar yang lain di hari pasaran. Sedangkan orang-orang yang sekarang berada di pasar ini adalah orang-orang yang besok pagi akan melanjutkan perjalanan ke Nglungge di seberang sungai. Dari sana mereka akan memencar menurut keperluan mereka masing-masing” “O” Wijang mengangguk-angguk. Sementara Paksi pun bertanya, “Kenapa mereka harus berhenti disini dan justru memilih hari yang sama berbareng dengan hari pasaran?” Perempuan itu tidak segera menjawab. Tiga orang duduk pula di tikar yang dibentangkan di sebelah dagangannya digelar. “Kalian akan pergi kemana lagi?” bertanya penjual nasi itu kepada ketiga orang yang duduk di tikar itu pula. Nampaknya ketiga orang itu sudah sering datang dan makan nasi megana. “Kami mengantar pesanan Ki Demang Ponggok” jawab seorang di antara mereka. “Apa yang dipesannya?” bertanya penjual nasi itu. “Bukan barang berharga, Yu. Bahkan bagi orang lain tidak ada harganya sama sekali” “Apa?” “Kain dan baju yang sudah terhitung tua” “Untuk apa?” “Ki Demang sangat mencintai ibunya. Kain dan baju itu adalah milik ibunya yang baru saja meninggal. Ki Demang tidak minta warisan apapun, kecuali dua lembar kain panjang dan baju yang sudah tua yang sering dipakai oleh ibunya semasa hidupnya. Sementara itu ia merelakan rumah, halaman dan sawah peninggalan orang tuanya dibagikan kepada adik-adiknya. Menurut Ki Demang, ia sudah mendapatkan warisan memangkunya” “O” perempuan itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya sambil menunjuk Paksi dan Wijang, “Kedua anak muda ini heran, kenapa banyak orang yang berkumpul di pasar ini, sementara masa pasaran pagi tadi sudah lewat” Ketiga orang itu memandang Wijang dan Paksi sejenak. Seorang di antara mereka pun bertanya, “Kalian dari mana, anak-anak muda?” “Kami adalah pengembara yang tidak mempunyai papan dan tidak mempunyai tujuan tertentu” “Asalnya. Kalian berasal dari mana?” “Kami kakak beradik yang berasal dari Gunung Lawu. Tetapi sepeninggal orang tua kami, maka kami pergi mengembara. Beberapa lama kami tinggal di Pajang, mengabdi kepada seorang tumenggung. Tetapi gejolak yang terjadi di Pajang memaksa kami meninggalkan Ki Tumenggung yang ternyata telah ditangkap” “O” orang itu mengerutkan dahinya. Tanpa diduga oleh Wijang, orang itu pun bertanya, “Tumenggung siapa? Aku mengenal nama beberapa tumenggung” Wijang menarik nafas dalam-dalam. Meskipun agak ragu, namun ia pun berdesis, “Ki Tumenggung Sarpa Biwada” Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Tumenggung Sarpa Biwada memang sudah ditangkap” “Jadi Ki Sanak juga tahu bahwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu ditangkap?” “Ya. Aku mendengarnya. Waktu itu aku berada di dalam kota mencari dagangan” “Dagangan apa?” bertanya Paksi. “Wesi aji. Aku adalah pedagang wesi aji. Tetapi kali ini kami bertiga tidak membawa wesi aji itu. Yang kami bawa justru kain dan baju yang sudah lusuh” “Hanya kain dan baju yang sudah lusuh harus dibawa oleh tiga orang?” bertanya penjual nasi itu. Seorang di antara ketiga orang itu, yang rambutnya sudah keputih-putihan, berkata, “Kain dan baju lusuh itu nilainya lebih tinggi dari pusaka yang mana pun juga bagi Ki Demang di Ponggok” Tetapi perempuan penjual nasi itu mencibirkan bibinya. Katanya, “Aku tidak percaya. Nampaknya kau mencurigai aku, bahwa aku akan mengatakan kepada para penyamun itu bahwa kau membawa barang berharga” “Ah, kau ini aneh-aneh saja, Yu. Aku tidak pernah mencurigaimu. Kenapa aku harus curiga kepadamu? Kau di sini mencari nafkah. Aku setiap kali lewat di sini juga mencari nafkah. Jadi buat apa kita menjadi saling curiga?” Perempuan itu terdiam. Namun tangannya masih sibuk membuat pincuk, menyenduk nasi dan kemudian membubuhkan sayur-sayuran yang direbus bersama bumbu megana yang pedas. “Jadi apa yang dilakukan oleh orang-orang yang berkumpul di sini sekarang kecuali makan-makan di kedai, duduk-duduk sambil berbincang atau duduk makan lesehan seperti ini?” bertanya Wijang. Salah seorang laki-laki itu berkata, “Jadi kau benar-benar belum tahu, kenapa kami sekarang berkumpul disini?” Wijang mengangguk. “Anak-anak muda, kita semuanya akan ke Nglungge. Mungkin dari Nglungge kita akan menempuh jalan yang berbeda. Tetapi kami akan bersama-sama menyeberang sungai yang memisahkan Padukuhan Manjung ini dan Padukuhan Nglungge” “Di atas sungai itu terbentang sebuah sasak bambu, karena di atas sungai itu tidak ada jembatan, maka kami harus berjalan melalui sasak itu jika kaki kami dan barangkali pakaian kami tidak ingin basah” “Jadi setiap orang yang menyeberang akan melalui sasak itu?” “Ya. Kita akan dipungut uang untuk biaya memelihara sasak itu” Wijang mengangguk-angguk. Namun Paksi pun kemudian bertanya, “Tetapi kenapa mereka yang akan menyeberang itu harus berkumpul lebih dahulu disini, baru kemudian menyeberang bersama-sama?” Laki-laki itu memandang Paksi dan Wijang berganti-ganti. Baru kemudian ia pun berkata, “Anak-anak muda, dalam keadaan yang biasa, memang tidak ada persoalan yang perlu dirisaukan. Tetapi kadang-kadang terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Di kedua mulut sasak itu, kadang-kadang tidak hanya berdiri para petugas yang akan mengumpulkan uang bagi mereka yang menyeberang. Tetapi ada sekelompok orang yang berwajah garang dan berhati curang. Mereka tidak sekedar memungut uang untuk memelihara sasak itu. Tetapi mereka memaksa agar orang-orang yang menyeberang itu memberikan apa saja yang mereka bawa. Bahkan kuda-kuda mereka. Sehingga karena itu, maka kami bersepakat untuk berkumpul di sini dan bersama-sama menyeberang. Jika terjadi sesuatu, maka kami akan dapat melawan bersama-sama. Selain itu kami telah mengupah beberapa orang untuk menjaga keamanan kami di kedua mulut sasak itu” “Penyamun?” bertanya Paksi dengan serta-merta. “Ya. Penyamun” Paksi dan Wijang mengangguk-angguk. Dengan nada datar Paksi pun berkata, “Sekarang aku menjadi jelas” “Ya” sahut Wijang, “untunglah bahwa kita tidak mempunyai apa-apa yang dapat diminta oleh para penyamun itu” “Kadang-kadang orang yang tidak membawa apa-apa dapat menyeberang lewat sasak itu dengan selamat. Tetapi kadang-kadang mereka yang tidak membawa apa-apa itu akan menjadi bahan permainan para perampokan itu” “Maksud Ki Sanak?” bertanya Wijang. “Orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa itu sama sekali tidak berarti bagi para perampok. Karena itu, orang-orang yang tidak membawa apa-apa itu dapat diperlakukan apa saja. Pernah seorang gadis yang tidak membawa perhiasan ditangkap. Kakinya diikat dan kepalanya dibenamkannya ke dalam air. Tentu saja gadis itu meronta-ronta. Tetapi di mata mereka, hal itu menjadi tontonan yang lucu. Baru ketika gadis itu hampir mati, ia dilepaskan. Dibiarkannya keluarganya membawanya pergi. Tetapi lebih malang lagi nasib seorang anak muda. Ia justru dibunuh dengan cara yang buruk sekali” “Tetapi kenapa Ki Sanak masih juga akan menyeberang dengan hanya membawa barang-barang yang tidak berguna sama sekali bagi para perampok itu. Apakah dengan demikian, kalian tidak akan mengalami kesulitan” Ketiga orang itu menjadi gagap. Tetapi seorang di antara mereka pun menyahut, “Kita akan menyeberang beramai-ramai. Para penyamun itu tentu akan berpikir ulang sebelum ia benar-benar merampok. Selain itu, bahkan mungkin sama sekali tidak ada perampokan. Karena itu, kami mempunyai kemungkinan untuk keluar dengan selamat lebih besar daripada kemungkinan untuk mengalami bencana di perjalanan” Perempuan penjual nasi megana itu tertawa. Katanya, “Ceriteramu berputar-putar. Kau tentu membawa wesi aji yang sangat berharga, atau perhiasan yang nilainya tidak terhingga, sehingga kalian bertiga harus bersama-sama mengawalnya” “Ah, kau itu, Yu. Sudah aku katakan, aku tidak membawa apa-apa selain kain dan baju yang lusuh” “Mungkin kau memang tidak membawa apa-apa. Tetapi kawanmu itu?” “Kawanku juga tidak. Yang seorang lagi juga tidak. Aku sumpah, Yu” Penjual megana itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kenapa kau sumpah kepadaku? Membawa atau tidak membawa, bukankah sama saja bagiku asal kau bayar harga nasi megana yang kau makan itu” Ketiga orang itu pun tertawa pula. Bahkan Paksi dan Wijang pun ikut tertawa. Sejenak kemudian, setelah selesai makan dan membayar harganya, ketiga orang itu pun minta diri. Namun Paksi dan Wijang masih saja duduk di sebelah penjual nasi megana itu. “Nampaknya Bibi mengenal mereka dengan baik” berkata Wijang. “Mereka sudah sering lewat jalur ini. Tetapi aku juga tahu, bahwa mereka adalah orang-orang yang sering menerima upah untuk menyampaikan barang-barang berharga lewat jalur yang berbahaya” “Menurut pengakuan mereka, kali ini mereka mengantar kain dan baju yang lusuh itu” Penjual nasi itu tertawa. Katanya, “Mereka selalu berkata tidak sebenarnya. Mereka selalu merahasiakan apa yang mereka bawa” “Tetapi apakah benar di mulut sasak di sungai itu sering terdapat sekelompok penyamun?” “Ya. Itu benar, anak-anak muda. Penyamun yang berharga” “Sering atau pernah terjadi sekali saja?” “Seringkali, anak muda. Jalur ini adalah jalur yang ramai. Namun setelah para pedagang serta mereka yang sering mengantar barang-barang berharga itu berkumpul dahulu sebelum menyeberang, maka perjalanan mereka menjadi lebih aman. Perampokan menjadi semakin jarang. Apalagi setelah mereka menemukan saat-saat menyeberang dari dua arah. Besok, saat matahari sepenggalah, maka orang-orang yang akan menyeberang itu sudah harus berada di mulut sasak itu. Baik yang menyeberang dari arah ini maupun dari arah yang berlawanan. Mereka pun kemudian menyeberang bergantian. Dengan demikian, jika terjadi perampokan, maka para perampok itu akan menghadapi jumlah orang yang lebih besar lagi, karena mereka yang menyeberang dari kedua sisi itu sepakat untuk bekerja bersama menghadapi perampokan di sisi yang manapun” “Satu cara yang baik sekali untuk melindungi diri sendiri” desis Wijang. Sementara itu, Paksi pun bertanya, “Jadi baru esok pagi menjelang matahari sepenggalah mereka baru menyeberang?” “Ya” jawab penjual nasi megana itu. Dalam pada itu, langit pun menjadi semakin muram. Cahaya layung yang tajam nampak meliputi wajah langit. Perlahan-lahan malampun turun menyelubungi Padukuhan Manjung. Satu dua orang telah duduk pula di tikar yang terbentang di sebelah penjual nasi megana itu. Sambil menghirup minuman, mereka pun makan nasi megana dalam pincuk daun pisang. Mereka yang tidak cukup membawa bekal, atau mereka yang sengaja ingin menghemat, memang lebih baik duduk makan nasi megana atau nasi tumpang lesehan daripada masuk ke dalam sebuah kedai yang harga minuman dan makanannya tentu lebih mahal. Pangeran Benawa pun kemudian membayar harga nasi megana yang dimakannya bersama Paksi, serta harga minuman bagi mereka. Namun Pangeran Benawa yang dipanggil Wijang itu berkata, “Apakah kami boleh duduk disini, Bibi?” “Silahkan. Bukankah tikarku cukup luas?” “Terima kasih, Bibi” Beberapa saat Wijang dan Paksi masih duduk di atas tikar di sebelah penjual nasi megana itu. Sementara itu masih saja ada orang yang datang untuk membeli nasi megana. Untuk menerangi dagangannya, penjual nasi megana itu telah menyalakan lampu dlupak yang agak besar yang diisi dengan minyak kelapa. Sementara itu, di regol pasar telah dinyalakan oncor pula. “Di mana mereka nanti malam tidur, Bibi?” bertanya Paksi. “Rumah yang panjang di sebelah pasar itu adalah sebuah penginapan. Bukan saja orang-orang yang ingin menyeberang. Tetapi juga para pedagang yang tadi siang membawa barang dagangan dengan pedati, biasanya bermalam di rumah panjang itu” Paksi mengangguk-angguk. Ia melihat rumah panjang yang dimaksud oleh penjual nasi megana itu. Ia pun melihat beberapa buah pedati yang berada di depan rumah yang panjang itu. “Jika kau akan menginap pula di sana, kau harus membayar, Ngger” berkata penjual nasi itu. “Membayar?” “Ya. Di dalam rumah yang panjang itu ada amben yang besar memanjang. Di tempat itu orang-orang yang menginap itu tidur. Di belakang rumah yang panjang itu terdapat beberapa buah pakiwan bagi mereka yang menginap jika mereka akan mandi” Paksi mengangguk-angguk. “Kau akan menginap di sana?” “Kami dapat tidur di mana saja, Bibi” jawab Paksi. “Tidur di mana saja? Maksudmu? Apakah kau akan pergi ke banjar dan mohon ijin untuk tidur di sana tanpa membayar? Sia-sia. Sudah agak lama penunggu banjar itu sudah mendapat perintah agar banjar itu tidak dipergunakan untuk menumpang tidur di malam hari atau menumpang istirahat di siang hari” Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Paksi pun berkata, “Kami dapat tidur sambil duduk bersandar dinding itu, Bibi. Kami dapat juga tidur berselimut udara dingin. Sudah terbiasa bagi kami tidur di mana saja” “Ngger, jika kalian mau, daripada kalian tidur di mana-mana, sementara kau harus membayar jika tidur di rumah yang panjang itu, kau dapat tidur di rumahku. Tanpa membayar. Meskipun rumahku tidak sebagus rumah yang berjajar di pinggir jalan itu, tetapi aku dapat memberi tempat kepada kalian berdua. Asal kalian mau tidur di tempat yang sederhana” “Terima kasih, Bibi. Terima kasih” sahut Paksi dengan serta-merta. “Tetapi biarlah kami di sini saja” Perempuan itu tersenyum. Katanya, “Terserahlah kepada kalian. Tetapi di malam hari, dinginnya menggigit tulang. Lebih-lebih lagi menjelang dini” “Ya, Bibi. Bahkan sekarang pun rasa-rasanya sudah sangat dingin” “Karena itu, jangan tidur di luar. Kalian akan dapat kedinginan” Paksi tidak menjawab. Sementara itu Wijang pun berkata, “Bibi, kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan Bibi. Kami sekarang mohon diri. Kami ingin melihat-lihat tempat yang ramai di sepanjang hari ini” “Hanya di hari pasaran, Ngger. Orang-orang itu menyeberang bersama-sama setiap sepekan sekali. Agar mereka mudah mengingat-ingat, maka waktunya dibuat bersamaan dengan hari pasaran” Wijang dan Paksi pun kemudian meninggalkan penjual nasi megana itu. Mereka melihat-lihat lingkungan pasar yang menjadi semakin sepi. Tetapi kedai-kedai di pinggir jalan itu masih membuka pintunya. Masih ada satu dua orang yang datang untuk makan malam di kedai-kedai itu. Orang yang mempunyai bekal yang cukup, sehingga mereka tidak mau makan lesehan di pinggir pasar. Atau mungkin di antara mereka terdapat orang-orang yang berkedudukan. Di sebelah pasar itu terdapat sebuah halaman yang luas berdinding rendah. Di halaman yang luas itu terdapat dua buah rumah yang membujur panjang. Agaknya rumah itu belum terlalu lama dibangun. Bahkan yang satu agaknya lebih baru dari yang lain. “Mereka menginap di sini” berkata Wijang. “Ya” Paksi mengangguk-angguk. “Aku ingin melihat keadaan di dalamnya” “Apakah kita akan menginap di sini?” “Ya. Kita tidak berkeberatan jika kita harus membayar” Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil berdesis, “Ya. Kita akan membayar” Wijang pun berpaling kepadanya sambil mengerutkan dahinya. Sementara Paksi berkata, “Bukankah kau membawa uang?” Wijang termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian tertawa pendek sambil menjawab, “Kau juga membawa uang” Sejenak kemudian, keduanya telah menemui orang yang mengurusi penginapan itu untuk minta ijin bermalam. “Kau tahu bahwa menginap di sini harus membayar?” bertanya orang yang mengurusi penginapan itu. Seorang yang bertubuh tinggi tegap dan berkumis lebat. “Mengerti, Paman” “Nah, kalian harus membayar lebih dahulu. Ada dua pilihan. Yang tidur di amben lajur panjang atau di amben yang terpisah-pisah masing-masing untuk seorang” “Tentu memilih di amben yang terpisah-pisah” “Membayarnya lipat dua” Wijang memandang Paksi sekilas. Namun kemudian ia pun berkata, “Kami akan tidur di amben lajuran itu saja, Paman” “Baiklah. Kau dapat memilih apakah kau akan tidur di amben lajur yang berada di sebelah barat atau di sebelah timur” Setelah membayar buat dua orang, maka keduanya pun masuk ke dalam barak yang memanjang itu. Keduanya berdiri termangu-mangu sejenak. Ada empat amben panjang yang membujur di dalam ruang itu. Kemudian beberapa amben yang terpisah-pisah buat seorang. Namun agaknya amben yang terpisah itu tinggal beberapa saja yang masih kosong. Namun agaknya tidak lama lagi, amben-amben yang terpisah-pisah itu akan terisi penuh. Keduanya pun kemudian pergi ke amben panjang yang membujur di sebelah pintu. Beberapa orang sudah lebih dahulu duduk-duduk di amben itu. Beberapa macam barang bawaan terletak di amben itu pula. Beberapa bungkusan keba-keba yang terbuat dari daun pandan. Beberapa buah keba kulit dan bahkan peti-peti kayu yang tidak begitu besar. Memang tidak semua yang menginap di rumah yang panjang itu akan menyeberangi sungai pergi ke Nglungge. Di antara mereka terdapat beberapa orang pedagang yang di hari pasaran itu menggelar dagangannya di pasar Manjung. Di ujung amben itu, beberapa orang telah berbaring sambil berbincang. Agaknya mereka adalah pedagang-pedagang yang lelah setelah di pagi hari menunggu dagangan mereka, kemudian membenahinya dan memuat di dalam pedati. Di sisi yang lain, di amben-amben yang terpisah itu pun beberapa orang telah berbaring pula. Agaknya mereka adalah pedagang-pedagang yang lebih kaya. Atau orang-orang yang berkedudukan, yang makan di kedai-kedai di pinggir jalan. Wijang yang duduk sambil memeluk lutut di sebelah paksi itu pun berdesis, “Nampaknya keadaan ini menguntungkan bagi Padukuhan Manjung dan barangkali juga orang-orang Nglungge” Paksi mengangguk-angguk sambil menyahut, “Ya. Ada pemasukan khusus setiap sepekan sekali. Orang yang memiliki tanah ini ternyata penalarannya cukup trampil sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan di lingkungannya. Rumah ini tentu menghasilkan lebih banyak daripada jika tanah ini ditanami palawija atau pohon buah-buahan” “Tetapi untuk membangun rumah ini diperlukan modal yang besar” Wijang mengangguk-angguk. Namun sambil mengamati tulang-tulang bangunan itu, ia berdesis, “Semuanya kayu glugu. Yang agaknya ditebang dari halaman ini sendiri” Paksi pun mengangguk-angguk pula. Beberapa saat kemudian, beberapa orang telah memasuki rumah yang panjang itu pula. Dari pembicaraan orang-orang yang ada di sekitarnya, Wijang dan Paksi mengetahui, bahwa rumah panjang yang satu lagi yang lebih kecil, dipergunakan oleh orang-orang perempuan. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka orang-orang yang ada di rumah panjang itu mulai membaringkan dirinya. Berjajar di amben yang panjang pula. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang sudah saling mengenal. Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan yang kemudian berbaring di sebelah Paksi yang masih duduk bersama Wijang, bertanya, “Anak muda, aku belum pernah melihat kalian sebelumnya. Siapakah kalian berdua dan kalian akan pergi ke mana sehingga kalian harus bermalam di tempat ini?” Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Dengan nada datar Wijang pun menjawab, “Kami tidak mempunyai tujuan tertentu. Kami adalah pengembara yang menjelajahi tanah ini menurut langkah kaki saja” Orang itu tertawa. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Tetapi kalian mempunyai banyak uang sehingga kalian dapat bermalam di tempat ini” “Kami tidak mempunyai banyak uang. Tetapi kami tidak mempunyai pilihan lain. Adikku ini tubuhnya terlalu lemah, sehingga jika kami bermalam di udara terbuka, maka ia akan dapat menjadi sakit” “O” orang itu mengerutkan dahinya. “Jika adikmu sakit-sakitan, kenapa kau ajak ia mengembara?” “Kami sedang mencari satu lingkungan yang lebih baik. Di dalam pengembaraan kami, mungkin kami dapat menemukannya” “Kalian tadi yang membeli nasi megana di sebelah regol pasar itu?” “Ya. Kami tadi membeli nasi megana di sebelah regol pasar” Orang itu terdiam. Bahkan ia mulai memejamkan matanya. Sementara itu malampun menjadi semakin malam. Paksi dan Wijang telah berbaring pula. Orang-orang yang berada di dalam rumah yang panjang itu sebagian besar juga telah berbaring, meskipun masih ada yang berbincang perlahan-lahan dengan orang yang berbaring di sampingnya. Empat buah pintu dari rumah panjang tanpa sekat itu telah ditutup dan diselarak dari dalam, kecuali satu yang dijaga oleh seorang petugas. Dalam penglihatan Wijang dan Paksi, beberapa orang laki-laki yang bermalam di rumah panjang itu sebagian besar membawa senjata. Bahkan para pedagang yang menggelar dagangannya di pasar Manjung di hari pasaran itu juga bersenjata. Mereka harus mengamankan uang hasil jualannya. Tetapi mereka yang tidak akan menyeberang ke Nglungge, tidak merasa begitu gelisah. Jalan-jalan yang menuju ke tempat lain tidak segawat sasak penyeberangan yang menuju ke Nglungge. Sejenak kemudian, maka ruangan itu pun menjadi sepi. Yang terdengar kemudian adalah dengkur orang-orang yang sudah tertidur lelap. Seorang yang gelisah karena tidak dapat tidur, telah bangkit dan turun dari pembaringannya. Perlahan-lahan ia naik ke amben yang lain, yang masih tersisa tempat. Agaknya ia tidak tahan mendengar dengkur orang yang tidur di sampingnya. Paksi dan Wijang berbaring diam. Tetapi mereka masih belum tidur. Baru menjelang tengah malam, Wijang mulai lelap. Tetapi Paksi masih belum tidur. Ia mulai memikirkan adiknya yang berada di sebuah padepokan yang tidak diketahuinya yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Padepokan yang berisi orang-orang yang tentu merupakan pendukung kuat dari Harya Wisaka. Bahkan meskipun Harya Wisaka sudah tertangkap, namun keyakinan mereka tentang perjuangan Harya Wisaka masih melekat di hati mereka. Ketika udara malam menjadi semakin dingin, maka Paksi menarik kain panjangnya untuk menyelimuti tubuhnya. Matanya pun mulai terpejam. Kesadarannya perlahan-lahan mulai menjadi kabur Tetapi tiba-tiba mata Paksi justru telah terbuka lagi. Ia bahkan terkejut, karena ia mendengar suara burung kedasih yang ngelangut. Tetapi suara burung kedasih itu agak aneh di telinga Paksi. Terdengar agak tergesa-gesa dan gelisah. Paksi pun kemudian menggamit Wijang. Namun sebelum Paksi berkata sesuatu, Wijang itu pun berdesis perlahan, “Suara burung kedasih itu?” “Aku kira kau tertidur” desis Paksi. “Aku memang tertidur. Tetapi suara burung kedasih itu cukup keras untuk membangunkan aku” Paksi terdiam. Didengarkannya suara burung kedasih itu dengan seksama. “Hati-hati, Paksi. Di mana tongkatmu?” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tongkatnya diletakannya di sampingnya. “Apa yang harus kita lakukan?” bertanya Paksi. “Menunggu. Kita tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menunggu. Namun agaknya perkembangan keadaan yang akan terjadi, bukan yang kita harapkan” “Agaknya orang-orang yang terbiasa menunggu di sasak penyeberangan itu menjadi tidak sabar lagi, sehingga mereka akan datang kemari” “Selain itu, lawan mereka pun tidak sebanyak jika mereka menunggu di penyeberangan itu. Di sini tidak ada orang-orang yang datang dari arah Nglungge. Bukankah mereka sepakat untuk melawan bersama-sama, baik yang datang dari Manjung maupun yang datang dari Nglungge” “Ya. Mereka mempunyai beberapa keuntungan jika mereka datang kemari. Selain orang-orang yang menyeberang, di sini ada beberapa orang pedagang yang tadi pagi menjual dagangannya di pasar ini” “Ya. Jumlah mereka tentu tidak sebanyak orang-orang yang akan menyeberang dari Nglungge. Namun uang yang ada pada mereka tentu cukup banyak. Hasil penjualan dagangan mereka pagi tadi” Keduanya pun kemudian berdiam diri. Nampaknya orang yang bertugas jaga di satu-satunya pintu yang tidak diselarak itu tertidur. Wijang itulah yang kemudian bangkit dan turun dari pembaringannya. Kemudian perlahan-lahan ia berjalan ke pintu. Dari celah-celah pintu dilihatnya orang yang menjaga pintu itu duduk di sebelah pintu. Namun agaknya orang itu pun tertidur. Wijang menjadi ragu-ragu. Jika ia keluar dari rumah itu dan mencoba membangunkan orang itu, maka orang itu akan dapat mencurigainya kelak. Ia dapat dianggap keluar dari rumah panjang itu untuk memberi isyarat kepada sekelompok orang yang mungkin akan berniat jahat. Karena itu, Wijang tidak keluar dari dalam rumah itu. Tetapi Wijang telah mendorong pintu yang sedikit terbuka itu, sehingga daun pintu lereg itu menyentuh orang yang bertugas sehingga terbangun. Ketika orang itu menggeliat dan menguap, maka Wijang pun segera kembali ke pembaringannya. Orang yang bertugas itu pun bangkit berdiri. Sambil mengusap matanya ia melangkah hilir mudik untuk menghilangkan kantuknya. Sekali ia menguap. Namun kemudian, ia pun duduk kembali di sebelah pintu. Tetapi tiba-tiba saja ia terkejut. Petugas itu pun mendengar suara burung kedasih yang terdengar asing. Karena itu, maka ia pun segera bangkit berdiri. “Suara itu terdengar semakin keras” berkata Paksi. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia justru telah berbaring kembali. Apalagi setelah ia mendengar langkah petugas di luar pintu itu tergesa-gesa pergi. “Kemana orang itu?” bertanya Paksi. “Orang itu tentu akan melaporkan kepada kawan-kawannya. Mungkin kepada pemilik rumah ini” “Orang yang menyuarakan isyarat itu bukan seorang penghubung yang baik. Ia tidak dapat menirukan suara burung kedasih dengan baik. Sebenarnya banyak cara untuk menyampaikan isyarat. Tetapi nampaknya suara burung kedasih sering dipergunakan” “Ya. Suara burung kedasih, burung kulik atau tuhu. Burung-burung yang berkeliaran di waktu malam. Sekali-sekali ada yang mempergunakan suara burung hantu atau suara anjing liar” “Itu tentu akan lebih baik” Keduanya pun terdiam. Suara burung kedasih itu terdengar semakin jelas. Tetapi justru karena itu, menjadi semakin jelas pula bahwa suara itu bukan suara seekor burung. Beberapa saat kemudian, tiga orang telah memasuki rumah panjang itu. Seorang membawa pedang telanjang, seorang membawa tombak pendek dan seorang membawa bindi. Ketiga orang itu pun telah membangunkan orang-orang yang bermalam di rumah panjang itu. “Ada apa?” bertanya seorang yang bertubuh gemuk. “Bangunlah. Siapkan senjata kalian” “Ada apa?” Ketiga orang itu telah mendekati seorang di antara mereka yang tidur di amben yang terpisah itu. Dengan nada berat seorang di antara mereka berkata, “Hati-hatilah, Ki Sudagar. Aku mendengar suara burung yang aneh” “Kenapa dengan suara burung? Apakah kau percaya bahwa suara burung di malam hari mempunyai pengaruh buruk bagi seseorang?” “Suara burung kedasih itu, Ki Sudagar” “Bagaimana dengan burung kedasih? Bukankah suara burung kedasih selalu seperti itu? Aku akan tidur. Jangan ganggu aku lagi. Persetan dengan suara burung kedasih itu” Seorang yang mengawal Ki Sudagar mendesak maju dengan menyibak ketiga orang yang membangunkan mereka itu. Katanya, “Ki Sudagar, dengar suara burung itu baik-baik” “Ya. Kenapa dengan suara burung itu? Apakah kau juga menjadi ketakutan seperti para petugas ini?” “Ki Sudagar belum mendengarkan suara burung itu dengan seksama” “Kenapa?” “Dengarlah” Ketika Ki Sudagar mulai mendengarkan suara burung itu, maka suara itu pun terdiam. Tetapi Ki Sudagar masih mendengar suara itu dua tiga kali. Tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Katanya, “Apakah itu isyarat bahwa ada sekelompok penjahat yang akan datang kemari?” “Kami belum tahu pasti, Ki Sudagar. Tetapi aku minta Ki Sudagar berhati-hati. Jika orang-orang datang kemari malam ini, tentu ada sebabnya. Selama ini mereka belum pernah datang langsung kemari” “Persetan. Tentu ada pengkhianatnya di antara kita” “Belum tentu, Ki Sudagar. Mungkin mereka sudah mengetahui bahwa malam ini Ki Sudagar ada di sini. Mereka tentu mengira, bahwa Ki Sudagar tentu membawa barang-barang berharga. Mungkin barang yang diperjual-belikan. Mungkin barang-barang berharga milik dan dikenakan oleh Ki Sudagar sendiri” “Tidak seorang pun tahu bahwa aku akan menyeberang esok” “Jangan berkata begitu. Banyak orang yang dapat mengenali ujud Ki Sudagar. Mungkin mereka tidak sengaja berkhianat. Tetapi pembicaraan dari mulut ke mulut yang menyebut bahwa Ki Sudagar ada di sini ternyata sampai ke telinga para penyamun itu” “Lalu mereka datang kemari malam ini?” “Kira-kira begitu, Ki Sudagar” “Anak iblis. Tetapi bukankah kita dapat melawan?” “Tentu. Kita sudah berjanji akan melawan bersama-sama” Wajah Ki Sudagar menjadi sangat tegang. Dipandanginya orang-orang yang bertugas di penginapan itu. Katanya, “Bagaimana pendapat kalian?” “Kita memang akan melawan bersama-sama. Mungkin Ki Sudagar merupakan umpan terbesar sehingga memancing mereka untuk datang kemari. Mereka tidak sabar menunggu esok di sasak penyeberangan. Tetapi jika orang-orang jahat itu datang kemari, berarti semua orang yang ada di sini akan kehilangan” Dua orang pengawal Ki Sudagar yang lain pun telah mendekat pula. Seorang di antara mereka bersenjata golok yang besar. Dengan suara parau orang itu berkata, “Kita tidak sendiri di sini Ki Sudagar. Jumlah kita cukup banyak” Orang-orang yang sudah terbangun itu pun segera berbenah diri. Tidak seorang pun yang akan merelakan harta mereka dirampas orang. Apalagi mereka berkumpul dalam jumlah yang cukup banyak. Ki Sudagar yang kaya itu telah dikerumuni oleh tiga orang pengawalnya. Orang yang membeli nasi megana bersama-sama dengan Wijang dan Paksi pun nampaknya menjadi gelisah pula. Agaknya mereka memang membawa sesuatu yang berharga. Bukan hanya dua lembar kain dan baju yang sudah lusuh. Suasana di dalam barak itu menjadi tegang. Tiba-tiba saja pemilik rumah itu masuk pula bersama seorang yang bertubuh raksasa. Sejenak ia termangu-mangu di depan pintu. Baru kemudian ia berkata, “Ternyata kalian sudah bersiaga. Aku curiga mendengar suara burung itu. Menurut pendapatku, suara itu bukan suara burung yang sebenarnya” “Ya” sahut salah seorang pengawal Ki Sudagar, “bahkan pasti. Suara itu bukan suara burung kedasih” “Aku sudah memerintahkan dua orangku untuk mengawasi jalan menuju ke sasak penyeberangan itu. Jika mereka melihat sesuatu yang mencurigakan, aku perintahkan salah seorang dari mereka melepaskan anak panah sendaren” “Bagus. Isyarat panah sendaren itu akan sangat berarti” “Sebaiknya kita bersiap. Kita akan memencar di luar rumah ini, agar kita mempunyai banyak kesempatan untuk mengayunkan senjata kita. Menurut pendapatku, setiap orang yang akan menyeberang sungai itu tentu sudah memperhitungkan bahwa kemungkinan seperti ini dapat saja terjadi. Bahkan setiap saat seperti yang kita alami sekarang” “Apakah semua di antara kita akan pergi keluar? Siapakah yang akan menunggui harta milik kita dan bawaan kita meskipun hanya selembar kain usang?” Tiba-tiba saja mata pemilik rumah itu tertuju pada Paksi dan Wijang yang berdiri termangu-mangu. “Aku belum pernah melihat kedua orang itu” berkata pemilik rumah itu. “Hampir semuanya yang menginap di sini aku kenal. Tetapi kedua orang ini rasa-rasanya asing bagiku” Semua orang memandang Wijang dan Paksi. Sementara itu, pemilik rumah itu pun melangkah mendekatinya diikuti oleh orang yang bertubuh raksasa. Sambil memandangi Wijang dan Paksi berganti-ganti pemilik rumah itu pun bertanya, “Siapa kalian, he?” “Kami adalah pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak mempunyai tujuan. Kami terdampar ke tempat yang tidak kami mengerti ini” “Apakah kau sengaja disusupkan oleh para penyamun itu kemari?” “Kami tidak tahu apakah yang sebenarnya terjadi disini. Kami pun tidak tahu, bahwa disini berkumpul banyak orang yang akan pergi ke sungai. Aku baru mendengar dari penjual nasi megana di dekat pintu pasar” “Jangan membual. Kau tentu dua orang dari antara para penyamun itu. Kalian menyusup di antara mereka yang ingin menyeberang ke Nglungge untuk mengetahui, apakah di antara mereka yang akan pergi ke Nglungge itu ada yang membawa uang atau perhiasan atau harta benda yang lain yang bernilai tinggi” “Kami adalah pengembara yang tidak tahu apa-apa tentang tempat ini dan bahkan kami merasa sangat asing dengan keadaan ini” “Kau tentu sudah mempersiapkan jawaban sebelumnya, sehingga kau akan dapat mengelak dari tuduhan” “Kami benar-benar tidak tahu apa-apa. Kami sekedar akan lewat” Suasana di dalam rumah panjang itu menjadi tegang. Sementara itu beberapa orang sudah mendesak maju. Kemarahan mulai membakar jantung mereka terhadap Wijang dan Paksi. Wijang dan Paksi memang menjadi bimbang. Jika orang-orang itu menyerang, apakah mereka tidak berhak untuk membela diri? Namun dalam pada itu, selagi belum terjadi sesuatu, terdengar anak panah sendaren bergaung di udara. “Mereka benar-benar datang” geram pemilik rumah itu. “Kita harus bersiap menyambut mereka” “Kita harus memencar” berkata orang yang bertubuh raksasa, pengawal pemilik rumah penginapan itu. Perhatian mereka terhadap Wijang dan Paksi pun pecah. Orang-orang yang berada di dalam rumah itu menjadi gelisah. Orang yang bertubuh raksasa itu pun berkata kepada pemilik rumah itu, “Kita tidak boleh terjebak di dalam ruangan ini” “Baik” sahut pemilik rumah itu. Lalu katanya kepada orang-orang yang berada di dalam rumah panjang itu, “Kita akan keluar dari rumah ini. Kita akan memencar. Tetapi jangan keluar dari halaman rumah ini” “Dinding rumah ini terlalu rendah untuk bertahan” berkata seseorang. “Berjongkoklah. Demikian seseorang meloncat masuk, kalian harus segera menyerang. Jika kita semuanya tidak berbuat apa-apa, maka kita semuanya akan mereka kuasai. Semua harta benda dan uang yang ada pada kalian, akan mereka rampas” Orang-orang yang ada di dalam rumah panjang itu mulai bergerak. Sementara itu, pemilik rumah itu pun berkata kepada orang-orangnya, “Jaga rumah sebelah. Lindungi perempuan dan anak-anak” Beberapa orang yang dipersiapkan untuk mengantar orang-orang yang menyeberang itu sampai ke sasak dan menyerahkan kepada para pengawal dari Nglungge sekaligus menerima orang-orang yang menyeberang dari arah Nglungge, telah ada di tempat itu pula. “Kalian tidak usah menunggu esok” berkata pemilik rumah itu. “Lakukan tugas kalian sekarang. Upah kalian akan tetap dibayar utuh” Beberapa orang itu pun segera bersiap. Laki-laki yang ada di ruangan yang panjang itu pun segera menghambur keluar. Pemilik rumah dan petugas-petugas di penginapan itu sibuk mengatur mereka dan memberikan petunjuk-petunjuk. Mereka berlari-larian kesana-kemari dengan mengacu-acukan senjata mereka. Dua orang di antara mereka telah menutup pintu regol. Namun hampir tidak ada gunanya, karena dinding halaman penginapan itu tidak setinggi dinding halaman rumah kebanyakan. Wijang dan Paksi menarik nafas dalam-dalam, hampir saja mereka terjebak ke dalam pertentangan yang tidak berarti dan sia-sia. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?” bertanya Paksi. “Kita juga pergi keluar. Kita akan melihat keadaan. Berhati-hatilah” Keduanya pun kemudian telah keluar dari ruangan yang panjang itu. Ketajaman mata mereka pun dapat segera melihat, dimana orang-orang yang menunggu datangnya para penyamun dan perampok itu menunggu..... Karyatulis ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, karya tulis ilmiah ini dapat dijadikan referensi tentang segitiga bermuda. Sementara untuk manfaat praktis dari karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi peneliti, karya tulis ini bisa dijadikan acuan untuk menemukan dan mengembangkan “Ya, Repak Rembulung dan Pupus Rembulung dalam ujudnya sebagai seorang ayah dan ibu yang baik.” “Repak Rembulung dan Pupus Rembulung juga gila.” Terdengar suara tertawa seorang perempuan. Namun kemudian orang yang tertawa itu bertanya, “Nah, apakah kau yakin bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak pergi ke Panjatan.” “Aku yakin.” “Jadi mereka akan pergi ke mana?” “Darimana aku tahu. Kita tidak terikat untuk menemukan mereka. Bukankah kita mencari Pangeran Benawa? Kita hanya menduga bahwa Pangeran Benawa ada di tangan pengikut Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.” “Kita pergi ke Panjatan. Kita cari Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Jika keduanya tidak ada disana, kita akan memaksa orang-orangnya untuk menunjukkan di mana mereka menyimpan Pangeran Benawa.” “Jangan tergesa-gesa. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kita tidak membuka permusuhan. Kecuali dalam keadaan terpaksa.” “Jadi apa yang harus kita lakukan?” “Jangan memaksa diri untuk menemukan jawabnya sekarang juga. Kita mempunyai banyak kesempatan untuk berpikir.” “Lalu kita kemana?” “Ke Panjatan.” Kemudian mereka terdiam. Langkah mereka sudah menjadi semakin jauh. Ketika kemudian Paksi dan Wijang menjengukkan kepala mereka, mereka tinggal melihat punggungnya saja. Dua orang perempuan dengan mengenakan pakaian sebagaimana kebanyakan perempuan justru pada saat-saat mereka pergi mengunjungi sebuah perhelatan. Namun, meskipun dari belakang, keduanya langsung dapat menerka, bahwa keduanya adalah Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. Dua orang perempuan yang cantik namun yang sekaligus garang seperti serigala betina. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika kemarin Repak Rembulung dan Pupus Rembulung mengenakan pakaian rapi sebagaimana seorang suami isteri dari keluarga yang baik, maka sekarang Melaya Werdi dan Megar Permati juga mengenakan pakaian sebagaimana perempuan yang akan pergi ke perhelatan.” “Suasananya berubah,” berkata Paksi. “Mereka nampaknya sudah bersiap-siap untuk meninggalkan lingkungan ini. Mereka tidak lagi mencari cincin itu disini. Tetapi mereka akan mencari Pangeran Benawa yang dapat berkeliaran sampai kemana-mana.” “Satu permulaan dari sebuah malapetaka,” desis Wijang “Sebuah tantangan.” Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mereka akan pergi ke Panjatan. Jika kau memperhitungkan bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak kembali ke Panjatan, maka kedua perempuan iblis itu akan dapat menghancurkan padukuhan itu untuk mencari Pangeran Benawa.” “Bukankah mereka tidak ingin membuka permusuhan?” desis Paksi. “Masih ada kecualinya. Kecuali jika tidak dalam keadaan terpaksa.” “Tetapi aku kira, dua orang itu tidak akan melakukan kekerasan. Bukankah di Panjatan banyak sekali pengikut Repak Rembulung dan Pupus Rembulung?” Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, aku kira Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati tidak sedang mabuk sehingga mereka akan membuka benturan kekerasan. Menilik cara mereka berpakaian, mereka memang tidak sedang mencari perkara.” Keduanya pun terdiam. Namun kemudian Wijang berkata, “Marilah kita lihat orang-orang yang terpelanting itu.” Paksi dan Wijang pun kemudian telah pergi ke kedai di ujung dari jajaran kedai di depan pasar. Mereka melihat dua orang yang nampak kesakitan duduk di dalam kedai. Beberapa orang masih berkerumun di luar kedai itu. “Sudahlah, pergilah,” teriak pemilik kedai itu. “Jika kedua perempuan itu kembali, maka kalian akan mengalami sebagaimana dialami oleh kedua orang ini.” Beberapa orang memang segera pergi. Paksi dan Wijang pun kemudian mencoba bertanya kepada mereka apa yang telah terjadi. “Salah mereka sendiri,” berkata seorang yang berkumis tipis. “Keduanya mencoba mengganggu kedua orang perempuan itu. Bahkan mereka mencoba untuk menyentuhnya.” “Lalu, apa yang dilakukan oleh kedua orang perempuan itu?” bertanya Wijang. “Entahlah, apa yang dilakukan oleh kedua orang perempuan itu. Yang aku lihat, keduanya telah terlempar dan terbanting jatuh. Nampaknya yang seorang agak parah. Mudah-mudahan punggungnya tidak patah.” Paksi dan Wijang mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian Wijang itu pun berdesis, “Terima kasih. Aku lebih baik pergi saja. Lebih baik untuk selamanya tidak bertemu dengan perempuan segarang itu.” Wijang pun kemudian telah mengajak Paksi meninggalkan tempat itu. Sementara masih ada satu dua orang yang berdiri di luar kedai itu. Di dalam kedai itu, dua orang masih saja nampak kesakitan duduk sambil menyeringai. “Kita kemana sekarang?” bertanya Paksi. “Rasa-rasanya aku juga ingin pergi ke Panjatan,” jawab Wijang. “Sekarang?” “Tentu tidak. Kita akan dapat bertemu dengan Nyi Melaya dan Nyi Megar Merpati. Sebaiknya kita masih harus menghindari benturan kekerasan dengan mereka. Juga dengan pemimpin-pemimpin perguruan yang lain.” “Jadi?” bertanya Paksi. “Nanti siang kita pergi ke Panjatan.” “Jadi kemana kita selama menunggu siang?” “Berkeliaran atau mencari tempat untuk berbaring sambil merenungi nasib.” Paksi menarik nafas panjang. Ia mengerti, bahwa Wijang akan mengunjungi Panjatan, setelah Melaya Werdi dan Megar Permati meninggalkan padukuhan itu. Dengan demikian, maka keduanya pun telah pergi ke sebuah belik kecil di pinggir sebuah sungai. “Kita sempat mencuci pakaian.” Di tempat yang nampaknya memang sepi itu, keduanya menyempatkan diri untuk mencuci baju dan kain panjang mereka. Kemudian menjemurnya di atas sebuah batu besar. Sinar matahari yang panas telah menghisap air yang melekat pada pakaian itu sehingga dengan cepat menjadi kering. Baru lewat tengah hari keduanya bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Panjatan. Keduanya berharap bahwa Melaya Werdi dan Megar Merpati telah meninggalkan padukuhan itu. “Kita tidak akan membuat keributan, kecuali jika terpaksa. Mungkin kita bertemu dengan kedua perempuan itu, tetapi mungkin para pengikut Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Atau bahkan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung sendiri yang ada di padukuhan itu,” berkata Wijang. Paksi hanya mengangguk-angguk saja. Demikianlah, maka keduanya pun melangkah terus menuju ke Panjatan. Meskipun jantung mereka menjadi berdebar-debar, tetapi mereka berketetapan hati untuk pergi ke padukuhan itu. Debar di jantung mereka itu telah membuat mereka lebih banyak diam. Apalagi ketika mereka sudah melihat pintu gerbang padukuhan. Wijang memandang padukuhan itu dari ujung sampai ke ujung sambil berdesis, “Hati-hatilah. Kita tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam padukuhan itu. Mungkin Melaya Werdi dan Megar Permati. Mungkin Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.” Paksi mengangguk-angguk, dipeganginya tongkatnya erat-erat seakan-akan seorang akan merebut dari tangannya. Ketika mereka sampai ke pintu gerbang padukuhan, mereka berhenti sejenak untuk mengamati suasana. Tetapi rasa-rasanya suasana di padukuhan itu tetap tenang. Tidak terjadi pergolakan apa pun yang dapat menggoncang ketentraman padukuhan itu. Mereka masih mendengar suara orang menumbuk padi. Mereka masih mendengar teriak anak-anak yang sedang bermain meskipun matahari mulai melayang di belahan langit sebelah barat. Ampat orang anak tengah bermain benthik di tengah-tengah jalan padukuhan. Wijang dan Paksi memang merasa ragu. Namun kemudian mereka pun melangkah memasuki padukuhan itu. Anak-anak yang bermain benthik itu terhenti sejenak, mereka pun menepi, memberi jalan kepada Wijang dan Paksi. Demikian Wijang dan Paksi lewat, maka anak-anak itu segera mulai bermain lagi. Tidak ada kesan apa pun kepada keempat anak itu terhadap orang-orang yang dianggap asing di padukuhan itu Ketika mereka melangkah semakin dalam, maka mereka berpapasan dengan laki-laki muda yang membawa sekeranjang rumput di atas kepalanya. Tetapi laki-laki itu pun tidak menghiraukan Wijang dan Paksi yang termangu-mangu. “Apa sebenarnya yang ada di padukuhan itu?” desis Paksi. “Tanggapan orang-orang padukuhan ini terhadap orang yang mereka anggap asing telah berubah sama sekali,” sahut Wijang. “Ya. Mereka tidak segarang saat kita memasuki padukuhan ini untuk pertama kali.” “Apakah padukuhan ini memang berubah, atau kita yang berubah,” gumam Wijang kemudian. Paksi mengangguk-angguk, tetapi ia tidak menyahut. Sebenarnyalah ketika keduanya berjalan di sepanjang jalan padukuhan, maka orang-orang yang berpapasan sama sekali tidak menghiraukan mereka. Sama seperti padukuhan-padukuhan yang lain. Tidak ada kecurigaan. Tidak ada sikap permusuhan. “Aneh,” desis Paksi. Namun Wijang pun kemudian berdesis, “Aku dapat menduga sebabnya. Hanya menduga. Aku tidak tahu, apakah dugaanku ini benar atau salah.” “Apa?” bertanya Paksi. “Orang-orang padukuhan ini menjadi garang jika Repak Rembulung dan Pupus Rembulung ada disini. Tetapi jika keduanya pergi, maka sikap mereka pun kembali ke dalam kewajaran sikap dan kepribadian mereka masing-masing. Mungkin masih ada yang garang, tetapi pada umumnya mereka akan melepaskan segala kecurigaan karena mereka tidak sedang melindungi keselamatan dua orang yang mereka anggap sangat penting,” berkata Wijang dengan ragu. Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya memang demikian. Kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak ada di padukuhan ini sekarang.” Untuk beberapa lama keduanya berjalan di jalan di sepanjang jalan padukuhan. Mereka memang tidak merasakan suasana yang lain dari suasana di kebanyakan padukuhan. Dengan demikian mereka pun berkesimpulan bahwa kehadiran Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati di padukuhan itu juga tidak menimbulkan gejolak. Ketika keduanya bertemu dengan tiga orang remaja yang memanggul sebatang bambu, maka Wijang pun bertanya, “Adi, apakah kau melihat kedua orang bibiku yang tadi berkunjung kemari?” Ketiga orang remaja itu termangu-mangu sejenak, sementara Wijang menjelaskan, “Bibiku merencanakan untuk mengunjungi padukuhan ini. Apakah kalian melihatnya?” “Dua orang perempuan dengan pakaian bagus,” bertanya salah seorang dari ketiga orang remaja itu. “Ya,” Paksi menyahut dengan serta-merta. “Aku melihat mereka tadi.” “Dimana?” “Nampaknya mereka telah pergi.” Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih.” Ketiga orang remaja itu termangu-mangu sejenak. Sementara Wijang mengusap kepala salah seorang dari mereka sambil bertanya, “Untuk apa bambu itu?” “Kami sedang membuat egrang.” “O, hati-hati bermain egrang. Jika ujung jari kakimu terinjak, maka kukunya akan dapat terlepas.” “Ah, tidak pernah ada di antara kami yang menginjak kaki kawannya,” jawab seorang di antara mereka. Wijang tertawa. Katanya, “Mudah-mudahan memang tidak akan mudah terjadi.” Ketiga orang remaja itu termangu-mangu. Sementara Wijang pun berkata, “Kami minta diri. Kami sedang mencari bibi kami.” Ketiganya mengangguk kecil. Tetapi mereka tidak menjawab. Wijang dan Paksi pun kemudian meninggalkan padukuhan itu. Mereka berkesimpulan, bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung memang sedang tidak berada di padukuhan itu. “Sekarang, kita akan pergi kemana?” bertanya Paksi. “Bukankah kita tidak mempunyai tujuan? Kita berjalan saja ke selatan, menuruni kaki Gunung Merapi. Mungkin kita akan sempat melihat-lihat keadaan Alas Mentaok. Satu daerah yang luas yang dijanjikan akan diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan oleh ayahanda Sultan.” “Menarik sekali,” Paksi mengangguk-angguk. “Mendahului Ki Ageng Pemanahan, kita akan melihat-lihat isi dari Alas Mentaok. Pada suatu saat, Ki Gede Pemanahan dan barangkali juga Kakangmas Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, akan membuka hutan yang masih gelap itu.” “Satu kerja yang sangat berat,” desis Paksi. “Ki Penjawi mendapat bagian yang lebih baik,” desis Wijang. Paksi mengangguk-angguk, sementara Wijang berkata, “Pati sudah lebih dahulu menjadi ramai.” “Kapan kita melihat Pati?” bertanya Paksi. Wijang menarik nafas panjang. Katanya, “Aku tidak ingin pergi ke Pati. Ada beberapa orang Pajang yang ikut Ki Penjawi ke Pati. Ada di antara mereka yang akan dengan mudah mengenali aku, meskipun orang-orang itu tidak berniat buruk, tetapi aku akan kehilangan sesuatu dengan pengenalan itu.” “Seperti Ki Rangga Suraniti yang akan dengan mudah mengenalmu?” “Ya. Untunglah bahwa aku tidak dengan sengaja menemuinya. Ternyata ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian khusus pada Ki Rangga Suraniti. Salah seorang prajurit pilihan yang mendapat banyak kepercayaan itu.” “Wijang,” berkata Paksi dengan tiba-tiba, “apakah kita dapat menemui panglima pasukan Pajang di Jati Anom dan memberikan keterangan tentang Ki Rangga Suraniti?” “Mereka tidak akan dengan mudah mempercayai kita. Sementara itu, aku tidak akan dapat melanjutkan pengembaraan ini. Aku akan ditangkap dan dikembalikan ke istana.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah pernah kau pergi ke Kembang Arum?” Wijang termangu-mangu sejenak. Ia pernah mendengar ceritera Paksi tentang seorang gadis, yang menjadi anak angkat Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Dengan nada rendah Wijang itu bertanya, “Apakah kau berniat untuk menemui gadis itu sekaligus menemui Repak Rembulung dan Pupus Rembulung?” Paksi tersenyum. Katanya, “Tidak. Aku tidak ingin menemui Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Ada kemungkinan bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung telah pergi ke Kembang Arum untuk menemui anak gadisnya itu?” Wijang mengerutkan dahinya. Ia mengingat-ingat ceritera Paksi tentang gadis yang pernah ditolongnya itu. Dengan ragu ia bertanya, “Apakah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tahu bahwa anak gadisnya telah berada di Kembang Arum bersama pemomongnya yang sebenarnya adalah ibunya sendiri itu?” Paksi pun mengingat-ingat pula. Katanya, “Mungkin Repak Rembulung dan Pupus Rembulung belum mengetahuinya. Gadis itu meninggalkan rumahnya setelah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung pergi.” “Apakah kau akan mencoba melihatnya? Jika keduanya ada di Kembang Arum, niat kita akan kita batalkan.” “Bagaimana caranya kita dapat mengetahui bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung ada di Kembang Arum atau tidak?” “Jika perlu kita akan mengintai rumah gadis itu sehari semalam. Jika keduanya ada di rumah itu, maka mereka atau salah seorang dari mereka tentu akan pernah keluar dan turun ke halaman selama satu hari satu malam itu.” Paksi tertawa. Namun sebenarnya ia memang ingin pergi ke Kembang Arum. Menurut perhitungannya, maka Repak Rembulung dan Pupus Rembulung akan pulang dahulu ke rumahnya. Baru ketika ia mengetahui bahwa anaknya tidak ada, maka ia akan mencarinya. Mungkin ke Kembang Arum. “Nah, kita ambil saja keputusan. Kita pergi ke Kembang Arum,” berkata Wijang kemudian. “Baiklah,” sahut Paksi kemudian, “aku menurut saja.” Tiba-tiba saja langkah Wijang terhenti, sehingga Paksi pun harus berhenti pula. Dengan nada tinggi Wijang berkata, “Kau harus menjawab. Setuju atau tidak setuju. Bukan hanya sekedar menurut. Kau harus ikut bertanggung jawab atas keputusan ini.” “Baik, baik, aku setuju sekali.” “Nah, dengan demikian, jika terjadi sesuatu atas diri kita, maka kau tidak dapat membebankan tanggung jawabnya kepadaku sendiri.” “Marilah,” berkata Paksi, “tidak usah merajuk seperti itu.” “Bukan sekedar merajuk. Tetapi ada kemungkinan kau ditangkap oleh Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Lebih pahit lagi jika kau ditangkap oleh Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati yang sedang berusaha mengikuti Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.” “Baik. Baik. Kita akan mempertanggung-jawabkan bersama.” “Nah, kau tidak akan menyalahkan aku jika kau besok berada di kerangkeng dalam sarang Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati.” “Nama itu mirip dengan nama pemomong yang sebenarnya adalah ibu Kemuning itu sendiri.” “Siapa namanya?” “Nyi Permati.” “O,” Wijang mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ada ribuan orang yang mempunyai persamaan nama.” Paksi menarik nafas panjang. Namun kemudian ia berdesis, “Untunglah bahwa Bahu Langlang tentu akan dilumatkannya menjadi debu.” Wijang pun berdesis, “Itu namanya nyawa Bahu Langlang cukup liat.” Paksi pun kemudian terdiam. Mereka pun kemudian melangkah semakin cepat menelusuri jalan yang lengang. Hanya ada satu dua orang sajalah yang berjalan cepat ke arah yang berlawanan. Wijang dan Paksi pun kemudian telah berketetapan hati untuk pergi ke Kembang Arum. Mereka berjalan jauh lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan Paksi bersama Kemuning dan ibunya. Terik matahari yang menyengat membuat mereka menjadi haus. Meskipun di depan beberapa regol halaman rumah di padukuhan yang mereka lewati terdapat gentong berisi air bersih serta sebuah siwur yang tergantung di dinding halaman, namun keduanya lebih senang untuk singgah barang sebentar di sebuah kedai. “Aku tidak saja haus,” berkata Wijang, “tetapi aku juga lapar.” “Kita singgah di sebuah kedai di dekat sebuah pasar. Mungkin pasar itu telah menjadi lengang. Tetapi mudah-mudahan masih ada kedai yang membuka pintunya.” Sebenarnyalah keduanya masih menemukan kedai yang membuka pintunya. Bahkan masih ada dua tiga kedai, sehingga mereka dapat memilih tempat yang terbaik. Sesaat kemudian, mereka pun telah duduk di dalam kedai. Ada dua tiga orang yang telah duduk di dalamnya. “Kita dengarkan, apa yang mereka bicarakan,” bisik Wijang. Paksi mengangguk. Mereka kemudian memesan makanan dan minuman. Sementara itu mereka berusaha untuk mendengarkan pembicaraan orang-orang yang telah lebih dahulu berada di kedai itu. Mungkin ada hal-hal yang menarik perhatian mereka. Tetapi yang mereka bicarakan adalah persoalan mereka sendiri. Barang dagangan mereka yang agak sulit untuk dipisahkan pada saat-saat terakhir karena persaingan menjadi semakin ketat. Karena itu, maka Wijang dan Paksi pun tidak menghiraukan pembicaraan mereka lagi. Apalagi ketika minuman dan makanan yang mereka pesan telah dihidangkan. Namun selagi mereka makan, perhatian mereka telah tertarik pada seorang laki-laki muda yang berhenti di depan kedai itu. Tiga orang laki-laki menyertainya. Nampaknya ketiganya adalah para pengiringnya. Menilik sikapnya, maka laki-laki muda itu adalah seorang yang mempunyai pengaruh di lingkungannya. Apalagi ketika penilik kedai itu dengan tergesa-gesa menyongsongnya. Sambil membungkuk hormat, pemilik kedai itu mempersilahkan laki-laki muda itu untuk masuk ke dalam kedainya. Tetapi laki-laki muda itu kemudian bertanya, “Apakah kedua perempuan itu tidak ada di kedai ini?” Pemilik kedai itu termangu-mangu. Dengan dahi yang berkerut ia bertanya, “Kedua perempuan yang manakah yang anak muda maksudkan?” Laki-laki muda itu tidak menyahut. Tetapi diamatinya bagian dalam kedai itu. Agaknya yang dicarinya memang tidak ada disitu. “Lihat di kedai yang lain,” berkata laki-laki muda itu kepada pengiringnya. Dua di antara ketiga pengiringnya itu pun segera melangkah meninggalkan laki-laki muda itu, sementara seorang di antaranya berdiri termangu-mangu di sisinya. Pemilik kedai itu sekali lagi mempersilahkannya, “Marilah anak muda. Silahkan duduk.” “Diam,” laki-laki itu tiba-tiba membentak. Pemilik kedai itu terkejut. Wijang dan Paksi pun terkejut pula. Laki-laki itu menjadi marah tanpa sebab. Ketika Wijang dan Paksi sempat berpaling, maka dilihatnya orang-orang yang sudah lebih dulu di kedai itu pun nampak menjadi gelisah. “Kenapa mereka menjadi seperti melihat hantu?” desis Paksi. “Sst,” Wijang memberi isyarat agar Paksi tidak ribut. Paksi terdiam. Tetapi ia juga menjadi gelisah, meskipun alasannya berbeda dengan orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di kedai itu. Beberapa saat kemudian kedua orang pengiringnya yang melihat-lihat kedai yang lain itu pun kembali. Seorang di antara mereka berkata, “Mereka ada di kedai sebelah.” Laki-laki muda itu tidak mengucapkan sepatah jawabpun. Tetapi dengan serta-merta ia melangkah ke kedai sebelah. Pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Demikian laki-laki muda pengiringnya itu pergi, maka ia pun melangkah kembali masuk ke dalam kedainya. “Siapakah mereka itu?” tiba-tiba Paksi pun bertanya. Pemilik kedai itu mendekatinya sambil berdesis, “Ki Sanak orang asing disini?” “Kami hanya kebetulan saja lewat disini,” jawab Paksi. Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, “Anak muda itu adalah anak Ki Demang Sekar Turi. Pasar ini terletak di lingkungan Kademangan Pasar Turi.” “O,” Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia pun bergumam seolah-olah ditujukan pada diri sendiri, “Nampaknya ia seorang yang sangat dihormati disini.” “Ya. Ia memang sangat dihormati. Kecuali ayahnya seorang demang yang sangat berpengaruh, anak muda itu sendiri mempunyai kebiasaan yang membuat orang lain harus menghormatinya.” “Apakah anak muda itu telah berhasil membuat kademangan ini besar dan sejahtera?” Paksi bertanya. Wijang yang lebih tua dari Paksi sempat menggamitnya. Tetapi pertanyaan itu sudah terlanjur dilontarkan. Pemilik kedai itu sempat memandang orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di kedainya. Sambil menarik nafas panjang ia berkata, “Ki Demang adalah seorang yang besar.” Pemilik kedai itu pun melangkah meninggalkan Paksi yang agaknya masih ingin bertanya. Tetapi Wijang menggamitnya sambil berdesis, “Sudah.” Paksi memang berhenti bertanya meskipun gejolak dadanya masih membayang di kerut keningnya. Sejenak suasana di kedai itu menjadi lengang. Namun seorang di antara orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di kedai itu bangkit berdiri dan melangkah mendekati Paksi dan kemudian bahwa duduk di sebelahnya. “Laki-laki itu ditakuti disini,” desis orang itu. “Kenapa?” bertanya Paksi yang semakin tertarik pada laki-laki muda itu. Wijang menarik nafas panjang. Ia tidak berniat mengetahui lebih banyak tentang laki-laki muda itu untuk menjaga perasaan Paksi yang masih muda itu. Tetapi orang itu justru telah bicara lebih jauh tentang laki-laki itu. “Justru karena ayahnya seorang demang yang mempunyai wibawa yang besar, maka anak itu merasa dapat berbuat apa saja. Yang mencemaskan penghuni kademangan ini adalah kesenangannya terhadap gadis-gadis. Bahkan perempuan-perempuan yang lebih tua dari laki-laki itu sendiri, sering diganggunya. Ia tidak peduli apakah perempuan itu sudah bersuami atau belum.” Dahi Paksi berkerut semakin dalam. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Selama itu tidak ada orang pernah menegurnya? Ki Jagabaya atau Ki Demang itu sendiri?” “Anak itu manja. Aku sendiri bukan penghuni kademangan ini. Karena itu, aku dapat berbicara lebih bebas tentang laki-laki muda itu. Tetapi sebenarnya pemilik kedai itu pun ingin berbicara sebagaimana aku katakan ini. Tetapi karena ia penghuni kademangan ini, maka ia lebih senang berdiam diri.” Orang itu terdiam sejenak. Ketika pemilik kedai itu memandang orang yang sedang berceritera kepada Paksi itu, orang itu pun tersenyum sambil bertanya, “Bukankah begitu?” Pemilik kedai itu berpaling sambil berdesis, “Berceritera atau tidak, itu urusanmu.” Orang yang duduk di sebelah Paksi itu pun berceritera lebih lanjut, “Tadi ada dua orang perempuan yang masuk ke dalam kedai sebelah. Dua orang perempuan cantik dengan pakaian yang rapi dan menarik. Aku tidak tahu, siapakah mereka, karena agaknya baru kali ini ia singgah disini. Nah agaknya anak Ki Demang ini atau pengiring-pengiringnya yang sering mencari muka, melihatnya. Jika tidak ada orang yang menyelamatkan, kedua perempuan itu akan bernasib malang. Sementara itu orang sekademangan ini tidak ada yang berani menentang kehendaknya.” Paksi dan Wijang terkejut mendengar ceritera itu, sehingga dengan serta-merta di luar sadarnya Wijang bertanya, “Dua orang yang berpakaian rapi seperti orang yang hendak pergi ke perhelatan perkawinan sahabatnya.” “Ya.” Wijang memandang Paksi dengan tegang. Agaknya Paksi pun mengerti bahwa kedua orang perempuan itu adalah Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. “Jika itu benar, maka nasib laki-laki muda itu sudah dapat diramalkan,” berkata Wijang dalam hatinya. Orang yang berceritera itulah kemudian yang kemudian bertanya, “Kau mengenal kedua perempuan itu?” Dengan cepat Wijang menjawab, “Tidak. Aku tidak mengenalnya. Kami hanya melihat sepintas. Kami juga merasa heran, bahwa dengan pakaian seperti itu, keduanya pergi ke pasar.” “Cara mereka berpakaian dan merias diri memang sangat menarik perhatian. Ada beberapa kesan yang timbul. Bahkan ada kesan yang agak buram. Agaknya keduanya sengaja menarik perhatian.” Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Wijang pun berkata, “Mungkin keduanya memang orang-orang dari lingkungan orang berada atau berkedudukan sehingga mereka terbiasa mengenakan pakaian dan rias yang demikian.” “Jika hal itu benar, maka kasihan mereka. Mereka akan mengalami perlakuan yang paling buruk dari anak Ki Demang itu.” “Tetapi apakah anak itu tidak memikirkan kemungkinan yang dapat terjadi kemudian. Jika kedua perempuan itu keluarga seorang senopati prajurit, bukankah itu berarti anak Ki Demang itu membunuh dirinya betapapun besar pengaruh Ki Demang di padukuhan ini. Anak Ki Demang itu akan dapat ditangkap. Jika ia melawan atau ayahnya berusaha melindunginya, maka para prajurit itu akan dapat mempergunakan alat-alat kekuasaan mereka.” Orang yang berceritera itu menggeleng. Katanya, “Anak Ki Demang itu tidak akan sempat berpikir sampai sekian. Tetapi jika hal itu terjadi, agaknya ada baiknya juga untuk sedikit memberi pelajaran kepada anak Ki Demang itu. Bahkan ayahnya sekaligus.” Namun di luar sadarnya Paksi berkata, “Sebentar lagi anak itu akan mendapat pelajaran pula.” “He?” orang yang berceritera itu bertanya. “Maksudmu?” Paksi terkejut sendiri. Namun ia pun kemudian menyahut, “Maksudku, pada suatu saat orang yang demikian itu akan mendapat hukumannya.” “Ya, pada suatu saat. Tetapi pada suatu saat itu kapan?” desis orang yang berceritera itu. Paksi tidak menjawab. Tetapi jantungnya menjadi berdebar-debar. “Jika keduanya itu benar Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati, maka sebentar lagi anak itu akan mendapat pelajaran,” berkata Paksi dalam hatinya. Tetapi Paksi tidak berkata apa-apa lagi. Demikian pula Wijang. Keduanya pun kemudian memusatkan perhatian mereka terhadap minuman dan makanan mereka. Orang yang berceritera itu pun kemudian bangkit berdiri demikian kawan-kawan mereka berdiri. Katanya, “Silahkan. Aku sudah selesai. Kami akan pulang.” Setelah membayar harga makanan dan minumannya, maka orang itu bersama-sama dengan kawan-kawannya melangkah menuju ke pintu kedai itu. Tetapi langkah mereka tertegun. Agaknya di kedai sebelah telah terjadi keributan. Orang yang telah berceritera kepada Paksi itu berpaling sambil berdesis, “Nah, perjalanan nasib buruk kedua perempuan itu sudah dimulai.” Tetapi di luar sadarnya pula Paksi menyahut, “Atau yang terjadi justru sebaliknya. Anak itu akan mendapat sedikit pelajaran dari kedua orang perempuan itu.” Orang itu termangu-mangu. Namun kawan-kawannya pun menggamitnya. Seorang di antara mereka berkata, “Aku tidak berurusan dengan peristiwa apa pun yang terjadi disini.” Demikianlah, maka orang-orang itu pun melangkah keluar pintu kedai dan segera turun ke halaman. Sementara itu, Wijang pun segera memberi isyarat kepada Paksi untuk keluar pula dari kedai itu dan melihat apa yang telah terjadi. Setelah membayar makanan dan minumannya, maka Wijang dan Paksi pun segera melangkah keluar pula. Demikian mereka keluar dari pintu kedai, maka mereka melihat perkelahian yang terjadi di depan kedai sebelah. Dua orang perempuan melawan ampat orang laki-laki yang garang. Seorang di antara mereka adalah anak Ki Demang itu. Tetapi pertempuran itu nampak tidak seimbang. Ampat laki-laki yang garang itu tidak berdaya menghadapi dua orang perempuan yang berpakaian bagus sebagaimana perempuan-perempuan dari lingkungan orang-orang berada. Wijang dan Paksi menarik nafas dalam-dalam. Anak Ki Demang itu memang mendapat pelajaran. Tetapi bukan sekedar saja. Ia benar-benar berada dalam kesulitan. Bersama dengan pengiringnya ia berusaha mempertahankan diri. Tetapi perempuan yang dilawannya itu mampu berkelahi dengan garangnya. Jauh berbeda dengan ujudnya. Dalam pada itu, beberapa orang penghuni kademangan yang melihat anak demangnya dihajar habis-habisan menyaksikan dengan dengan dada yang tegang. Semula mereka menganggap bahwa peristiwa itu akan sedikit memberikan peringatan kepadanya. Tetapi lambat laun mereka menjadi cemas, bahwa anak Ki Demang itu akan benar-benar dihancurkan oleh perempuan-perempuan yang asing bagi kademangan itu. Karena itu, seorang di antara mereka telah berlari ke serambi samping. Sejenak kemudian, maka terdengar bunyi kentongan dengan irama titir. Suasananya pun segera berubah menjadi kacau. Pasar di depan kedai itu memang sudah menjadi sepi. Tetapi orang-orang yang masih tersisa menjadi bingung. Mereka yang sedang mengemasi barang-barang dagangan mereka yang tersisa menjadi gelisah dan bahkan ketakutan. Tetapi mereka yang memiliki keberanian justru mempercepat kerja mereka. Ternyata dari sudut pasar, suara kentongan itu telah disahut pula. Seorang petugas yang menjaga ketertiban pasar telah ikut memukul kentongan dengan irama titir pula. Sementara itu dua orang petugas pasar yang lain, yang ditunjuk oleh Ki Demang tidak dapat tinggal diam melihat kesulitan yang dialami oleh anak muda itu, tetapi mereka tidak mau dianggap bersalah karena mereka tidak berbuat apa-apa ketika terjadi perkelahian di depan pasar. Sedang yang berkelahi dan kemudian mengalami kesulitan adalah anak Ki Demang yang mengangkat mereka bekerja di pasar itu. Dua orang petugas keamanan di pasar itu pun segera menggabungkan diri betapapun jantung mereka bergetar sejak mereka mendekati arena. Tetapi kedua orang di pasar itu tidak berarti apa-apa bagi kedua orang perempuan yang garang itu. Seperti diduga oleh Wijang dan Paksi, kedua orang perempuan itu adalah Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. Anak Ki Demang itu benar-benar tidak berdaya. Darah sudah mengalir dari sela-sela bibirnya. Matanya nampak menjadi biru. Tulang-tulangnya terasa bagaikan berpatahan. “Seorang yang telah menyentuh tubuhku dengan tangannya tanpa aku kehendaki, maka tangan itu harus dipotong,” berkata Megar Permati. Namun Melaya Werdi bertanya, “Apakah kau tidak memerlukan anak itu?” “Buat apa anak lerut seperti itu? Aku tidak hanya akan memotong tangannya, tetapi aku juga akan memotong lehernya. Ia terlalu berani menyentuh tubuhku di atas batas leherku.” Seorang pengawal anak Ki Demang yang bertempur bersama anak Ki Demang itu melawan Megar Permati sama sekali sudah tidak berdaya. Sementara itu, petugas pasar yang datang membantunya itu telah terpelanting dan membentur dinding kedai. Anak demang itu benar-benar menjadi ketakutan. Namun dalam pada itu, suara kentongan dengan irama titir itu telah memanggil beberapa orang padukuhan. Bahkan beberapa orang bebahu. Mereka dengan serta-merta telah mengepung Melaya Werdi dan Megar Permati. Seorang bebahu dengan serta-merta berteriak, “Hentikan. Anak muda itu adalah anak Ki Demang.” Anak muda itu terbaring tidak berdaya. Di dekatnya Megar Permati berdiri sambil bertolak pinggang. Dengan kakinya ia menyentuh tubuh anak Ki Demang itu sambil berkata dalam nada tinggi, “O, jadi ini anak Ki Demang. Dimana Ki Demang itu sekarang?” Suasana menjadi semakin tegang. Nyi Melaya Werdi pun sudah tidak berkelahi pula. Dua orang pengawal anak Ki Demang yang berkelahi melawannya ditambah dengan seorang petugas pasar, telah terbaring diam. Agaknya mereka menjadi pingsan. Nyi Melaya Werdi pun melangkah mendekati adiknya sambil berkata, “Marilah. Kita tinggalkan tempat ini.” “Tidak. Aku tidak akan membiarkan anak ini mengganggu perempuan lagi. Jika perempuan-perempuan itu tidak berdaya, maka mereka akan menjadi korbannya.” Nyi Melaya Werdi memandang beberapa orang yang datang berlari-lari dari padukuhan di sekitar pasar. Bahkan dari padukuhan yang lain, suara kentongan telah merambat dengan cepat. Namun seorang bebahu telah berkata lantang, “Jangan ganggu lagi anak Ki Demang.” “Kau tidak melihat apa yang dilakukannya,” bentak Megar Permati. “Apa pun yang dilakukannya, tetapi kau tidak boleh memperlakukannya seperti itu.” “Jadi, karena ia anak demang, maka ia dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap perempuan? Apakah ia juga memperlakukan perempuan-perempuan di kademangan ini seperti itu?” Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Sebenarnya seperti orang lain di kademangan itu, ia pun menjadi muak terhadap tingkah laku anak Ki Demang itu. Tetapi seperti orang lain, bebahu itu tidak berani berbuat sesuatu. Dalam pada itu, selagi ketegangan menjadi semakin memuncak, terdengar derap kaki beberapa ekor kuda. Ketika orang-orang yang berkerumun itu berpaling, maka mereka telah melihat Ki Demang, Ki Jagabaya dan dua orang bebahu mendatangi tempat itu. Orang-orang pun segera menyibak. Sejenak kemudian keempat orang itu pun telah berloncatan dari punggung kudanya. “Apa yang terjadi?” bertanya Ki Demang. Seorang yang bertubuh tinggi, tegap, berdada bidang dan berkumis lebat di atas bibirnya yang tebal. Ki Jagabaya dengan serta-merta telah melangkah mendekati anak Ki Demang yang terbaring sambil mengerang kesakitan. Tetapi semua orang yang berdiri di sekitarnya terkejut bukan buatan. Di hadapan Ki Demang yang garang, perempuan yang telah menghajar anak Ki Demang itu berteriak sambil meletakkan kakinya di dada anak muda yang sudah tidak berdaya itu. “Iblis betina,” teriak Ki Demang, “siapa kau?” “Kaukah demang itu?” bertanya Megar Permati. “Nah, kau ternyata dapat mengenali aku. Anak itu anakku. Sikapmu itu sangat menyakitkan hatiku.” “Kebetulan sekali aku dapat bertemu dengan ayah dari anak yang gila ini. Ia telah mencoba menggangguku. Dikiranya aku perempuan jalanan yang dapat diperlakukan sekehendak hatinya. Atau anakmu memang terbiasa memperlakukan perempuan-perempuan seperti itu? Memaksakan kehendaknya, sementara jantungnya dicengkam oleh nafsu?” “Cukup. Apakah kau sadari bahwa tingkah lakumu itu akan dapat membunuhmu?” “Kau mau apa, demang gila? Kau kira kau dapat menakut-nakuti aku seperti menakut-nakuti rakyatmu?” Ki Demang itu pun kemudian memberikan isyarat kepada Ki Jagabaya, para bebahu dan orang-orang padukuhan yang telah lebih dahulu datang ke tempat itu untuk mengepung kedua orang perempuan itu. Sementara itu Melaya Werdi menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Jadi kita harus membunuh?” “Merekalah yang menentukan, apakah kita akan membunuh atau tidak.” Ki Demang yang marah itu ternyata tidak sempat menilai kedua orang perempuan itu. Karena itu, maka ia pun berkata lantang, “Tangkap perempuan itu. Mereka harus mendapat hukuman atas penghinaan mereka terhadap kademangan ini.” “Bagus,” teriak Megar Permati, “aku juga menunda niatku membunuh anakmu. Biarlah ia melihat bagaimana orang-orang kademangannya mati karena tingkah lakunya.” Namun Melaya Werdi lah yang kemudian berkata lantang, “Ki Sanak. Aku masih memberi kesempatan kepada kalian. Siapa yang tidak ingin mati, jangan dekati kami berdua. Sekali kami meloncat, maka kematian-kematian akan datang beruntun. Karena itu, aku minta kalian sempat membuat pertimbangan demi keselamatan kalian masing-masing.” “Diam kau perempuan iblis,” teriak Ki Demang. “Jangan mencoba dengan licik menyelamatkan dirimu.” “Jangan hanya berteriak-teriak. Ayo, siapa yang akan mati lebih dahulu.” Ki Demang, Ki Jagabaya dan para bebahu pun segera berloncatan maju. Beberapa orang yang mengepung mereka pun telah bergerak pula. Meskipun ada kecemasan di hati mereka, tetapi bersama banyak orang mereka menjadi berani. Ketakutan mereka kepada Ki Demang lebih mencengkam daripada kecemasan mereka menghadapi kedua orang perempuan itu..... “Apa yang dapat dilakukan oleh dua orang perempuan,” berkata orang-orang itu di dalam hatinya. Seperti yang dikatakan, Megar Permati tidak segera membunuh anak Ki Demang itu. Didorongnya anak muda itu dengan kakinya, sehingga berguling beberapa kali. Sementara itu, Ki Demang telah menyerangnya dengan keris di tangannya. Sebilah keris yang ukurannya lebih besar dari keris kebanyakan. Pamornya nampak berkilat-kilat tertimpa sinar matahari. Bersamaan dengan itu, seorang bebahu telah berlari menolong anak Ki Demang. Diangkatnya anak muda itu, dan dibawanya menepi. Sedangkan beberapa orang yang lain telah membantu Ki Demang menyerang perempuan yang telah menyakiti anak Ki Demang itu, bahkan dengan beraninya menghina Ki Demang itu sendiri. Sementara itu, Ki Jagabaya dengan beberapa orang yang lain telah langsung mengepung dan menyerang Nyi Melaya Werdi. Nyi Melaya Werdi sengaja mengambil jarak dari adik perempuannya, agar mereka dapat bertempur lebih leluasa. Nyi Melaya Werdi menghadapi lawan-lawannya dengan tangkasnya. Disingkapkannya kain panjangnya. Di bawah kain panjangnya Nyi Melaya Werdi mengenakan celana hitam sampai di bawah lututnya sebagaimana Nyi Megar Permati. Namun ternyata Nyi Megar Permati nampak lebih garang dari kakak perempuannya. Kakinya berloncatan dengan cepatnya sehingga seakan-akan tidak menyentuh tanah. Sementara itu beberapa ujung senjata beruntun datang menyerangnya. Betapapun tinggi ilmu Megar Permati, menghadapi banyak orang tanpa senjata di tangan telah membuatnya terdesak surut. Sementara itu kemarahannya telah menyala sampai ke ubun-ubunnya. Ki Demang memang menjadi sangat heran melihat perempuan cantik itu. Ternyata ia berilmu sangat tinggi. Meskipun Ki Demang dan beberapa orang bebahu serta orang-orang kademangan yang membantunya berhasil mendesak perempuan itu surut, tetapi Ki Demang menyadari, bahwa perempuan itu adalah perempuan yang sangat berbahaya. Ketika kemarahan Megar Permati menjadi tidak terkendali, maka perempuan itu telah mengibaskan selendangnya. Selendangnya yang di kedua ujungnya dihiasi pernik-pernik mas dan perak. Tetapi mas dan perak itu bukan sekedar perhiasan yang membuat selendangnya menjadi sangat mahal, tetapi mas dan perak itu menjadi sangat berbahaya jika Megar Permati mempergunakan selendangnya itu sebagai senjata. Sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian, selendang Megar Permati telah mulai menyebarkan malapetaka. Seorang bebahu yang bertempur bersama Ki Demang telah terlempar dari arena, jatuh berguling di tanah. Sambil menggeliat berputar-putar bebahu itu mengaduh kesakitan. Pundaknya telah terkoyak oleh senjata Megar Permati. Lukanya yang menganga telah mencucurkan darah yang hangat. Dalam pada itu, terdengar suara Nyi Melaya Werdi yang melengking menggetarkan jantung, “Ternyata kalian tidak tahu apa yang dapat terjadi atas diri kalian. Jika kalian tidak menarik diri, maka kematian demi kematian akan mencengkam kalian. Jika darah di dalam tubuh ini sudah terlanjur mendidih, maka tidak akan ada jalan kembali. Hanya nama kalian sajalah yang masih akan dikenang oleh orang-orang kademangan ini.” Tetapi seorang bebahu telah berteriak marah, “Menyerahlah. Kalian hanya berdua. Kalian telah dikepung sehingga kalian tidak akan dapat melarikan diri.” “Kau akan menyesal dengan sikapmu. Tetapi aku masih memberi kesempatan,” berkata Melaya Werdi. Tetapi Megar Permati justru berteriak, “Tidak ada belas kasihan lagi, Kakangmbok.” “Beri mereka kesempatan sekali lagi jika mereka masih ingin berumur panjang.” “Aku ingin menunjukkan kepada anak demang itu, bahwa akibat dari perbuatannya adalah mengerikan.” Namun Nyi Melaya Werdi masih berkata lantang, “Nah, kau dengar. Cepat, pergi dari sini.” Tetapi Ki Demang berteriak pula, “Kami akan menggantung kalian di halaman banjar kademangan karena kalian telah menghina kami dan seisi kademangan ini.” Nyi Melaya Werdi masih menyahut, “Jadi kau tetap akan bertempur demi anakmu yang gila itu?” “Persetan dengan igauanmu.” Ternyata jawaban Ki Demang itu merupakan aba-aba bagi Nyi Melaya Werdi dan Megar Permati. Kesempatan yang diberikan oleh Melaya Werdi itu telah disia-siakan, sehingga sejenak kemudian, maka darah pun menjadi semakin banyak tertumpah. Seorang lagi di antara mereka yang bertempur melawan Megar Permati telah terlempar keluar arena. Lambungnyalah yang terkoyak. Ternyata ia tidak sempat mengaduh. Ki Demang dan orang-orang yang bertempur bersamanya tidak sempat memperhatikan orang itu. Selendang Megar Permati telah mematuk seorang lagi. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan. Orang itu terpelanting jatuh menimpa bebatur kedai sehingga kepalanya retak selain dadanya bagaikan meledak. Beberapa tulang iganya patah. Demikian parah keadaannya, sehingga ia pun telah meninggal seketika. Ternyata Megar Permati benar-benar tidak mengekang diri lagi. Sementara itu semakin banyak orang yang datang karena kentongan masih saja meneriakkan irama titir. Beberapa orang laki-laki yang berani telah ikut serta mengepung kedua orang perempuan itu. Orang-orang yang semula membenci anak Ki Demang itu, ternyata tersinggung juga melihat dua orang perempuan yang telah mengacaukan kademangan mereka. Namun orang-orang kademangan yang tidak mempunyai pengalaman yang luas itu menjadi sangat gelisah melihat kegarangan lawan. Nyi Melaya Werdi yang telah memberikan kesempatan terakhir itu pun menjadi marah pula. Seperti adiknya, maka sejenak kemudian selendangnya pun telah memungut korban. Satu-satu lawannya terlempar keluar arena. Tidak sekedar terluka. Tetapi mereka telah terbunuh. Dengan demikian, maka orang-orang yang mengepung kedua orang perempuan itu mulai menjadi gentar. Hanya orang-orang yang mempunyai keberanian yang tinggi sajalah yang masih berani menyerang Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. Sementara itu, keduanya benar-benar telah menyebarkan maut. Akhirnya kepungan itu pun menjadi semakin longgar. Orang-orang mulai berpikir, bahwa sulit bagi mereka untuk menundukkan kedua orang perempuan itu. Sementara itu, senjata Melaya Werdi dan Megar Permati bagaikan ular yang memburu dan mematuk lawannya tanpa ampun. Sikap Ki Demang pun mulai goyah. Sementara itu Megar Permati pun berteriak, “Terakhir, aku akan membunuh anak Demang edan itu dengan caraku. Tetapi jika ayahnya ingin ikut mati, aku sama sekali tidak berkeberatan. Kademangan ini akan segera mendapat seorang demang baru yang lebih baik, yang anaknya tidak gila seperti anak muda itu.” Ki Demang memang menjadi sangat cemas. Tetapi ia tidak akan membiarkan anaknya dibunuh. Karena itu, selagi masih banyak orang yang memiliki sisa-sisa keberanian, Ki Demang itu pun berteriak, “Bawa anak itu pergi.” Dua orang bebahu telah berusaha mengangkat anak Ki Demang yang sudah tidak berdaya itu dibantu oleh beberapa orang. Tetapi langkah mereka terhenti. Megar Permati telah meloncat menembus kepungan dengan melemparkan dua orang di antara mereka yang mencoba untuk menghalanginya. “Jangan bawa pergi anak itu. Aku memerlukannya. Ia akan mati seperti orang-orang yang mencoba membelanya, termasuk ayahnya. Letakkan anak itu.” Orang-orang yang mengangkat anak Ki Demang itu mencoba berlari. Tetapi selendang Megar Permati telah mematuk dua orang di antara mereka di punggung, sehingga tulang punggung mereka serasa berpatahan. Sementara itu, orang-orang lain tidak mampu mencegahnya. Apalagi kemudian, selendang itu telah berputaran melindungi tubuh Megar Permati dari ujung senjata di seputarnya. Seorang yang mencoba melemparkan tombaknya, ternyata runtuh oleh sentuhan selendang itu sebelum sempat melukai kulitnya. Dalam pada itu, Wijang dan Paksi memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Semula ia bergeser menjauh dan bahkan berusaha bersembunyi di balik pepohonan. Tetapi ketika mereka melihat Melaya Werdi dan Megar Permati menyebar kematian dengan semena-mena, jantung mereka pun berdentang semakin cepat. Meskipun mereka sudah mengira bahwa malapetaka bakal terjadi atas anak Ki Demang, tetapi yang terjadi itu ternyata jauh lebih mengerikan lagi. Apalagi Megar Permati masih juga berniat untuk membunuh anak Ki Demang itu dengan caranya. “Pelajaran itu sudah lebih dari cukup,” berkata Wijang di luar sadarnya. Paksi yang berdiri di dekatnya berdesis, “Tingkah laku mereka sudah keterlaluan.” “Kita harus menghentikannya. Keduanya akan menyebarkan kematian jauh lebih banyak lagi. Justru mereka yang tidak bersalah. Orang-orang itu berdiri di antara mulut buaya dan mulut harimau. Jika mereka tidak mau membantu Ki Demang, maka nasib mereka pun akan dapat menjadi sangat buruk, bahkan bersama keluarga mereka.” “Apa yang akan kita lakukan?” “Apaboleh buat. Kita tidak dapat bersembunyi terus sementara kedua orang perempuan itu membunuh tanpa kendali.” Paksi mengangguk. Meskipun masih ada sedikit keraguan, apakah ia mampu menghadapi perempuan-perempuan garang itu. Namun akhirnya ia telah membulatkan tekadnya. Ia tidak dapat berdiam diri melihat pembunuhan yang semena-mena. Sejenak kemudian, Wijang pun telah memberi isyarat, sehingga keduanya pun telah melangkah dengan cepat, mendekati arena pertempuran yang tidak seimbang itu. “Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati,” Wijang pun menyebut nama mereka untuk menghentikan pembunuhan-pembunuhan yang berlangsung itu. Sebenarnyalah Melaya Werdi dan Megar Permati terkejut mendengar namanya disebut. Karena itu, maka mereka pun telah meloncat mengambil jarak dari orang-orang yang sedang dibantainya. “Siapa kau?” bertanya Melaya Werdi ketika mereka melihat dua orang anak muda mendekatinya. Wijanglah yang menjawab, “Beruntunglah aku dapat bertemu dengan kalian disini. Kami adalah utusan khusus Harya Wisaka untuk mencari kalian, karena kalian tidak ada di sarang kalian. Kami mendapat tugas untuk membawa Pangeran Benawa kembali ke istana.” Kedua orang perempuan itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, orang-orang kademangan yang merasa tidak berdaya itu berdiri bagaikan membeku di tempat mereka. “Aku tidak mengerti maksudmu,” desis Nyi Melaya Werdi. “Harya Wisaka telah mendapat pengakuan dari murid-muridmu yang tertawan ketika terjadi pertempuran di kaki Gunung Merapi itu. Kalian berdua telah menyimpan Pangeran Benawa di dalam sarangmu. Tetapi ternyata kalian sampai hari ini belum kembali ke sarangmu dan bahkan dengan semena-mena telah membunuh orang-orang tidak berdaya disini.” “Persetan dengan Harya Wisaka,” geram Melaya Werdi. “Aku tidak tahu-menahu tentang Pangeran Benawa.” “Jangan ingkar. Murid-muridmu yang tertawan di antara beberapa orang tawanan yang lain telah mengaku, bahwa Pangeran Benawa ada di tanganmu.” “Iblis kau. Kau telah mengganggu permainanku,” geram Megar Permati. “Pergilah dan katakan kepada Harya Wisaka, bahwa kami tidak tahu-menahu tentang Pangeran Benawa.” “Megar Permati,” sahut Wijang, “kau jangan ingkar. Pasukan segelar sepapan telah siap untuk melumatkan sarangmu di Goa Lampin yang dipimpin langsung oleh Harya Wisaka. Karena itu, sebaiknya kalian berdua berterus-terang, dimana Pangeran Benawa kalian sembunyikan. Jika kalian mau menyerahkan Pangeran Benawa, maka sarangmu tidak akan menjadi karang abang.” “Jangan mengigau kau anak ingusan,” jawab Megar Permati. “Sekarang pergilah. Biarlah aku mendapat kepuasan dengan permainanku ini.” “Aku tidak mempunyai banyak waktu. Jika kau tidak segera kembali, maka aku akan mendapat hukuman dari Harya Wisaka. Tetapi lebih buruk dari itu, Goa Lampin akan lenyap untuk selama-lamanya.” “Cukup,” bentak Melaya Werdi. “Sebenarnya sayang sekali untuk membunuh kalian berdua. Tetapi jika kalian berdua tidak mau kami jinakkan, maka kalian akan kami bunuh bersama dengan orang-orang kademangan ini.” Wijang pun sempat berdesis perlahan, “Hati-hatilah terhadap matanya, Paksi.” “Ya,” sahut Paksi singkat. Ia sadar sepenuhnya bahwa kedua perempuan itu memiliki kekuatan sihir yang dapat mencengkam penalaran seseorang, sehingga seseorang akan kehilangan kepribadiannya. Dalam pada itu, Ki Demang, para bebahu dan orang orang kademangan itu kembali berpengharapan. Kedua orang anak muda itu nampaknya telah mengenal kedua orang perempuan yang garang dan menakutkan itu. Jika mereka bukan orang-orang berilmu, maka mereka tidak akan berani menentang kedua orang perempuan itu. Wijang dan Paksi pun melangkah semakin dekat. Dengan lantang Wijang pun berkata, “Melaya Werdi, kau tidak mempunyai pilihan lain. Serahkan Pangeran Benawa kepada kami.” “Anak-anak setan. Apakah kalian sadari apa yang sedang kalian lakukan? Mungkin Harya Wisaka memberikan perintah itu kepadamu tanpa menjelaskan siapakah kami berdua.” “Kami mengetahui kalian berdua dengan sebaik-baiknya. Kami pun sudah melihat apa yang kalian lakukan terhadap orang-orang kademangan ini. Justru karena itu, maka kami telah dengan tergesa-gesa menemui kalian.” “Jika demikian, baiklah. Kami akan berurusan dahulu dengan kalian berdua. Baru kemudian kami akan menyelesaikan permainan kami,” berkata Melaya Werdi. Sedangkan Megar Permati pun kemudian berkata kepada Ki Demang, “Ki Demang, jangan mencoba membawa anakmu pergi selama aku mengurus kedua orang anak yang keras kepala ini. Jika kau bawa anakmu pergi, maka nanti aku akan mencarinya. Kademanganmu akan menjadi rusak. Aku akan membakar banyak rumah dan membunuh banyak orang termasuk perempuan dan kanak-kanak. Kaulah yang harus bertanggung jawab terhadap kematian dan kerusakan atas kademangan itu.” Jantung Ki Demang berdetak semakin cepat. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya harus dilakukannya. Sementara itu, orang-orang yang mengangkat anaknya telah meletakkannya kembali di tanah sejak dua orang di antara mereka terpelanting jatuh karena punggungnya telah dipatuk oleh senjata Megar Permati. Sementara itu Wijang dan Paksi pun telah mengambil jarak. Meskipun Megar Permati lebih garang dari Melaya Werdi, tetapi Wijang meyakini bahwa Melaya Werdi mempunyai ilmu yang lebih matang. Karena itu, maka Wijang pun telah menempatkan dirinya untuk menghadapi Melaya Werdi. Ternyata Wijang telah memasang perisai di pergelangan tangannya. Sementara itu, kedua tangannya telah menggenggam pisau belatinya pula, justru karena yang dihadapinya adalah Melaya Werdi yang telah mengurai selendangnya. Sedangkan Paksi pun telah bersiap pula menghadapi Megar Permati yang garang. Namun Paksi pun menyadari, bahwa ilmu perempuan yang garang itu tidak sematang ilmu kakak perempuannya. Dengan hati-hati Paksi mempersiapkan diri. Ki Marta Brewok telah banyak memberikan petunjuk kepadanya untuk menghadapi segala macam senjata. Bahkan Paksi pun sudah bersiap untuk menghadapi tatapan mata pemimpin dari Perguruan Goa Lampin itu. Tatapan mata yang dapat mempengaruhi daya nalar dan budi seseorang. Menghadapi orang-orang yang mengaku pengikut Harya Wisaka itu, Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati nampak lebih berhati-hati. Kedua orang pengikut Harya Wisaka itu tentu tidak sekedar mampu berteriak-teriak sebagaimana orang-orang kademangan itu. Sejenak kemudian, maka selendang kedua orang perempuan itu pun mulai berayun. Wijang yang menggenggam dua pisau belatinya serta mengenakan penutup pergelangan tangannya yang juga merupakan perisai itu, bergeser beberapa langkah. Wijang pun sadar, bahwa lawannya adalah seorang perempuan berilmu tinggi. Ketika kemudian Melaya Werdi mengibaskan selendangnya, Wijang pun bergeser surut selangkah. Sambaran angin menunjukkan kepada lawannya, betapa tinggi ilmunya sehingga lawannya yang masih muda itu harus berpikir dua tiga kali untuk bertempur melawannya. “Apakah kau tetap ingin melaksanakan perintah Harya Wisaka untuk memaksa kami menyerahkan Pangeran Benawa yang memang tidak berada di tangan kami?” “Kami tidak mempunyai pilihan lain,” jawab Wijang. “Bersiaplah. Kau tidak akan mampu bertahan sepenginang.” Wijang tidak menjawab. Tetapi ia pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Senjata lawannya adalah senjata yang sangat berbahaya. Apalagi di tangan Melaya Werdi yang berilmu sangat tinggi itu. Sejenak kemudian, maka selendang Melaya Werdi itu sudah berputar. Semakin lama semakin cepat. Ayunannya yang deras menyambar ke arah tubuh Wijang. Tetapi tubuh Wijang itu telah melayang menghindarinya. Serangan-serangan selanjutnya pun datang beruntun. Namun kedua pisau belati Wijang itu pun berputaran pula. Benturan-benturan segera terjadi. Setiap kali ujung selendang Melaya Werdi itu telah menyentuh pergelangan tangan Wijang yang dilindungi oleh lembaran kulit yang lebar yang melingkari pergelangannya itu. Setiap kali Melaya Werdi mengerutkan dahinya. Ujung selendangnya itu terasa bagaikan menyentuh lapisan baja yang tidak tertembus oleh senjatanya itu. Dengan demikian, maka Nyi Melaya Werdi pun telah meningkatkan kemampuannya pula. Selendangnya berputaran semakin cepat. Setiap kali ujung selendang itu telah menyambar dengan derasnya. Namun kemudian mematuk dengan garangnya. Tetapi setiap kali, lawannya mampu menghindar, menangkis dan bahkan sekali-sekali terasa selendang itu bagaikan terkait oleh ujung-ujung sepasang belati anak muda itu. Nyi Melaya Werdi memang menjadi cemas. Belati itu memang bukan belati kebanyakan. Ketajaman penglihatan Melaya Werdi sempat melihat peletik-peletik pamor pada pisau belati itu. “Nampaknya memang seperti sebilah keris,” berkata Melaya Werdi di dalam hatinya, “tetapi hulunya sajalah yang sengaja dibuat sederhana seperti hulu pisau belati.” Dengan demikian, maka Melaya Werdi harus semakin berhati-hati. Ia tidak ingin selendangnya menjadi cacat oleh ujung belati lawannya yang mendebarkan itu. Dalam pada itu, kecepatan gerak Wijang bukan saja mampu menghindari serta menangkis setiap serangan Melaya Werdi. Namun serangan-serangannya justru mampu mengejutkan perempuan yang berilmu tinggi itu. Dalam pada itu, Megar Permati pun telah bertempur dengan garangnya. Namun setiap kali ujung selendangnya telah membentur tongkat lawannya. Tongkat yang ujudnya tidak lebih dari sepotong kayu yang seakan-akan begitu saja dipatahkannya dari pagar di pinggir jalan. Namun ternyata tongkat itu mampu menggetarkan tangannya jika selendangnya membenturnya. Dengan demikian, maka Megar Permati pun menjadi berdebar-debar. Ia tidak mengira bahwa anak muda itu ternyata memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya. Paksi yang sejak semula sudah mengetahui bahwa Megar Permati memiliki ilmu yang tinggi, bertempur dengan sangat berhati-hati. Paksi sendiri menyadari, bahwa pengalamannya masih terlalu sempit dibanding dengan pengalaman Megar Permati. Namun keyakinannya tentang ilmu yang didasari oleh gurunya dan yang kemudian ditingkatkan dan dimatangkan oleh Ki Marta Brewok, membuat Paksi mampu bertempur dengan mapan. Tongkatnya berputaran dengan cepat. Bukan saja sekedar menangkis serangan-serangan lawannya. Tetapi sekali-sekali Paksi pun mampu menyerang pula. Bahkan sekali-sekali Megar Permati terpaksa meloncat surut untuk mengambil jarak dari ujung tongkat Paksi yang seakan-akan memburunya itu. Dalam pada itu, Ki Demang dan orang-orangnya menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Mereka sama sekali tidak mengenal dua orang anak muda yang tiba-tiba datang dan bahkan telah mengambil alih pertempuran, melawan kedua orang perempuan yang garang itu. Sementara itu pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Megar Permati tidak lagi mengekang diri. Serangan-serangannya langsung mengarah ke tempat-tempat yang paling berbahaya pada tubuh Paksi. Namun Paksi pun dengan tangkasnya mampu mengimbanginya. Bahkan semakin lama Paksi pun menjadi semakin percaya diri. Betapapun tinggi kemampuan Megar Permati serta betapapun luasnya pengalamannya, namun masih dalam jangkauan batas kemampuan Paksi meskipun Paksi harus mengerahkan segenap kemampuannya. Ki Demang dan orang-orang kademangan yang datang ke tempat itu, tidak lagi mampu menilai pertempuran itu. Pertempuran yang seakan-akan tidak lebih dari kelebat bayangan yang berterbangan berputar-putar. Dalam pada itu, seorang bebahu yang menyadari keadaan sempat berbisik di telinga Ki Demang, “Kita dapat meninggalkan tempat ini. Biarlah mereka menyelesaikan pertempuran itu.” Ki Demang berpikir sejenak. Hampir saja ia menyetujui pendapat itu. Namun ternyata ada sesuatu yang menghambatnya. “Aku tidak dapat meninggalkan kedua orang anak muda itu begitu saja,” berkata Ki Demang. “Mereka telah memberikan harapan kepada kita untuk hidup. Dalam keadaan yang memaksa, kita harus membantunya, apa pun yang terjadi.” “Tetapi pertempuran itu benar-benar tidak dapat kita mengerti.” “Bagaimanapun juga, kita dapat mengganggu pemusatan nalar budi kedua orang perempuan itu. Mungkin kita masih harus memberikan korban lagi. Tetapi itu tentu lebih baik daripada kita meninggalkan arena ini. Jika kedua perempuan itu memenangkan pertempuran, maka mereka akan dapat menghancurkan seluruh kademangan. Mereka dapat membunuh lebih banyak lagi. Bahkan perempuan dan anak-anak.” Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Perasaannya yang paling dalam merasakan perubahan sikap Ki Demang. Ternyata Ki Demang itu tidak lagi memikirkan dirinya sendiri atau keluarganya. Ia masih memikirkan kedua orang anak muda yang telah membantunya meskipun keduanya mempunyai alasan tersendiri. Ki Demang memang tidak beranjak dari tempatnya. Orang-orang kademangan itu pun telah menahan diri pula untuk tidak lari dari arena. Namun Ki Demang itu pun kemudian berkata, “Cari air. Usahakan menolong anakku. Tetapi kau tidak usah membawanya pergi.” Bebahu itu pun kemudian telah memerintahkan seseorang untuk mencari air bagi anak Ki Demang yang ada dalam keadaan parah. Sementara itu, Nyi Melaya Werdi dan Megar Permati masih bertempur dengan sengitnya. Bahkan semakin lama menjadi semakin sengit. Mereka telah berada pada puncak kemampuan mereka masing-masing. Selendang Melaya Werdi dan Megar Permati berputaran semakin cepat. Bahkan kemudian selendang itu bagaikan kabut yang mengepul di sekitar tubuh Melaya Werdi dan Megar Permati. Namun Wijang dan Paksi sama sekali tidak menjadi gentar. Tongkat Paksi pun berputaran pula. Bahkan beberapa kali Paksi sengaja membenturkan tongkatnya, menghantam kabut yang menyelimuti tubuh Megar Permati. Ternyata tenaga dalam Paksi setiap kali mampu menggetarkan dada Megar Permati. Benturan yang terjadi, rasa-rasanya telah menggetarkan bukan saja tangan Megar Permati. Tetapi merambat menyusup di antara urat-uratnya sampai ke jantung. Sementara itu Melaya Werdi pun mulai gelisah. Sekali-sekali masih terasa ujung-ujung pisau belati lawannya, seakan-akan telah terkait pada anyaman selendangnya. Bahkan pada perhiasan mas dan perak di ujung-ujung selendangnya. Dalam puncak kekuatan dan kemampuan masing-masing, maka ujung pisau itu akan dapat mengoyakkan selendang pusakanya itu. “Anak ini memang gila,” geram Melaya Werdi. Wijang ternyata mendengar geram itu. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin berhati-hati. Agaknya Melaya Werdi akan segera sampai pada ilmu puncaknya, yang hanya dilepaskan dalam keadaan yang paling gawat. Sementara itu, Megar Permati pun semakin lama semakin mengalami kesulitan pula melawan Paksi. Tongkat Paksi semakin lama menjadi semakin berbahaya. Bahkan Megar Permati itu terkejut dan melompat mengambil jarak ketika ujung tongkat Paksi itu sempat menyentuh lengan bajunya. “Anak iblis,” Megar Permati mengumpat marah ketika ia mengetahui bahwa lengan bajunya terkoyak. Paksi tidak segera memburunya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Dalam pada itu, Melaya Werdi benar-benar telah mengerahkan ilmu pamungkasnya. Selendangnya yang berputar tidak saja seakan-akan merupakan lingkaran kabut yang menyelubungi tubuhnya. Tetapi kabut itu semakin lama menjadi semakin kemerah-merahan. Udara yang bergetar karena putaran selendang itu pun menjadi hangat dan bahkan semakin lama semakin panas. Kabut itu tidak lagi nampak karena putaran selendangnya, tetapi selendang yang kemudian menjadi kemerah-merahan itu benar-benar telah berasap. Wijang menyadari keadaannya. Ilmu yang sangat berbahaya itu akan dapat menelannya dan bahkan membuatnya menjadi arang. Karena itu, maka Wijang pun telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Dengan memusatkan nalar budinya, maka Wijang pun telah mengetrapkan ilmunya pula. Sambil menggenggam pisau belatinya, Wijang menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Tubuh Wijang itu tiba-tiba seakan-akan telah mengembun. Asap yang dingin bagaikan mengepul dari lubang-lubang kulitnya. Seperti tertiup angin yang lembut, maka asap yang dingin itu mengalir perlahan-lahan, berputar mengelilingi tubuhnya. Melaya Werdi terkejut. Ia sudah menjelajahi dunia olah kanuragan yang penuh dengan belukar yang berduri runcing. Namun ia masih juga terkejut dan berdebar-debar melihat kemampuan anak muda itu. Udara panas yang dipancarkan dari putaran selendang Nyi Melaya Werdi itu seakan-akan telah terhisap membeku ke dalam asap yang mengelilingi tubuh Wijang. Bahkan Wijang kemudian tidak hanya berdiri membeku sambil menyilangkan tangannya. Beberapa saat kemudian, maka Wijang pun telah berloncatan menyerang lawannya, sementara asap putih itu masih saja selalu berada di seputarnya kemana pun ia bergeser. Dengan demikian, maka ilmu Nyi Melaya Werdi tidak mampu menghadapi asap yang dingin di seputar tubuh Wijang. Pertahanan yang membuat benturan yang lunak dengan ilmu Nyi Melaya Werdi itu benar-benar menyulitkan kedudukannya. Karena itu, maka Nyi Melaya Werdi itu pun harus berloncatan surut untuk menghindari serangan-serangan sepasang pisau belati di tangan anak muda itu. Sementara itu, Megar Permati pun menjadi semakin terdesak oleh serangan-serangan Paksi. Beberapa kali Megar Permati harus meloncat surut, sementara Paksi masih saja terus mendesaknya. Namun tiba-tiba Megar Permati itu menghentikan putaran selendangnya. Bahkan perempuan itu pun kemudian berkata, “Tunggu, anak muda. Ternyata kau memiliki ilmu yang sangat tinggi.” Paksi yang sudah siap menyerang itu memang tertegun sejenak. Dipandanginya wajah Megar Permati sejenak. Wajah yang berkerut dan menegang. Namun wajah itu perlahan-lahan telah berubah. Namun Megar Permati itu justru mulai tersenyum. Paksi menjadi heran melihat perubahan itu. Bahkan jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat kedua mata Megar Permati yang seakan-akan menjadi berkilat-kilat. “Apakah kau benar-benar menjadi marah, anak muda,” bertanya Megar Permati sambil tersenyum. Tiba-tiba saja bulu-bulu tengkuk Paksi meremang. Ia tidak menjadi gentar melihat permainan selendang Megar Permati yang garang. Namun ketika ia melihat Megar Permati tersenyum maka debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat. “Aku tidak bersungguh-sungguh, anak muda,” berkata Megar Permati dengan lembut. Paksi masih berdiri membeku di tempatnya. Dalam pada itu, selagi Paksi dicengkam oleh kegelisahan, terdengar Wijang yang masih bertempur dengan Melaya Werdi berteriak, “Hati-hati dengan matanya.” Paksi seperti terbangun dari mimpinya. Ia sempat melihat mata Megar Permati yang berkilat-kilat. Terasa getar tatapan mata itu mulai menyentuh hatinya. Namun peringatan Wijang itu sempat menggugah kesadarannya, bahwa tatapan mata Megar Permati itu sangat berbahaya. Ada kekuatan sihir yang memancar dari sepasang mata itu. Karena itu, maka Paksi pun harus meningkatkan daya tahannya serta kemampuan mempertebal kesadaran dirinya. Ia tidak boleh kehilangan kepribadiannya dan tunduk kepada kehendak Megar Permati. Peringatan Wijang itu membuat jantung Megar Permati bagaikan terbakar. Tetapi ia masih mencoba menahan diri. Ia masih ingin meyakinkan dirinya atas kemampuan daya tahan lawannya yang masih muda itu. Karena itu, maka Megar Permati itu masih saja tersenyum sambil berkata, “Jangan takut, anak muda. Pandang mataku. Kau akan melihat indahnya dunia ini. Kau akan melihat betapa luasnya langit dan betapa cerahnya cahaya matahari. Kau akan melihat dirimu sendiri yang mengambang dalam kenikmatan hidup yang tidak akan sempat kau nikmati pada kesempatan lain.” Paksi menggeratakkan giginya. Meskipun ia memiliki kemampuan daya tahan yang tinggi serta kesadaran akan dirinya yang kuat, tetapi Paksi tidak mau memandang mata Megar Permati. Terdengar suara Megar Permati yang ramah, “Kenapa kau malu, anak muda. Kau akan melihat mataku. Kau akan mendengar suaraku. Kau akan melakukan apa yang aku katakan. Marilah. Jangan malu.” Paksi memang mengangkat wajahnya. Tetapi ia sudah memagari jantungnya dengan kesadaran yang tinggi, bahwa dirinya tidak akan terbenam ke dalam pengaruh sihirnya. “Megar Permati,” berkata Paksi, “kau tidak usah mencoba mempergunakan sihirmu untuk menguasai kehendakmu atas aku. Karena itu, kau tidak usah tersenyum-senyum seperti itu, karena aku tetap menyadari, bahwa di balik senyummu itu tersembunyi jantungmu yang berbulu setajam duri.” Senyum Megar Permati pun tiba-tiba lenyap dari bibirnya. Bahkan perempuan itu pun menggeram, “Anak iblis. Kau benar-benar akan mati.” “Kematianku tidak berada di tanganmu,” sahut Paksi. Lalu katanya, “Sekarang lebih baik kau serahkan Pangeran Benawa itu kepada kami. Kami akan pergi dan menyerahkannya kepada Harya Wisaka. Kami berjanji tidak akan menyakitimu dan tidak akan mengganggu perguruanmu.” Megar Permati tidak menjawab. Tetapi selendangnya kembali berputar dengan cepatnya. Namun pada saat yang bersamaan, Nyi Melaya Werdi benar-benar telah terdesak. Panas apinya tidak mampu mengatasi dinginnya embun lawannya. Bahkan udara yang dingin itu mulai merambah mencengkam kulitnya. Nafasnya pun menjadi terganggu karena udara pun seakan-akan telah membeku di lubang hidungnya. Sementara itu, serangan-serangan anak muda itu masih saja memburunya. Ujung pisau belati itu seakan-akan mulai berdesing di telinganya seperti seekor nyamuk yang berterbangan di sekeliling kepalanya. Karena itu, maka Nyi Melaya Werdi tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun segera memberikan isyarat kepada Megar Permati dengan siulan nyaring. Sejenak kemudian, kedua orang perempuan itu pun dengan cepatnya meloncat surut. Kemudian dibentangkannya selendangnya sepanjang kedua lengannya yang merentang. Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati itu bagaikan terbang meninggalkan arena. Paksi sudah bersiap untuk memburunya. Namun Wijang berdesis, “Biarkan mereka pergi.” Paksi mengurungkan niatnya. Sambil menarik nafas panjang ia berkata, “Kenapa kita melepaskan mereka?” “Apakah kau mempunyai kerangkeng untuk mengurungnya?” Paksi pun terdiam. Sementara Wijang itu pun berkata, “Mereka tidak akan pernah melupakan kekalahan ini. Tetapi itu bukan persoalan kita lagi. Itu persoalan mereka dengan Harya Wisaka.” Paksi tersenyum. Namun ia pun kemudian berdesis perlahan, “Mudah-mudahan mereka mempercayainya.” Sementara itu, Ki Demang dan orang-orangnya berdiri termangu-mangu. Mereka telah terpukau oleh pertempuran yang telah terjadi. “Bagaimana dengan anakmu?” bertanya Wijang kepada Ki Demang. Ki Demang termangu-mangu sejenak. Dalam keadaan biasa, ia tidak mau mendengar pertanyaan seperti itu. Ia adalah demang yang berkuasa di kademangan itu. Tetapi menghadapi kenyataan yang terjadi, maka Ki Demang itu mengangguk hormat sambil menjawab, “Keadaannya cukup parah, anak muda.” Wijang pun kemudian melangkah mendekati anak Ki Demang yang terbaring sambil mengerang kesakitan. Sebenarnyalah keadaan anak muda itu memang parah. Namun agaknya masih berpengharapan jika ia ditangani oleh seorang tabib yang baik. “Apakah di kademangan ini ada tabib yang baik?” bertanya Wijang kemudian. “Ada, anak muda,” jawab Ki Demang. “Seorang tua yang mempunyai pengalaman yang cukup luas.” “Baik. Hubungi tabib itu. Serahkan anakmu dalam perawatannya agar keadaannya dapat membaik. Berdoalah untuk anakmu. Kau tahu artinya?” Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk, “Aku mengerti, anak muda.” “Selanjutnya, kau harus menemukan arti dari keseluruhan peristiwa ini. Kau harus berani melihat ke belakang. Kau harus mengenali anakmu lebih baik lagi. Apa yang pernah dilakukannya dan apa yang tadi dilakukan, sehingga ia mendapat malapetaka. Kau pun harus mengenali dirimu sendiri. Apa yang pernah kau lakukan dan apa yang pernah kau lakukan buat anakmu? Bukan memanjakannya, tetapi berbuat sesuatu yang membuat hidup anakmu itu berarti bagi banyak orang.” Ki Demang tidak menjawab. Kepalanya menunduk. Sekali-sekali ia sempat melihat anaknya yang dalam keadaan parah, mengerang kesakitan. “Bawa anakmu pulang. Ingat apa yang terjadi hari ini. Jika tidak terjadi perubahan atas dirimu dan tingkah laku anakmu, maka yang akan membunuh anakmu bukan kedua orang perempuan itu. Tetapi aku. Meskipun demikian kau boleh mengetahui, bahwa kedua orang perempuan itu adalah pemimpin tertinggi Perguruan Goa Lampin. Jika kau belum pernah mendengar, maka aku akan memberitahukan, bahwa Goa Lampin adalah ajang pembantaian bukan saja atas wadag seseorang, tetapi terutama jiwanya.” Jantung Ki Demang terasa berdebar semakin cepat. Ia memang belum pernah mendengar Perguruan Goa Lampin. Tetapi keterangan anak muda itu membuatnya menjadi resah. “Pulanglah,” berkata Wijang kemudian. “Apakah kalian tidak singgah di rumahku?” bertanya Ki Demang. Wijang menggeleng. Katanya, “Terima kasih. Kami akan meneruskan perjalanan. Tetapi pada suatu saat kami akan singgah. Kami akan melihat apakah anakmu sudah berubah atau belum. Jika belum, maka aku akan membawanya, mengajarinya dengan caraku agar ia sedikit menghargai orang lain, terutama perempuan-perempuan.” “Ya, ya, anak muda. Aku akan mengajarinya.” “Kami pun ingin melihat caramu menjalankan tugasmu sebagai demang pada kesempatan lain. Kami adalah utusan Harya Wisaka yang mempunyai pengaruh yang besar di istana. Harya Wisaka akan dapat memerintahkan sekelompok prajurit untuk menangkapmu dan membawamu ke Pajang.” “Ya, ya, anak muda,” Ki Demang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Tetapi apakah kedua orang perempuan itu tidak akan mendendam kami?” “Mereka akan melupakan kalian. Mereka mempunyai persoalan yang jauh lebih penting dari mengurus anakmu. Tetapi yang terjadi ada juga gunanya bagi anakmu.” Ki Demang mengangguk kecil. Katanya, “Kami mohon ampun.” “Sudahlah. Aku akan pergi,” berkata Wijang kemudian. Namun ia masih sempat berkata sambil melangkah pergi, “Rakyatmu menjadi saksi apa yang telah terjadi disini.” Ki Demang terdiam. Tetapi di luar sadarnya ia memandang ke sekelilingnya. Beberapa orang bebahu serta orang-orang kademangannya, terutama di padukuhan itu, berdiri termangu-mangu. Sementara itu, anak Ki Demang masih saja mengerang kesakitan. Sedangkan beberapa orang terbaring diam. Ada di antara mereka yang terluka parah sehingga pingsan. Tetapi ada yang benar-benar telah terbunuh. Wijang dan Paksi pun tidak berpaling lagi. Mereka melangkah semakin jauh. Demikian keduanya hilang di tikungan, maka perhatian Ki Demang pun segera beralih kepada anaknya yang terluka parah. Kemudian dipandanginya beberapa orang yang juga telah menjadi korban karena kelakuan anak laki-lakinya. Ki Demang memang sangat menyesali perbuatan anaknya. Tetapi ia pun menyesali dirinya sendiri pula. Ia terlalu memanjakan anaknya itu. Apa yang dikehendakinya selalu dipenuhinya. Bahkan jika anaknya tertarik pada seorang perempuan tanpa memperdulikan keadaannya. Anak Ki Demang itu sudah memberikan beberapa orang gadis yang terlanjur mengandung kepada beberapa orang laki-laki dan memaksa mereka untuk menikahinya. Beberapa orang bebahu dan orang-orang kademangan yang sudah merasakan aman itu, mulai menilai lagi peristiwa itu. Mereka bersyukur bahwa akhirnya ada juga orang yang dapat memaksa anak Ki Demang itu untuk menyadari tingkah lakunya. Bahkan Ki Demang pun telah dipaksa untuk menilai sikapnya pula..... Sementara itu, Wijang dan Paksi pun telah berjalan semakin jauh. Dengan nada berat Wijang pun berkata, “Kita terpaksa harus memperlihatkan diri di antara para pemimpin perguruan yang sedang mencari Pangeran Benawa itu.” Paksi mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya. Yang terjadi adalah di luar kehendak kita.” “Anak demang itu memang gila. Seandainya tidak ada korban lagi, kita dapat meninggalkannya pergi. Tetapi kita tidak akan dapat membiarkan kedua orang perempuan itu membantai orang-orang padukuhan yang tidak bersalah itu. Orang-orang yang demikian takutnya kepada Ki Demang, sehingga mereka tidak mempunyai pertimbangan lagi untuk melakukan perbuatan yang bodoh itu.” “Tetapi kenapa ketakutan mereka kepada maut yang ditebarkan oleh kedua orang perempuan itu tidak dapat mengalahkan ketakutan mereka kepada Ki Demang.” “Ketakutan mereka kepada Ki Demang sudah berlangsung bertahun-tahun. Ketakutan itu seakan-akan telah melapisi dinding jantung mereka. Semakin lama menjadi semakin tebal, sehingga dapat mengalahkan perasaan-perasaan yang lain.” Paksi mengangguk-angguk. Orang-orang kademangan itu telah dicekam oleh kekuasaan Ki Demang yang sewenang-wenang itu sejak bertahun-tahun sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri lagi daripadanya. Namun Paksi pun kemudian berdesis, “Kemana Melaya Werdi dan Megar Permati itu melarikan diri?” “Entahlah. Mungkin mereka pun mengurungkan niatnya untuk mencari Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Tetapi mungkin pula mereka justru ingin melepaskan dendamnya kepada suami istri itu.” “Tetapi mereka akan berpikir ulang jika mereka akan bersikap keras terhadap Repak Rembulung dan Pupus Rembulung yang nampaknya cukup meyakinkan itu.” Wijang mengangguk-angguk. Namun ia tidak mengatakan sesuatu. Beberapa saat mereka saling berdiam diri. Di telinga Paksi terngiang kembali kata-kata Ki Pananggungan, bahwa meskipun Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu berilmu tinggi, namun mereka masing-masing tidak akan melampaui kemampuan Paksi. “Mudah-mudahan,” berkata Paksi di dalam hatinya. Ia semakin yakin akan dirinya, setelah ia mampu mengalahkan Megar Permati. Bahkan ia pun mampu menangkal ilmu sihirnya pula. Wijang dan Paksi itu pun melangkah terus menyusuri jalan berbatu-batu. Sentuhan kaki mereka telah menebarkan debu yang kelabu. Beberapa orang yang lain pun berjalan dengan cepatnya pula menyusuri bayang-bayang dedaunan dari pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Di luar sadarnya, Wijang dan Paksi berjalan mengikuti jalan menuju ke Kembang Arum. Tetapi Kembang Arum masih cukup jauh. Ketika keduanya melewati sebuah padukuhan yang pernah terjadi tempat tinggal seorang yang menyebut dirinya Bahu Langlang, mereka sempat berhenti sejenak di depan regol halaman. “Rumah Bahu Langlang,” desis Paksi. “Nampaknya rumah ini sudah kosong,” sahut Wijang. Paksi mengangguk-angguk. Rumah Bahu Langlang itu memang kosong. Agaknya sejak Bahu Langlang meninggalkan rumah itu, maka semua penghuninya pun telah pergi pula. Kecuali tidak ada lagi ikatan, mereka juga takut menanggung beban, karena Bahu Langlang ternyata mempunyai banyak musuh. Wijang dan Paksi itu pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kembang Arum. Meskipun keduanya dapat berjalan lebih cepat, tetapi keduanya tidak merasa tergesa-gesa. Karena itu, maka mereka berjalan seenaknya. Menyusuri bulak-bulak panjang dan kemudian mereka memilih jalan singkat lewat lorong sempit di pinggir hutan yang jarang sekali dilalui orang. Mereka memang tidak menemukan jejak apapun. Agaknya Melaya Werdi dan Megar Permati tidak menuju ke Kembang Arum atau setidak-tidaknya mereka tidak melalui lorong di pinggir hutan itu. Ketika malam turun, Paksi dan Wijang baru saja meninggalkan lorong di pinggir hutan itu. Ternyata keduanya tidak berniat untuk melanjutkan perjalanan. Mereka ingin berhenti dan beristirahat. Karena itu, maka mereka pun telah mencari tempat untuk beristirahat dan bermalam. Bergantian mereka tidur malam itu di atas rerumputan kering di padang perdu. Binatang-binatang malam terdengar saling bersahutan. Ketika dari hutan itu terdengar aum seekor harimau lapar, Wijang yang mendapat giliran untuk berjaga-jaga tidak menghiraukannya. Tetapi ketika kemudian ia mendengar anjing hutan menyalak bersahutan, maka Wijang menarik nafas dalam-dalam. “Mudah-mudahan anjing itu tidak berkeliaran di padang perdu ini,” berkata Wijang dalam hatinya. Wijang lebih senang menghadapi seekor harimau loreng yang besar dari pada sekelompok anjing hutan yang licik. Tetapi ketika Wijang melihat beberapa batang pohon yang cukup besar, hatinya menjadi tenang. Ia dapat memanjat pohon itu, sehingga anjing-anjing liar itu tidak dapat memburunya. Ketika kemudian giliran Paksi untuk berjaga-jaga, maka Wijang pun berpesan, “Hati-hati dengan anjing-anjing yang licik itu. Mereka datang dalam kelompok yang besar.” Paksi mengangguk sambil mengusap matanya yang merah. “Hati-hati. Kau tidak boleh tidur lagi sampai menjelang fajar.” Paksi mengangguk. Wijang pun kemudian telah membaringkan dirinya di atas rerumputan kering. Sekali ia menguap. Namun kemudian Wijang itu pun telah tidur. Seakan-akan sama sekali tidak ada beban di kepalanya, sehingga dengan cepat ia menjadi lelap. Paksi lah yang setiap kali mengusap matanya. Embun terasa mulai menitik dari dedaunan. Namun tidak ada persoalan yang timbul malam itu. Menjelang fajar Wijang pun sudah terbangun. Berbenah diri dan kemudian melanjutkan perjalanan. Kembang Arum bagi keduanya sudah tidak jauh lagi. Sebelum panas matahari terasa menggigit kulit menjelang tengah hari, mereka sudah akan berada Padukuhan Kembang Arum. Tetapi pagi itu keduanya menyempatkan diri untuk singgah di sebuah kedai kecil. Penjual nasi yang sudah tua itu melayani mereka dengan lamban, sehingga rasa-rasanya untuk menunggu minuman dan makanan mereka harus duduk sampai punggungnya menjadi penat. Karena itu, maka perjalanan mereka terlambat beberapa saat. “Aku tidak telaten,” desis Paksi. Wijang tertawa pendek. Katanya, “Kenapa tergesa-gesa. Bukankah kita tidak dibatasi oleh waktu?” Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum pula. Panas matahari mulai terasa menggatalkan kulit. Semakin lama semakin terasa. Keringat pun mulai mengembun di kening. “Padukuhan itu sudah tidak terlalu jauh lagi.” “Masih berapa lama kita berjalan?” “Jika kita tidak terhambat di kedai itu, kita sudah tinggal sebulak lagi.” “Sudahlah.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ketika mereka mendekati Padukuhan Kembang Arum, maka matahari pun hampir sampai ke puncak langit. Panasnya sudah menjadi semakin terasa menggigit kulit. Beberapa orang yang bekerja di sawah telah meletakkan cangkul mereka, yang sedang membajak pun telah menyandarkan bajak mereka di pematang. Beberapa orang perempuan dengan menggendong bakul berjalan di bulak-bulak panjang membawa kiriman makan dan minuman bagi mereka yang bekerja di sawah. Wijang dan Paksi melangkah terus menyusuri jalan bulak yang panjang. Beberapa puluh langkah di hadapan mereka, seorang perempuan berjalan seorang diri ke arah yang berlawanan. Namun kemudian perempuan itu telah berbelok melalui jalan sempit yang di sebelah-menyebelah ditumbuhi pohon jarak dan gerumbul-gerumbul perdu. Perempuan itu pun menggendong bakul dan membawa gendi. Nampaknya ia membawa kiriman bagi mereka yang bekerja di sawah yang letaknya tidak di pinggir jalan panjang itu. Wijang dan Paksi pun tidak menghiraukan lagi. Mereka berjalan terus di panasnya sinar matahari. Ketika mereka sampai di simpangan, di luar sadarnya mereka berpaling memandang ke arah perempuan yang membawa kiriman itu berbelok. Namun keduanya terkejut. Wijang dengan cepat mendorong Paksi surut sehingga terlindung gerumbul perdu yang tumbuh di pinggir jalan itu. “Apa yang terjadi?” desis Paksi. “Marilah kita lihat,” sahut Wijang. Dengan hati-hati dilambari kemampuan mereka yang tinggi, Paksi dan Wijang bergerak di balik gerumbul-gerumbul perdu yang tumbuh di kiri kanan jalan kecil itu mendekati perempuan yang membawa kiriman itu. Perempuan itu berdiri termangu-mangu. Tiga orang laki-laki muda berdiri di hadapannya. Paksi semakin terkejut ketika seorang di antara laki-laki itu berkata, “Kau Kemuning, kan?” Paksi kemudian bergeser semakin mendekat. Dari sela-sela pohon perdu Paksi sempat melihat perempuan yang membawa bakul itu. Perempuan itu memang Kemuning. Wijang pun telah bersungut pula. Dengan isyarat Paksi memberitahukan, bahwa perempuan itu adalah Kemuning. Wijang mengangguk-angguk. Tetapi keduanya masih tetap bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul yang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan sempit itu. “Siapakah kalian?” bertanya Kemuning. “Kau orang baru di Padukuhan Kembang Arum?” Kemuning mengangguk. “Nah, karena itu, aku memerlukan datang menemuimu?” berkata salah seorang dari mereka. “Kau bukan anak Kembang Arum,” berkata Kemuning. “Memang. Kami memang bukan anak muda dari Kembang Arum. Kami tinggal di Sawahan.” “Sawahan? Bukankah Padukuhan Sawahan itu agak jauh dari sini?” “Ya.” “Jadi untuk apa kalian menemuiku?” “Aku ingin memperkenalkan diri.” “Ah,” Kemuning termangu-mangu sejenak. “Kau datang jauh-jauh hanya untuk memperkenalkan diri?” “Ya. Selain itu, kami memang mempunyai sedikit keperluan.” “Apa?” “Seorang gadis dari Sawahan telah dilarikan oleh anak muda dari Kembang Arum.” “O. Apa hubungannya dengan aku?” “Aku ingin minta kau pergi ke Sawahan. Kau segera akan kami antar pulang setelah gadis Sawahan itu pulang.” “Kenapa aku?” bertanya Kemuning. Laki-laki itu tertawa. Katanya, “Aku memilih gadis yang paling cantik dari Kembang Arum.” “Tetapi aku orang baru disini. Aku tidak tahu-menahu tentang gadis Sawahan yang dilarikan itu.” “Sudahlah. Nanti kau akan mengetahui persoalannya. Sekarang aku minta dengan baik-baik kau ikut kami ke Sawahan.” Kemuning tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia meletakkan gendinya di tepi jalan. Kemudian bakul yang digendongnya itu pun diletakannya pula. Ketiga orang laki-laki muda yang menghentikan Kemuning itu menjadi heran. Bahkan Paksi dan Wijang pun menjadi tegang pula. “Ki Sanak,” berkata Kemuning, “aku mengatakan bahwa aku tidak tahu-menahu tentang gadis yang dilarikan itu. Karena itu, pergilah.” Ketiga orang itu menjadi heran, bahwa Kemuning nampaknya tetap tenang. Bahkan kemudian dengan nada berat ia berkata, “Pergilah. Jangan mengganggu aku.” Seorang di antara ketiga orang yang menghentikan itu berkata, “Jangan banyak bicara. Sekarang ikut kami ke Sawahan atau kami akan memaksamu.” “Sudah aku katakan, pergilah.” “Kami akan memaksamu,” geram salah seorang dari ketiga orang itu. Kemuning memandang ketiga orang itu berganti-ganti, seorang berwajah persegi. Giginya yang besar-besar tersembul dari sela-sela bibirnya yang tebal. Alisnya yang tebal hampir bertemu di atas hidungnya. Seorang lagi berwajah licin. Senyumnya selalu nampak di sela-sela bibirnya. Namun dari pandangan matanya yang liar. Kemuning menjadi ngeri. Sedangkan kawannya berwajah kasar. Sebuah bekas luka menggores di keningnya. Rambutnya tergerai dari bawah ikat kepalanya yang dipakainya sekenanya saja. Orang yang berwajah licin dengan senyum di bibirnya itu pun berkata, “Jangan takut, Kemuning. Kau tidak akan disakiti. Kau hanya akan disimpan di Sawahan sampai gadis yang dilarikan itu pulang. Aku akan menjagamu jika ada orang yang ingin mengganggumu. Percayalah kepadaku.” “Jangan ganggu aku,” berkata Kemuning lantang. “Sekarang pergilah. Atau aku akan memaksa kalian pergi.” Ketiga orang laki-laki muda itu saling berpandangan sejenak. Yang berwajah kasar itulah yang bertanya, “Kau mau apa?” Tetapi Kemuning tidak menjawab. Tangannyalah yang menyambar mulut orang itu. Orang yang berwajah kasar itu benar-benar terkejut. Selangkah ia bergerak mundur. “Kaulah yang telah menyakiti aku,” geram orang itu. “Sekali lagi aku minta, pergilah.” “Anak ini tidak dapat diajak berbicara dengan baik-baik,” berkata orang yang berwajah persegi. “Karena itu, maka kita harus memaksanya.” Senyum bibir orang yang berwajah licin itu tiba-tiba telah lenyap. Dengan nada tinggi ia berkata, “Lakukan apa yang kami katakan.” Tetapi Kemuning menjawab, “Kau yang harus melakukan apa yang aku katakan.” Ketiga laki-laki itu telah kehilangan kesabaran. Ketiganya pun segera meloncat mengepung Kemuning. Paksi hampir saja meloncat dari persembunyiannya. Namun Wijang telah menggamitnya, ia pun memberi isyarat agar Paksi menunggu. Yang terjadi memang mendebarkan jantung Paksi. Ketika ketiga orang itu berusaha menangkap Kemuning, maka tiba-tiba saja gadis itu melenting. Tangannya yang cepat menyambar dada seorang di antara mereka sehingga orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Kemuning tiba-tiba saja telah menyingsingkan kain panjangnya. Di bawah kain panjangnya, ternyata Kemuning mengenakan pakaian khusus. Celana berwarna gelap sampai sedikit di bawah lutut. Paksi memang menjadi berdebar-debar. Ternyata Kemuning adalah seorang gadis yang juga memiliki kemampuan olah kanuragan. Tetapi Paksi tidak tahu, apakah gadis itu memiliki kemampuan olah kanuragan sebelum ia berada di tangan Bahu Langlang atau sesudahnya. Apakah Ki Pananggungan yang kemudian telah melatih Kemuning dalam olah kanuragan. Jika demikian, maka Kemuning itu tentu masih berada pada tataran pemula. Dengan tegang Paksi ingin menyaksikan apa yang telah terjadi. Apakah Kemuning mampu melindungi dirinya atau tidak. Sementara itu, lorong kecil itu memang terkesan sepi. Sejenak kemudian Paksi menahan nafasnya. Ketiga orang laki-laki itu mulai mencoba menangkap Kemuning. Namun Kemuning itu pun segera meloncat dengan tangkasnya. Sambil memutar tubuhnya, kakinya terayun dengan cepat, mendatar menyambar dada salah seorang dari anak muda itu. Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Ia tidak mengira bahwa Kemuning mampu bergerak setangkas itu. Namun kemudian orang itu pun telah menggeretakkan giginya. Kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya. Sambil menggeram ia meloncat menerkam Kemuning dengan jari-jari tangannya yang mengembang. Tetapi Kemuning cukup tangkas. Ia bergeser ke samping. Ketika seorang yang lain mengayunkan tinjunya ke arah wajahnya, Kemuning merendahkan dirinya. Tangannya terjulur lurus, justru menyongsong tubuh lawannya. Dengan derasnya tangannya telah mengenai dada lawannya. Terdengar keluhan tertahan. Sementara Kemuning pun berkata, “Jika kalian tidak mau pergi, aku akan berteriak. Orang-orang yang bekerja di sawah dan mendengar teriakanku, akan segera berdatangan.” “Kau tidak akan sempat berteriak,” geram orang yang berwajah licin. “Kenapa tidak? Bukankah aku sempat berbicara panjang sekarang?” Ketika orang yang berwajah persegi menyerang dengan ayunan kakinya yang mendatar, Kemuning sempat menangkisnya. Dikibaskannya kaki itu menyamping, sehingga sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Ternyata ancaman Kemuning itu membuat orang berwajah kasar menjadi ragu-ragu. Ia tidak mengira bahwa kemuning sempat memberi perlawanan. Karena itu maka ia tidak menyerang lagi. “Aku memberi kesempatan pada kalian untuk yang terakhir kalinya. Kalian akan pergi atau tidak?” Orang yang berwajah kasar itu menggeram. Namun ia pun kemudian telah memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat itu. Perhitungan orang-orang itu ternyata keliru. Kemuning sempat memberikan perlawanan. Ancamannya untuk berteriak memang membuat ketiga orang itu menjadi cemas. Mereka menduga, bahwa dengan serta-merta mereka dapat menangkap Kemuning sebelum ada orang yang mengetahuinya. Menyeretnya ke dalam semak-semak dan kemudian dengan ancaman membawanya pergi tanpa banyak kesulitan. Tetapi yang terjadi ternyata lain. Ketika ketiga orang itu kemudian bergeser menjauh, seorang di antara mereka sempat berkata, “Pada kesempatan lain kita akan bertemu lagi, Kemuning.” Kemuning tidak menjawab. Dipandanginya saja ketiga orang itu dengan tajamnya. Sejenak Kemuning berdiri termangu-mangu. Kemudian ia pun segera membenahi pakaiannya. Namun sebelum Kemuning memungut gendi dan bakulnya, ia mendengar semak-semak yang tersibak. Dua orang muncul dari balik gerumbul perdu di pinggir jalan. Dengan cepat Kemuning memutar tubuhnya dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun Kemuning itu pun mengerutkan dahinya. Diamatinya kedua orang itu dengan seksama. Dari sela-sela bibirnya kemudian terdengar Kemuning itu berdesis, “Kakang Paksi.” Paksi tersenyum. Katanya, “Kau masih mengenal aku Kemuning.” “Tentu, Kakang.” “Aku lihat bagaimana kau menakut-nakuti ketiga orang laki-laki itu.” “Ah.” “Ternyata kau memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.” “Aku hanya mengancam mereka untuk berteriak jika mereka tidak mau pergi.” “Tetapi kau sudah mempunyai bekal untuk melindungi dirimu sekarang.” “Paman Pananggungan mengajari aku bagaimana aku harus membela diri.” “Bagus,” desis Paksi, “ternyata kemampuan itu berarti juga bagimu.” “Baru itu yang dapat aku lakukan. Sedikit meloncat dan bergeser.” “Tetapi peningkatan kemampuanmu terhitung cepat, Kemuning.” “Ah,” Kemuning tertunduk. Namun Paksi pun kemudian telah memperkenalkan Wijang. Dengan ragu Paksi itu pun berkata, “Aku datang kali ini bersama kakakku, Kemuning.” Kemuning mengangkat wajahnya. “Namanya Wijang.” Kemuning itu pun mengangguk hormat, sementara Wijang pun berkata, “Mudah-mudahan aku tidak terlalu menjemukan.” “Ah,” Kemuning justru tidak tahu apa yang harus dikatakan. Paksi lah yang kemudian bertanya, “Apakah kau akan pergi ke sawah?” “Ya, Kakang.” “Jika demikian, marilah. Kami ikut pergi ke sawah untuk menemui Paman Pananggungan.” Demikianlah, Paksi dan Wijang menemui Kemuning yang berjalan cepat ke kotak-kotak sawah yang terletak di pinggir parit induk, sehingga sawah itu tidak pernah kekurangan air di segala musim. “Paman tentu akan senang sekali,” berkata Kemuning sambil berjalan di depan. Di sepanjang jalan, Paksi ternyata lebih banyak berbicara dengan Kemuning, sehingga Wijang lebih banyak berdiam diri sambil berjalan di belakang. Sambil berjalan Paksi pun kemudian bertanya, “Apakah ayah dan ibumu sudah menyusulmu kemari?” “Ayah dan ibu tidak tahu bahwa aku ada disini.” “Tetapi jika mereka pulang dan mengetahui bahwa kau tidak ada di rumah, mereka tentu akan menyusul kemari.” “Belum tentu. Mungkin ayah dan ibu mencariku di tempat sanak kadang yang lain.” “O,” Paksi mengangguk-angguk, “kau masih mempunyai sanak kadang yang lain kecuali Paman Pananggungan.” “Menurut ayah dan ibu, masih ada beberapa orang sanak saudara kami. Ayah dan ibu pernah mengajak aku mengunjungi mereka. Pada umumnya mereka baik padaku.” “Tetapi kenapa kau justru datang kemari?” “Nampaknya Bibi merasa lebih dekat dengan Paman Pananggungan dari sanak kadang kami yang lain.” “Jika demikian, bukankah pada saat nanti ayah dan ibumu akan mencarimu kemari?” “Ya. Ayah dan ibu pada suatu saat tentu akan kemari.” Paksi mengangguk-angguk. Namun bahwa keduanya masih belum datang ke Kembang Arum adalah satu kebetulan bagi mereka berdua. Sambil menunjuk sebuah gubuk kecil yang didirikan di tepi parit induk di bawah sepasang pohon turi yang sedang berbunga, Kemuning berkata, “Di gubuk itu biasanya Paman beristirahat.” “Apakah Paman Pananggungan bekerja sendiri di sawah?” “Paman bekerja bersama dua orang pembantunya. Paman sendiri jarang pergi ke sawah ini. Paman justru lebih sering pergi ke pategalan.” “Kenapa?” “Bukankah di pategalan udaranya lebih sejuk. Terik matahari pun banyak yang tertahan oleh pepohonan yang tumbuh semakin besar. Paman menanam beberapa batang pohon buah-buahan di pategalan.” Paksi mengangguk-angguk. Namun ia pun berpaling ketika ia mendengar Wijang terbatuk-batuk. “Marilah. Kenapa kau berjalan lambat sekali?” Wijang pun mempercepat langkahnya. Katanya, “Seekor binatang kecil masuk ke kerongkongan.” “Apakah kau tidak dapat mengatupkan mulutmu?” “Aku sedang menguap.” “Marilah, jangan berjalan di belakang.” Wijang tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Sejenak kemudian, maka mereka pun telah mengambil jalan pintas meniti pematang langsung menuju ke gubuk kecil di bawah sepasang pohon turi itu. Ki Pananggungan memang sudah menunggu di dalam gubuknya bersama dua orang yang membantunya bekerja di sawah. Ketika ia melihat Kemuning berjalan bersama dua orang laki-laki, dahinya telah berkerut. Namun semakin dekat, Ki Pananggungan pun mulai mengenali salah seorang dari kedua orang laki-laki itu. Karena itu, maka ia pun segera meloncat turun dari gubuknya, menyongsong Kemuning bersama kedua orang yang datang bersamanya. “Kau, Ngger,” sapa Ki Pananggungan. “Ya, Paman.” “Marilah, duduk berdesakan di dalam gubuk kecil ini.” Kedua orang yang membantu Ki Pananggungan itulah yang mengalah. Mereka turun dari gubuk itu dan melangkah beberapa langkah menjauh. Mereka pun kemudian duduk di bawah pohon turi yang berdaun rimbun itu. Dalam pada itu, Paksi dan Wijang pun telah duduk di gubuk itu pula. Ketika Kemuning meletakkan bakulnya, maka pamannya itu pun berkata, “Biarlah kedua orang itu minum dan makan lebih dahulu. Matahari telah sampai ke puncak. Agaknya mereka telah merasa haus dan lapar. Mereka sudah bekerja sejak matahari terbit.” Kemuning pun kemudian beringsut turun. Tetapi ia masih berceritera tentang tiga orang yang mencoba mengganggunya di jalan. “Siapakah mereka itu?” bertanya Ki Pananggungan. “Apakah kau belum pernah melihat mereka? Agaknya mereka bukan anak muda dari Kembang Arum.” “Memang bukan, Paman. Menurut keterangan mereka sendiri, mereka adalah orang Sawahan.” “Tentu juga bukan orang Sawahan. Mereka hanya ingin menyembunyikan jejak mereka.” “Aku juga menduga begitu, Paman.” “Untunglah bahwa Angger Paksi telah menolongmu lagi.” Paksi lah yang menyahut, “Bukan aku, Paman. Kali ini Kemuning telah membebaskan dirinya sendiri. Ternyata ia sudah memiliki kemampuan untuk menghadapi anak-anak muda yang tidak bertanggung jawab itu.” “Ah, apa yang dapat ia lakukan?” “Aku mengancam mereka untuk berteriak jika mereka tidak pergi,” berkata Kemuning. Ki Pananggungan tertawa. Katanya, “Satu jenis ilmu yang ternyata mampu mengusir anak-anak muda itu.” Yang lain pun tertawa pula. Kemuning juga tersenyum sambil melangkah mendekati kedua orang yang duduk di bawah pohon turi itu. “Biarlah aku menunggu, Ki Pananggungan,” berkata salah seorang dari mereka. “Makanlah dahulu,” sahut Ki Pananggungan. “Aku baru menemui tamu-tamuku.” Kedua orang itu tidak menjawab. Bahkan Kemuning telah meletakkan bakulnya di atas pematang. Sementara itu, Paksi pun telah memperkenalkan Wijang kepada Ki Pananggungan. Dengan nada rendah Paksi berkata, “Kakakku ini bernama Wijang, Paman.” Tetapi baik Paksi mau pun Wijang terkejut bukan buatan. Ki Pananggungan itu pun membungkuk hormat sambil berdesis, “Ampun, Pangeran. Aku tidak dapat menyambut kedatangan Pangeran dengan sepantasnya.” Paksi dan Wijang itu menjadi tegang. Lebih-lebih lagi Paksi merasa bertanggung-jawab. Ialah yang mengajak Wijang pergi ke Padukuhan Kembang Arum. Tetapi ia tidak menduga sama sekali, bahwa Ki Pananggungan itu dapat mengenali Pangeran Benawa. “Paman,” berkata Paksi dengan gagap, “dari mana Paman mengenali bahwa yang datang bersamaku ini adalah seorang pangeran?” “Aku pernah berada di istana Pajang, Ngger,” jawab Ki Pananggungan. “Aku pernah melihat Pangeran beberapa kali. Dan siapakah yang belum pernah mengenal Pangeran Benawa?” “Baiklah, Paman,” berkata Pangeran Benawa kemudian. “Aku tidak akan ingkar. Tetapi sebaiknya aku mohon Paman melindungi keberadaanku di tempat ini.” “Aku mengerti, Pangeran. Itulah sebabnya aku minta Kemuning membawa kirimannya kepada kedua orang yang membantuku bekerja di sawah ini. Aku berharap bahwa mereka tidak mendengar pembicaraan kita disini.” Paksi pun kemudian berkata, “Paman. Sebaiknya kami berterus-terang. Pangeran Benawa sedang berada dalam penyamaran. Ia ingin mengembara untuk dapat menyaksikan kehidupan yang nyata dari rakyatnya. Bukan sekedar laporan dari para pemegang pemerintahan di segala tataran, bahwa semuanya berjalan dengan baik.” “Aku berjanji untuk tidak membuka rahasia ini.” “Apalagi para pemimpin dari beberapa perguruan sedang memburunya. Bahkan mungkin juga termasuk Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung.” “Kau sudah bertemu dengan mereka?” bertanya Ki Pananggungan. “Tidak secara langsung, Paman.” Ki Pananggungan menarik nafas panjang. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kau belum mengatakan kepada Kemuning?” “Tidak, Paman. Kami tidak mengatakannya.” Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Paksi pun berceritera tentang kedua orang tua angkat Kemuning itu, namun yang dianggapnya sebagai orang tuanya sendiri. “Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati sedang mencari Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung. Mereka menduga bahwa Pangeran Benawa ada di tangan Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung.” Ki Pananggungan itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Siapa yang dapat menahan Pangeran Benawa yang memiliki ilmu tidak terbatas itu.” “Ah, Paman terlalu berlebihan.” “Aku berkata sebenarnya, Pangeran. Hanya Kangjeng Sultan dan Raden Sutawijaya sajalah yang dapat menyamai tataran ilmunya. Mungkin Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi.” “Tentu tidak, Paman. Ilmuku belum seberapa. Masih belum lebih tinggi dari ilmu Paksi.” “Pangeran tentu merendah. Maksudku, hanya beberapa orang sajalah yang mampu mengimbangi kemampuan Pangeran. Memang mungkin ada orang-orang berilmu tinggi yang tersembunyi. Tetapi sebenarnyalah bahwa ilmu Pangeran Benawa hampir tidak bercela.” “Paman akan kecewa jika Paman melihat kenyataanku yang tidak lebih baik dari Paksi. Tetapi sudahlah, kita akan berbicara tentang sawah Paman yang subur ini,” berkata Pangeran Benawa kemudian. “Ya, Pangeran. Namun satu hal yang ingin aku katakan, bahwa keberadaan Pangeran di luar istana, serta kabar tentang hilangnya cincin kerajaan yang bermata tiga butir itu, menjadi jelas bagiku sekarang. Sebenarnyalah Pangeran harus berhati-hati membawakan diri. Apalagi beberapa orang telah mencari Pangeran, yang tentu dihubungkan dengan cincin yang tidak ada di bangsal pusaka itu.” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang begitu, Paman. Terima kasih atas peringatan Paman.” Sementara itu, Paksi pun berkata, “Dalam pengembaraan ini, silahkan Paman memanggilnya Wijang.” “Wijang.” Ki Pananggungan mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku akan memanggil Pangeran, Angger Wijang.” Pembicaraan mereka pun terhenti sejenak. Kemuning telah membenahi mangkuk yang dipergunakan oleh kedua orang yang membantu Ki Pananggungan bekerja di sawah. Kemuning itu pun kemudian bangkit berdiri dan melangkah mendekati gubuk itu sambil bertanya, “Bagaimana dengan Paman?” “Aku akan pulang saja Kemuning. Aku akan makan di rumah bersama Angger Wijang dan Angger Paksi.” Dengan demikian, maka Kemuning pun segera memasukkan isi bakulnya kembali. Tetapi salah seorang dari kedua orang yang membantu bekerja di sawah pamannya itu berkata, “Tinggalkan saja gendinya, Nduk.” “Baik, Paman,” jawab Kemuning, “tetapi jangan lupa, nanti bawa gendinya pulang.” Kedua orang itu tersenyum. Salah seorang dari mereka menjawab, “Jika aku lupa, besok kau tidak usah mengirim minuman kemari.” “Jika bukan aku yang pergi ke sawah?” “Siapa pun yang pergi.” “Tanpa gendi dan tanpa bakul?” “Ah. Nanti kami tidak kuat mengangkat cangkul setelah matahari sampai di puncak.” Kemuning pun tertawa pula. Namun kemudian ia minta diri, “Sudah, Paman. Aku akan pulang bersama Paman Pananggungan serta kedua orang tamu itu.” “He, siapakah tamunya, Nduk? Tamu Ki Pananggungan atau tamumu?” Kemuning mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Tentu tamu Paman Pananggungan.” Kedua orang itu tertawa. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Demikianlah, maka Ki Pananggungan bersama Kemuning dan kedua orang tamunya telah meninggalkan gubuk kecil itu menuju ke Padukuhan Kembang Arum. Ketika mereka sampai di rumah Ki Pananggungan, maka Paksi pun telah disambut dengan gembira oleh Nyi Pananggungan dan Nyi Permati. Bersama Wijang, maka Paksi pun telah dipersilahkan untuk duduk di pringgitan. Namun kepada Nyi Pananggungan, suaminya menyebut tamunya yang seorang lagi sebagai kakak Paksi yang bernama Wijang. Kemuning yang kemudian pergi ke dapur telah memberitahukan kepada Nyi Pananggungan bahwa Ki Pananggungan masih belum makan di sawah. Pamannya itu ingin makan di rumah bersama kedua orang tamunya. Nyi Pananggungan pun kemudian menjadi sibuk mempersiapkan makan bagi suaminya dan kedua orang tamunya dibantu oleh Kemuning. Sementara itu Nyi Pananggungan minta agar Nyi Permati ikut menemui tamunya di pringgitan. “Aku menyempatkan diri untuk singgah,” berkata Paksi kepada Nyi Permati yang menemuinya bersama Ki Pananggungan. “Kami senang sekali menerima kunjungan Angger berdua,” berkata Nyi Permati. “Aku kira, Bibi sudah tidak ada disini.” “Kemana?” “Aku kira ayah dan ibu Kemuning sudah menyusul kemari.” “Mereka tidak tahu bahwa aku dan Kemuning berada disini.” “Tetapi jika mereka mencari, pada suatu hari tentu akan datang kemari.” Nyi Permati mengangguk. Namun kemudian ia berdesis, “Aku berdoa, mudah-mudahan keduanya tidak mencari Kemuning. Aku berharap agar keduanya mengembara saja tanpa pernah pulang.” “Tetapi bukankah mereka mencintai Kemuning?” Paksi tidak bertanya lagi. Sementara minuman pun telah dihidangkan. Minuman yang masih mengepulkan asap putih yang tipis. “Marilah, Ngger. Silahkan minum mumpung masih hangat,” Ki Pananggungan pun mempersilahkan. Paksi dan Wijang pun telah mengangkat mangkuknya dan menghirup minumannya yang membuat keringat mereka semakin banyak membasahi pakaian mereka. Sementara itu, maka Kemuning pun telah menghidangkan nasi dan lauk-pauknya pula. Meskipun mereka mempersiapkan makan siang itu dengan sedikit tergesa-gesa, namun bagi Paksi dan Wijang, hidangan itu sudah lebih dari cukup. Nyi Permati pun kemudian mempersilahkan mereka makan, sementara Nyi Permati telah meninggalkan mereka masuk ke ruang dalam. Sambil makan Ki Pananggungan pun berkata, “Nyi Permati berharap bahwa kedua orang tua angkat Kemuning itu tidak datang untuk mengambil Kemuning.” “Tetapi bukankah mereka bersikap baik di rumah? Mereka mengajari Kemuning melakukan hal-hal yang baik dan berarti?” “Tetapi pada suatu saat, akhirnya Kemuning akan mengetahui juga.” “Mengetahui bahwa ia bukan anak kandung kedua orang yang dianggap orang tua sendiri itu?” “Bukan itu. Akhirnya Kemuning akan tahu, apa yang sering dikerjakan oleh kedua orang tua angkatnya. Dengan demikian, maka hati gadis itu pada suatu saat akan hancur.” Paksi dan Wijang mengangguk-angguk. Tetapi agaknya sulit bagi Kemuning melepaskan diri dari kedua orang yang sudah dianggap orang tuanya sendiri itu. Nyi Permati agak terlambat menyadari keadaan Kemuning serta hari depannya. “Bagaimana dengan Ki Pananggungan sendiri?” bertanya Paksi. “Bagiku, aku sama sekali tidak berkeberatan jika Kemuning tetap berada disini. Tetapi agaknya keberadaannya disini juga menimbulkan persoalan seperti yang baru saja terjadi tadi ketika Kemuning pergi ke sawah.” “Apakah itu akan menjadi persoalan yang berkepanjangan?” “Mudah-mudahan tidak. Tetapi jarang gadis-gadis padukuhan mempunyai keberanian seperti Kemuning.” “Apa salahnya,” desis Paksi. “Ia akan dapat menarik perhatian banyak orang. Tetapi aku tidak akan berhenti. Aku ingin Kemuning memiliki kemampuan yang akan dapat menjadi pelindung bagi dirinya sendiri.” Paksi mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Wijang, maka Wijang masih sibuk menyuapi mulutnya. Sekali-sekali ia berdesis kepedasan. Tetapi ia masih saja mengambil sambal terasi. Paksi tersenyum melihat bibir Wijang yang merah. Tetapi Wijang memang senang sekali makan sambal. Sementara itu Ki Pananggungan pun berkata, “Aku berharap kau tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Juga kepada Pangeran Benawa aku mohon untuk bersedia tinggal disini untuk beberapa hari.” Wijang mengusap bibirnya yang terasa agak panas. Sekilas ia memandang Paksi yang sedang mengunyah makanannya. Paksi sengaja membiarkan Wijang menjawab lebih dahulu. Setelah meneguk minumannya, maka Wijang itu pun berkata, “Sebenarnya aku tidak berkeberatan, Paman. Kami berdua memang pengembara yang tidak mempunyai tujuan tertentu, sehingga karena itu, kami sama sekali tidak terikat oleh waktu. Tetapi jika Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung datang ke tempat ini, maka suasananya akan dapat berubah.” “Tetapi bukankah keduanya belum mengenal kalian?” “Memang belum, Paman. Tetapi jika mereka mulai memperhatikan kami, maka kemungkinan buruk dapat terjadi.” Ki Pananggungan menarik nafas panjang. Katanya, “Tetapi bukankah keduanya belum pasti akan datang kemari? Seandainya mereka datang kemari, maka demikian mereka datang, kalian berdua dapat meninggalkan tempat ini sebelum terjadi benturan-benturan yang tidak kita kehendaki.” Wijang memandang Paksi sejenak. Katanya, “Terserah kepada Paksi.” Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun berkata, “Bagaimana pendapatmu, jika kita tinggal disini barang dua tiga hari?” Wijang tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku tidak berkeberatan. Tetapi aku harap kau selalu ingat, bahwa banyak orang yang kemudian memburu Pangeran Benawa. Agaknya sikap Harya Wisaka itu menimbulkan gejolak baru bagi para pemimpin perguruan yang terlalu bernafsu untuk memiliki masa depan yang terbaik itu.” Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Maksudmu, tentu Repak Rembulung dan Pupus Rembulung juga sudah mendengar bahwa Harya Wisaka sedang memburu Pangeran Benawa.” “Ya,” jawab Wijang. “Baiklah. Aku tidak akan pernah melupakannya.” “Mudah-mudahan penyamaran Pangeran tidak akan dapat dikenal orang.” “Beberapa orang yang mengenal aku dengan baik berada di pihak Paman Harya Wisaka.” Ki Pananggungan mengangguk-angguk kecil. Sekilas Wijang telah menceriterakan sikap Harya Wisaka yang sedang memburu Pangeran Benawa. “Tetapi apa artinya Harya Wisaka bagi Pangeran Benawa.” “Paman Harya Wisaka tidak sendiri. Ia agaknya telah menguasai sekelompok prajurit pilihan serta prajurit sandi.” “Siapakah yang telah membantu Harya Wisaka itu, Pangeran?” Wijang memang menjadi ragu ragu. Namun kemudian ia pun berdesis, “Yang aku ketahui langsung adalah Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan.” Ki Pananggungan terkejut mendengar nama itu. Di luar sadarnya ia pun bertanya, “Apakah Pangeran tidak keliru?” “Tidak, Paman. Aku dan Paksi melihat langsung. Tidak hanya sekali. Tetapi beberapa kali. Bahkan Paksi pernah dibelikan dawet cendol di pasar.” Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengenal Ki Rangga Suraniti. Sebenarnyalah Pangeran, aku pernah menjadi seorang prajurit di Pajang. Tetapi justru setelah Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu bersama ayahandanya, Ki Gede Pemanahan serta Ki Penjawi, menewaskan Harya Penangsang, aku mengundurkan diri. Meskipun demikian, aku masih sering pergi ke istana. Aku masih akrab dengan beberapa orang prajurit, termasuk Ki Rangga Suraniti. Meskipun aku sudah bukan prajurit, tetapi aku masih sering membantu tugas-tugas sandi. Baru pada saat-saat terakhir ini aku benar-benar ingin beristirahat dan berada di lingkungan keluargaku.” Ki Pananggungan berhenti sejenak. Namun kemudian ia pun melanjutkannya, “Menurut pendapatku, Ki Rangga Suraniti adalah seorang prajurit yang baik. Ia sudah menunjukkan pengabdian yang besar bagi Pajang.” “Sikap seseorang dapat saja berubah, Paman. Tetapi semula aku juga tidak percaya, bahwa Ki Rangga Suraniti bekerja bersama dengan Paman Harya Wisaka memburu Pangeran Benawa.” “Kenapa Pangeran tidak kembali saja ke istana? Bukankah pengembaraan Pangeran dapat dilanjutkan pada kesempatan lain, setelah Pangeran membuat penyelesaian dengan Harya Wisaka?” “Aku tidak tahu, apakah jika hal itu aku sampaikan kepada ayahanda dan para pemimpin di Pajang, mereka dapat mempercayainya. Sementara itu, aku tahu benar, bahwa Paman Harya Wisaka adalah seorang yang licik.” Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Katanya, “Apakah Ki Rangga Suraniti tidak dapat mengenali Pangeran?” “Aku selalu menghindar, Paman. Ki Rangga Suraniti belum pernah melihat aku berkeliaran di sisi selatan kaki Gunung Merapi ini.” “Satu keterangan yang sangat menarik, bahwa Ki Rangga Suraniti terlibat dalam usaha Harya Wisaka. Aku sendiri belum mengenal Harya Wisaka dengan baik. Tetapi aku mengerti, bahwa Harya Wisaka memang seorang yang keras hati. Jika pada tempatnya, keras hati dapat berarti sikap yang baik. Tetapi jika mengetrapkannya keliru, akibatnya seperti tingkah-laku Harya Wisaka itu.” Kisahjejak dibalik kabut adalah sebuah storytelling video kekinian abad ini, spesial persembahan dari Permata TV untuk sahabat tercinta semuanya. Sebuah kis Excellent36Very good38Average13Poor2Terrible7FamiliesCouplesSoloBusinessFriendsMar-MayJun-AugSep-NovDec-FebAll languagesEnglish 96French 130Portuguese 14More languages See what travellers are sayingSort by Detailed Reviews Reviews order informed by descriptiveness of user-identified themes such as cleanliness, atmosphere, general tips and location July 9, 2022 The food was great, service was a touch slow and it was a bit pricey for breakfast. Overall, it was still good. It was definitely convenient being in our hotel and we were checking out to continue our road trip, I would recommend of visit June 2022Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn November 11, 2021 The Bennies and Frittata were very well prepared and very tasty. The service was very good and so handy to have this right in the hotel,Date of visit November 2021Helpful?1 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 30, 2021 Convenient as it’s in the hotel we stayed. A little pricey for breakfast but was very good. Nice portions. Fruit served with breakfast was very good. Coffee just under $3 and it’s ok. Service was greatDate of visit October 2021Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 23, 2021 We had drinks one night and breakfast the next morning. Both were OK though the staff late afternoon preferred speaking among themselves than take care of customers. The morning staff was much better and friendlier. Breakfast was nothing of visit October 2021Helpful?1 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn July 31, 2020 via mobile Very tasty food and dessert, good service, clean , were making sure covid rules are applied . Highly recommendedDate of visit July 2020Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn November 11, 2019 via mobile I've been coming here with colleagues for lunch at least twice a months forma year. Its consistently great with varied lunch specials. Always a great experience and the staff is of visit November 2019Helpful?1 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn November 2, 2019 We had the a la carte breakfast with eggs Benedict which were among the best we've ever had. Excellent homemade jam with the croissants and very efficient and friendsly of visit October 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 14, 2019 We had to wait until 4pm to check in to the hotel, so dropped our bags and popped in here for a pit stop. We were happily surprised and pleased with brunch, so we came back again for a light dinner. Both meals very good,...as well as great service. Definitely a great place to relax and catch of visit October 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 4, 2019 The variety of different foods was great. The muffins were great. All around great breakfast. And located at our of visit September 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 1, 2019 We had Pasta al dente and Pizza which was just great. Not the pizza as to find at Pizza hat - a real Italian pizza providing the small dough, just as it should be. Great and kind of visit September 2019Helpful?2 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 22, 2019 Seems like you wait for a table at breakfast time whether it is busy or not as the restaurant is understaffed- the lady who seats you is the one clearing off and cleaning the tables to get it ready for you! However, once you are...seated, the waitresses/waiters are friendly and helpful. You can definitely split some of the breakfast entrees between 2 people if you add some toast. I also had take out breakfast- coffee and a bagel for $ ordering it was not the easiest as you waited in line along with those patrons waiting to get to the restaurant. Again, however, once it's your turn the staff was friendly and of visit September 2019Helpful?2 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 8, 2019 while on family trip to Quebec city, we ate breakfast at this restaurant. It was very crowded in the morning, there was a 20 minute waiting line. The staff was very helpful and polite. The breakfast options went from the classic 2 eggs, potatoes plate...to the more healthy options like granola and fruit. Complementary coffee is offered but the taste is so so. They have a buffet type breakfast available before 9am, but if you go "a la carte" expect to spend between 15 to 20$.MoreDate of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 3, 2019 This restaurant located next to the lobby of Le Concorde hotel is very convenient for breakfast. The food is OK, service was kind of slow because of the large number of of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 2, 2019 Adequate menu choice, food was full of flavour and average portion sizes. The waitress was very friendly and made us feel welcome. Lovely setting and quiet restaurant, very calm of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 1, 2019 Loved this restaurant for breakfast and to stop for a mid afternoon drink. Sat outside and the view over the plains was lovely. Great service and excellent food with lots of breakfast choices. Highly recommended!Date of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn more reviews

JejakDi Balik KabutKarya S.H. MintarjaAda 40 JIlidAudio book ini untuk mempermudah penggemar cerita silatyang sambil bekerja atau melakukan kegiatan lainnya

Pengarang Mintardja Halaman 30 Jilid Buku ini menggunakan setting waktu pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya di Pajang setelah gugurnya Arya Penangsang dan sebelum upaya Sutawijaya membuka Hutan Mentaok menjadi Kerajaan Mataram. Dikisahkan perjalanan Paksi Pamekas sebagai “anak” Tumenggung Sarpa Biwada yang pada usia yang masih sangat muda 17 tahun ditugaskan oleh “ayahnya” untuk mencari pusaka kerajaan yang hilang, yaitu Cincin bermata tiga yang bersamaan dengan hilangnya Pangeran Benawa dari kerajaan. Dalam pengembaraannya, dia mendapatkan gemblengan ilmu dari “guru” secara tersamar. Bertemu dengan Pangeran Benawa yang menyamar dengan nama Wijang. Perjalanan Paksi Pamekas dan Pangeran Benawa di ladang peburuan pencarian cincin bermata tiga berhadapan dengan berbagai macam perguruan dari golongan hitam. Diantara pemburu cincin tersebut adalah Harya Wisaka yang sebenarnya adalah paman dari Pangeran Benawa. Cincin ini diburu karena tersebarnya berita yang menyebutkan bahwa siapa saja yang mengenakan cincin tersebut akan menurunkan raja yang akan berkuasa di Tanah Jawa. Dalam pengembaraan ini Paksi Pamekas bertemu dengan seorang gadis yang menarik hatinya, Kemuning. Kemuning ini sebenarnya adalah anak angkat salah satu perguruan yang memburu cincin bermata tiga. Setelah Pangeran Benawa pulang dan cincin kembali ke kerajaan dengan terungkapnya upaya pemberontakan Harya Wisaka, maka kisah selanjutnya adalah perburuan Harya Wisaka yang melibatkan Tumenggung Sarpa Biwada sebagai kaki tangan Harya Wisaka. Dalam perburuan ini terungkap bahwa Paksi Pamekas sebenarnya adalah anak tiri dari Tumenggung Sarpa Biwada, sedang ayah kandung sebenarnya adalah Ki Waskita yang menjadi gurunya. Dalam perburuan ini Harya Wisaka semat mengumpulkan anak-anak muda yang berpotensi untuk menjadi pemimpin di masa yang akan datang di bawah bimbingan Ki Gede Lenglengan. Salah satu anak muda tersebut adalah Lajer Laksita yang adik tiri dari Paksi Pamekas. Setelah Harya Wisaka tertangkap, kisah selanjutnya adalah perburuan Paksi Pamekas dan Pangeran Benawa untuk mencari adiknya. Kebesaran Paksi Pamekas yang merelakan wanita yang tadinya diidamkannya untuk diberikan kepada adiknya yang telah menyadari kesesatannya merupakan akhir cerita ini. Jilid 01 Jilid 02 Jilid 03 Jilid 04 Jilid 05 Jilid 06 Jilid 07 Jilid 08 Jilid 09 Jilid 10 Jilid 11 Jilid 12 Jilid 13 Jilid 14 Jilid 15 Jilid 16 Jilid 17 Jilid 18 Jilid 19 Jilid 20 Jilid 21 Jilid 22 Jilid 23 Jilid 24 Jilid 25 Jilid 26 Jilid 27 Jilid 28 Jilid 29 Jilid 30 Tamat JejakDi Balik KabutCerita karya Singgih Hadi MintardjaBuku ini menggunakan setting waktu pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya di Pajang setelah gugurnya
JEJAK DI BALIK KABUT Karya Mintardja Gambar Kulit Kentardjo Illustrasi Drs. Sudyono Jilid 40 Jilid Ukuran Kertas A5 Jumlah halaman 80 Cetakan Pertama 1991 RINGKASAN CERITA Buku ini menggunakan setting waktu pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya di Pajang setelah gugurnya Arya Penangsang dan sebelum upaya Sutawijaya membuka Hutan Mentaok menjadi Kerajaan Mataram. Dikisahkan perjalanan Paksi Pamekas sebagai “anak” Tumenggung Sarpa Biwada yang pada usia yang masih sangat muda 17 tahun ditugaskan oleh “ayahnya” untuk mencari pusaka kerajaan yang hilang, yaitu Cincin bermata tiga yang bersamaan dengan hilangnya Pangeran Benawa dari kerajaan. Dalam pengembaraannya, dia mendapatkan gemblengan ilmu dari “guru” secara tersamar. Bertemu dengan Pangeran Benawa yang menyamar dengan nama Wijang. Perjalanan Paksi Pamekas dan Pangeran Benawa di ladang peburuan pencarian cincin bermata tiga berhadapan dengan berbagai macam perguruan dari golongan hitam. Diantara pemburu cincin tersebut adalah Harya Wisaka yang sebenarnya adalah paman dari Pangeran Benawa. Cincin ini diburu karena tersebarnya berita yang menyebutkan bahwa siapa saja yang mengenakan cincin tersebut akan menurunkan raja yang akan berkuasa di Tanah Jawa. Dalam pengembaraan ini Paksi Pamekas bertemu dengan seorang gadis yang menarik hatinya, Kemuning. Kemuning ini sebenarnya adalah anak angkat salah satu perguruan yang memburu cincin bermata tiga. Setelah Pangeran Benawa pulang dan cincin kembali ke kerajaan dengan terungkapnya upaya pemberontakan Harya Wisaka, maka kisah selanjutnya adalah perburuan Harya Wisaka yang melibatkan Tumenggung Sarpa Biwada sebagai kaki tangan Harya Wisaka. Dalam perburuan ini terungkap bahwa Paksi Pamekas sebenarnya adalah anak tiri dari Tumenggung Sarpa Biwada, sedang ayah kandung sebenarnya adalah Ki Waskita yang menjadi gurunya. Dalam perburuan ini Harya Wisaka semat mengumpulkan anak-anak muda yang berpotensi untuk menjadi pemimpin di masa yang akan datang di bawah bimbingan Ki Gede Lenglengan. Salah satu anak muda tersebut adalah Lajer Laksita yang adik tiri dari Paksi Pamekas. Setelah Harya Wisaka tertangkap, kisah selanjutnya adalah perburuan Paksi Pamekas dan Pangeran Benawa untuk mencari adiknya. Kebesaran Paksi Pamekas yang merelakan wanita yang tadinya diidamkannya untuk diberikan kepada adiknya yang telah menyadari kesesatannya merupakan akhir cerita ini. DJVU. 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 Lereng Gunung Kawi, Agustus 2011
Jejakdi Balik Kabut. Due to a planned power outage on Friday, 1/14, between 8am-1pm PST, some services may be impacted.
Wijang termangu-mangu sejenak, tetapi kemudian berkata, “Kali ini aku mempercayaimu. Kami akan mencarinya di tempat lain. Waktu yang diberikan oleh Eyang Resi Sapu Geni tidak terlalu panjang.” “Resi Sapu Geni?” ulang Repak Rembulung. “Aku belum pernah mendengar nama itu.” “Tentu,” potong Wijang, “kau hanya tahu nama-nama Perguruan Tegal Arang, Goa Lampin, Umbul Telu, dan perguruan-perguruan kecik lainnya.” Repak Rembulung mengerutkan dahinya. Katanya, “Apakah maksudmu dengan perguruan kecik?” “Perguruan sebesar kecik. Kecik memang terlalu kecil dibandingkan dengan kentos salak.” “Ternyata kalian terlalu sombong, anak-anak muda.” “Jika kami tidak sombong, maka kami tidak akan melibatkan diri dalam pertempuran ini.” “Baik, baik,” Repak Rembulung mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi sebenarnya aku merasa sayang sekali melihat sikap dan kelakuan kalian.” “Kenapa?” “Kalian masih terlalu muda untuk terdampar dalam kehidupan seperti ini.” “Maksudmu?” “Kau mempunyai masa depan yang cerah dengan ilmu yang tinggi.” “Ya. Aku yakin itu,” jawab Wijang. Repak Rembulung tertawa. Katanya, “Kau memang terlalu yakin akan dirimu. Tetapi kau benar. Jika kalian berdua tidak sombong, maka kalian tidak akan terjun ke dalam pertempuran ini.” “Ya.” “Tetapi justru itulah yang kami maksudkan. Kenapa kalian yang muda, yang yakin akan kemampuan diri dan mendambakan hari depan yang cerah, tersekap dalam kehidupan seperti ini.” “Kehidupan seperti apa?” “Menurut kalian sendiri, kalian berasal dari Perguruan Goa Lampin. Namun kemudian kalian menganggap bahwa kami, dari perguruan kecik hanya mengenal perguruan-perguruan kecik lainnya, antara lain kau sebut pula Goa Lampin.” Wijang mengerutkan dahinya. Sementara Pupus Rembulung berkata, “Anak-anak muda, siapa pun kalian, tetapi kalian adalah anak-anak muda yang aneh bagi kami. Meskipun sejak semula kami yakin, bahwa kalian bukan orang-orang dari Goa Lampin, bahkan bukan pula pengikut orang yang bernama Ki Sapu Geni, namun sikap kalian mencemaskan kami.” “Kenapa?” bertanya Wijang. “Mudah-mudahan kalian tidak bersungguh-sungguh dan berusaha mengelabuhi dengan kekasaran kalian yang berlebih-lebihan itu. Tetapi seandainya kalian benar-benar larut dalam dunia seperti ini, maka kami sangat menyayangkannya.” “Lalu, apa yang sebaiknya harus kami lakukan?” “Kalian dapat memanfaatkan kemampuan kalian untuk kepentingan yang lebih berarti. Maksudku, seandainya kalian ada di dalam satu lingkungan, apakah itu Goa Lampin, atau pengikut Resi Sapu Geni, atau dari perguruan-perguruan gelap lainnya, maka hidup kalian tidak akan berarti apa-apa.” Wijang tertawa. Katanya, “Kalian dapat berkata seperti itu, tetapi apa yang kalian lakukan? Apakah kalian menginjak jalan kebenaran dengan sikap kalian?” “Aku sudah mengira, bahwa kau akan mengikuti keberadaan kami dalam dunia kami sekarang ini,” jawab Pupus Rembulung. “Kami memang tidak akan dapat ingkar bahwa kami telah tenggelam dalam dunia yang pekat ini. Justru karena itu aku dapat mengatakan bahwa sebaiknya kalian mencoba melihat kepada diri kalian sendiri, apa yang sekarang sedang terjadi atas diri kalian. Seandainya kami masih semuda kalian, maka kami akan berpikir ulang untuk menerjuni dunia seperti yang kami rambah sekarang. Tetapi kesadaran kami datang terlambat. Karena itulah, aku ingin memperingatkan kalian, agar kesadaran kalian tidak datang terlambat.” Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Wijang pun tertawa. Katanya, “Kalian berdualah yang aneh. Kalian sebaiknya menasehati diri kalian sendiri.” Tetapi Pupus Rembulung itu tertawa pendek. Katanya, “Baiklah, anak muda. Segala sesuatunya memang terserah kepada kalian sendiri. Apakah kalian juga akan menjadi seorang petualang seperti kami, seperti orang-orang Tegal Arang, Umbul Telu dan barangkali aku juga dapat menyebut Goa Lampin atau Resi Sapu Geni, atau seorang lurah prajurit. Hari depan kalian adalah milik kalian sendiri. Bentuklah menurut selera kalian.” Wijang termangu-mangu sejenak, sementara Paksi justru diam membeku. “Sekarang, biarlah aku melanjutkan perjalanan. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas dua hal. Pertama, kalian telah membantu kami, karena kalian tidak mau melihat pertempuran yang tidak adil. Kedua, kalian percaya bahwa Pangeran Benawa tidak berada di tangan kami,” berkata Pupus Rembulung. Wijang tidak menyahut. Sementara Repak Rembulung berkata, “Semoga kalian tidak bertemu dengan Pangeran Benawa.” “Kenapa?” “Akibatnya tidak akan baik bagi kalian berdua.” “Kenapa?” “Berhasil atau tidak berhasil, pengaruhnya akan sangat buruk bagi kalian berdua.” “Kalian takut aku berhasil menangkapnya lebih dahulu?” “Aku takut bahwa segala-galanya akan berhasil bagi kalian,” jawab Repak Rembulung. “Omong kosong. Seberapa pun tinggi ilmu Pangeran Benawa, tetapi ia manusia juga seperti kami. Kami berdua akan dapat melumpuhkannya.” “Jika kalian berhasil, maka pengaruhnya pun tidak akan kalah buruknya.” “Maksudmu?” “Kalian tidak akan pernah hidup tenang. Kalian akan diburu oleh orang-orang yang menginginkan cincin itu. Apakah cincin itu masih tetap ada pada kalian atau tidak. Termasuk Harya Wisaka. Di samping itu, keluarga istana yang kehilangan pangerannya akan memburu kalian seperti memburu tupai.” “Apakah hal seperti itu tidak terjadi pada orang lain? Pada kalian berdua misalnya, seandainya kalian berhasil menangkap Pangeran Benawa.” “Hidup kami sudah kami pertaruhkan. Nama kami sudah terlanjur dilengkapi lumpur. Tetapi kalian belum. Kalian masih muda dan berhari depan panjang, jika kalian sendiri tidak menjerumuskan diri ke dalam kesulitan sehingga umur kalian menjadi pendek. Kalian masih mempunyai banyak kesempatan untuk membentuk diri sendiri. Apakah kalian benar-benar akan menjadi budak di Goa Lampin atau pengikut Sapu Geni atau kalian akan memilih menjadi seorang lurah prajurit atau seorang bebahu sebuah padukuhan. Dengan kemampuan yang tinggi, kalian akan dapat melindungi rakyat padukuhan kalian dari tindak kejahatan.” Wajah Wijang menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Cukup. Sekali lagi aku katakan, nasehati diri kalian sendiri.” “Baik, anak-anak muda. Kami juga akan menasehati diri kami sendiri. Selamat.” Repak Rembulung dan Pupus Rembulung kemudian meninggalkan Wijang dan Paksi yang berdiri termangu-mangu. Mereka berjalan dengan tanpa menaruh kecurigaan kepada Wijang dan Paksi jika saja mereka akan berbuat licik. “Orang-orang aneh,” desis Wijang kemudian. Paksi pun menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Marilah kita tinggalkan tempat ini. Mungkin sesuatu akan dapat terjadi jika kita masih berada disini. Orang-orang yang baru saja mencegat Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu tentu akan datang kembali.” Paksi memandang orang-orang yang terluka itu. Namun ia tidak berkata apa-apa kepada mereka. Segala sesuatu memang terserah kepada kawan-kawan mereka. Sambil melangkah, Paksi pun berdesis, “Nampaknya orang-orang yang ingin merampok uang itu telah menggiring kita untuk menyaksikan keanehan sifat Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.” “Ya. Jika mereka tidak memaksa kita untuk berbelok, kita tidak akan sampai ke tempat ini. Kita tidak akan mempunyai kesan yang membingungkan tentang Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Kita melihat satu sisi yang keras dan kasar dari kedua orang itu, tetapi di sisi lain, kita masih bisa melihat kelembutan tingkah laku mereka. Mereka mengobati orang yang dilukainya, mereka mengucapkan terima kasih kepada kita dan yang aneh, mereka menasehati kita.” Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Di antara orang-orang dari perguruan yang hitam itu, Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tampak semakin hitam. Tetapi disini kita melihat ia dalam ujud dan sifat yang lain.” “Aku tidak mengerti,” desis Wijang. Namun Paksi pun berdesis, “Apakah keduanya mengetahui bahwa mereka telah berhadapan dengan Pangeran Benawa sendiri, sehingga mereka menunjukkan sikap yang telah disaputnya menjadi menjadi lembut dan bijak?” “Agaknya tidak. Mereka tidak tahu dengan siapa mereka berbicara. Jika mereka menyadari bahwa mereka berhadapan dengan Pangeran Benawa tanpa sisi yang lain dari sifat-sifat mereka, maka mereka akan berusaha menangkapnya.” “Tetapi mereka menyadari, bahwa orang yang dianggapnya Pangeran Benawa itu mempunyai ilmu yang tinggi.” “Tetapi mereka tentu tidak akan dengan mudah melepaskan kesempatan itu. Apalagi mereka belum meyakini bahwa kemampuan kita tidak akan dapat mereka kalahkan. Mereka hanya sempat melihat bagaimana kita bertempur tanpa mengenali ilmu kita yang sebenarnya.” Paksi mengangguk-angguk. Keduanya pun berjalan semakin menjauhi medan. Tetapi mereka tidak berniat untuk mengikuti Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Namun sambil berjalan di antara gerumbul-gerumbul perdu mereka masih saja membicarakan kedua orang suami istri yang aneh itu. Dalam pada itu, terik matahari semakin menyengat. Di hadapan mereka membentang hutan yang membujur panjang. Sedang di arah lain, sawah yang bersusun nampak hijau ditumbuhi batang padi yang subur. Nampaknya itu bukan sekedar sawah tadah hujan. Air yang jernih mengalir di parit-parit yang terjadi secara alami, menuruni kaki Gunung Merapi, sehingga sawah yang tersusun itu tidak akan kekurangan air di segala musim. Dalam pada itu, Wijang dan Paksi pun merasa bahwa mereka harus menjadi semakin berhati-hati. Mereka sudah mulai bersinggungan dengan orang-orang yang memburu mereka, terutama Pangeran Benawa. Meskipun ia masih belum dapat dikenali oleh orang-orang yang dikenalinya, namun keduanya mencemaskan bahwa pada suatu saat mereka tidak akan dapat menghindar lagi. Ketika hal itu mereka bicarakan, maka Wijang pun berkata, “Apa boleh buat. Aku sudah mengambil keputusan untuk mengambil pengembaraan ini meskipun tujuanku semula masih belum dapat aku lakukan dengan baik.” “Apakah keadaan istana Pajang itu sedemikian menjemukan bagi Pangeran, sehingga Pangeran segan untuk pulang?” “Pertanyaanmu aneh, Paksi. Bukankah sudah aku katakan, jika aku pulang membawa cincin ini, maka cincin ini akan hilang. Selebihnya darimana aku dapat melihat kehidupan yang sebenarnya dari masyarakat Pajang jika aku tetap berada di istana?” “Tetapi apakah kejemuan Pangeran di istana itu bukan satu dorongan yang kuat bagi Pangeran untuk meninggalkan istana?” “Ya. Bukankah hal itu juga sudah pernah aku katakan kepadamu? Tetapi sudahlah, kita akan meneruskan pengembaraan kita.” Paksi pun kemudian tidak bertanya lagi tentang niat Pangeran Benawa untuk melanjutkan pengembaraan. Bahkan sebenarnya Paksi memang berharap agar Pangeran Benawa itu mengambil keputusan yang demikian, sehingga ia akan mendapatkan kawan dalam pengembaraan itu. Namun yang kemudian justru bertanya adalah Pangeran Benawa, “Paksi, bagaimana dengan kau sendiri? Apakah kau tidak berniat untuk pulang? Jika kau ingin membawa cincin bermata tiga itu, bawalah. Berikan kepada ayahmu. Apakah benar ayahmu akan menyerahkan kepada Ayahanda Sultan atau tidak.” “Aku tidak mau bermain-main dengan benda yang sangat berharga itu. Jika permainan itu berakibat buruk, maka aku akan menyesal sepanjang hidupku.” Wijang tersenyum. Namun ia pun bertanya, “Berakibat buruk apa maksudmu?” “Jika ayah tidak mau menyerahkan cincin itu ke istana, maka akibatnya akan sangat buruk baginya.” Wijang justru tertawa. Katanya, “Kau teringat kepada kedua orang yang menginginkan cincin itu?” “Ya. Pangeran telah membuat aku berdebar-debar ketika Pangeran menyerahkan cincin itu kepada mereka.” “Dan kau cemas bahwa aku akan memperlakukan ayahmu seperti mereka? Tentu tidak mungkin, Paksi. Kau tentu akan marah. Dan kau tentu akan membunuh aku.” “Mungkin aku dapat membunuh Pangeran, jika tangan dan kaki Pangeran diikat lebih dahulu dengan Janget Kinatelon.” Wijang tertawa. Suaranya lepas menghambur menggetarkan udara lereng Gunung Merapi itu. Tetapi lingkungan itu ternyata sepi. Tidak ada seorang pun yang mendengar suara tertawa Pangeran Benawa. Keduanya pun kemudian berjalan terus. Namun mereka mulai menggeser arah untuk menemukan jalan yang lebih baik dari sebuah padang yang banyak ditumbuhi gerumbul-gerumbul perdu yang bahkan kadang-kadang semak-semak berduri. Ketika mereka menemukan sebuah jalan, maka matahari telah condong ke barat. Cahayanya masih terasa menyengat kulit. Namun keduanya berjalan terus meskipun tidak terlalu cepat. Namun tiba-tiba Wijang pun berkata, “Nampaknya di depan itu sebuah padukuhan yang cukup besar.” “Ya,” Paksi mengangguk-angguk. “Kita akan singgah. Apakah kau tidak lapar?” Paksi tersenyum. Namun Wijang itu pun berkata dengan nada tinggi, “Kau tentu tidak lapar.” “Aku juga sudah lapar,” jawab Paksi. “Kenapa kau tidak pucat?” “Apakah kau juga pucat?” “Aku tidak dapat melihat wajahku sendiri.” “Apakah kita harus mencari blumbang dan melihat kita di dalamnya?” “Pokoknya kita lihat, apakah di padukuhan di depan ada kedai atau tidak.” Paksi tertawa. Katanya, “Nampaknya kau kelaparan.” Wijang mengangguk sambil menjawab, “Aku tidak pernah merasa kelaparan seperti sekarang. Aku tidak tahu kenapa.” Keduanya pun kemudian mempercepat langkah mereka memasuki padukuhan di depan mereka. Padukuhan yang memang agak besar. Demikian mereka memasuki regol padukuhan, maka keduanya pun yakin, bahwa di dalam padukuhan itu tentu terdapat kedai yang memadai. Sebenarnyalah, ketika mereka sampai di sebuah simpang empat di dalam padukuhan itu, mereka mendapatkan sebuah kedai nasi yang masih dibuka. Di sebelahnya sebuah kedai yang lain, yang menjual kebutuhan sehari-hari serta keperluan dapur. Ternyata tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah pasar hewan yang sudah sepi. Nampaknya hari itu memang bukan hari pasaran. Meskipun demikian, di sebelah pasar itu justru masih nampak kesibukan perdagangan. Agaknya padukuhan itu adalah penghasil kelapa dan gula kelapa yang cukup besar, sehingga di sebelah pasar hewan itu terdapat tiga empat pedati yang sedang memuat kelapa dan gula kelapa. Dengan demikian, maka tempat itu masih terhitung ramai meskipun matahari sudah menjadi semakin condong. Kedai yang masih dibuka itu masih juga dikunjungi beberapa orang. Sementara itu, kedua kedai yang lain agaknya sudah lebih dahulu ditutup. Wijang dan Paksi pun kemudian memasuki kedai yang masih dibuka itu. Mereka segera mencari tempat di sudut, sehingga mereka tidak akan merasa terganggu oleh mereka yang keluar masuk kedai itu. “Hati-hatilah dengan kampilmu,” desis Wijang. “Nanti ada orang yang menginginkannya lagi.” Paksi memandang ke sekitarnya. Kedua orang duduk di sudut yang lain. Tiga orang di dekat pintu dan dua orang lagi justru duduk menghadap ke tempat pemilik kedai itu menyiapkan pesanan-pesanan para pembelinya. Sejenak kemudian, maka Wijang pun telah memesan minuman dan makanan bagi dirinya sendiri dan bagi Paksi. “He, kau pesan apa untukku?” “Pokoknya kita memesan minuman dan makanan yang sama. Nasi pecel, telur rebus dan ikan goreng.” “Ikan apa?” “Apa saja yang ada. Gurameh, lele, sepat atau bahkan wader.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menolak. Ia juga senang makan nasi pecel asal tidak terlalu pedas. Ketika kemudian Paksi menikmati pesanan itu, maka tiba-tiba saja Wijang menggamitnya. Katanya, “Berhati-hatilah. Nampaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan kita.” “Darimana kau tahu?” “Dua orang berhenti di depan pintu. Nampaknya mereka memperhatikan kita berdua. Berbisik-bisik dan kemudian pergi.” “Kita nikmati saja minuman dan makanan ini lebih dahulu,” jawab Paksi. “Aku setuju,” sahut Wijang. Namun ketika Paksi menghabiskan satu mangkuk nasi, ia merasa cukup kenyang. Karena itu, ketika Wijang menambah lagi, Paksi menggeleng. Katanya, “Aku belum lapar sekali. Bukankah tadi kita sudah makan?” “Aku tidak ingat lagi. Yang penting aku harus makan karena aku lapar.” Paksi tersenyum. Sebuah pertanyaan timbul di dalam hatinya, apakah di istana Pangeran Benawa dapat makan senikmat itu. Beberapa saat kemudian, keduanya pun sudah selesai. Wijang mengelus perutnya sambil berkata, “Kau benar, Paksi. Ternyata aku merasa terlalu kenyang.” “Belum lagi jika kau habiskan wedang sere serta beberapa potong makanan yang disediakan itu.” Wijang menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kau ingin perutku meledak?” Paksi tertawa. Namun suara tertawanya pun patah ketika ia juga melihat dua orang yang bergeser ketika ia mengangkat kepalanya. “Aku melihat mereka,” desis Paksi tiba-tiba. “Mereka siapa?” “Dua orang yang tadi kau lihat,” jawab Paksi. Namun tiba-tiba saja wajahnya nampak tegang. Katanya, “Rasa-rasanya aku mengenal mereka.” “Kau mengenal mereka?” bertanya Wijang dengan dahi yang berkerut. “Setidak-tidaknya salah seorang dari mereka.” Wijang menarik nafas dalam-dalam. “Sekarang giliranmu. Aku kira mereka memperhatikan aku.” Paksi pun kemudian bertanya, “Apakah kau tidak akan memesan apa-apa lagi?” “Kau kira perutku tidak akan pernah kenyang?” Paksi masih sempat senyum. Kemudian bertanya, “Marilah, kita tinggalkan tempat ini. Mungkin di luar beberapa orang sudah menunggu kita.” “Kita harus mempersiapkan diri.” Paksi pun kemudian membayar harga makan dan minum mereka sambil minta diri kepada pemilik kedai itu. Ketika keduanya keluar dari kedai, maka mereka pun memperhatikan keadaan di sekitar kedai itu. Beberapa orang memang nampak berjalan lewat jalan di depan dan di sebelah kedai itu. Namun Paksi tidak melihat orang yang rasa-rasanya sudah dikenalnya itu. “Orang-orang itu sudah pergi,” desis Wijang. “Ya. Tetapi tentu tidak jauh dari kita.” Keduanya pun kemudian melangkah meninggalkan kedai itu, sementara Paksi bertanya, “Kita akan pergi kemana?” “Ke selatan. Pokoknya ke selatan,” jawab Wijang. Paksi menarik nafas panjang. Katanya, “Ya. Pokoknya kita pergi ke selatan.” Demikianlah keduanya pun melangkah semakin jauh dari kedai itu. Namun sebelum mereka terlalu jauh, maka mereka pun mendengar keributan di belakang rumpun bambu yang tumbuh di sebuah halaman yang agak kosong. Pendengaran mereka yang tajam segera mengetahui, bahwa telah terjadi pertempuran di belakang rumpun bambu yang lebat itu. Keduanya pun dengan serta-merta telah meloncat melingkari rumpun bambu itu. Keduanya tertegun ketika mereka melihat pertempuran yang sengit. Dua orang melawan seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi ternyata bukan hanya mereka berdua sajalah yang telah mendengar suara ribut di belakang rumpun bambu itu. Beberapa orang yang lain pun telah berdatangan, seorang demi seorang. Tetapi tidak seorang pun segera berani melerai pertempuran yang sengit itu. Paksi yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Salah seorang yang bertempur berpasangan itu pernah dikenalnya. Tetapi seorang yang lain belum. Namun pertempuran itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba saja seorang dari mereka yang bertempur berpasangan itu terlempar dari arena. Sebuah luka yang panjang menganga di dadanya. Yang seorang lagi masih berusaha untuk bertahan. Tetapi sebelum Paksi dan Wijang sempat berbuat sesuatu, maka orang itu pun telah terpelanting pula. selain luka di lehernya, maka kepala orang itu telah membentur sebuah batu yang cukup besar, sehingga orang itu langsung terbunuh. Dengan cepat Paksi berjongkok di sebelah orang yang pernah dikenalnya. Sambil mengguncang orang itu, Paksi berdesis, “Paman, Paman Derpa.” Orang yang terluka itu pun berusaha untuk memperhatikan anak muda yang menyebut namanya. Dengan suara yang lemah orang itu pun kemudian berdesis, “Angger Paksi.” “Ya, Paman.” “Menyingkirlah. Orang itu sangat berbahaya bagimu.” “Kenapa? Dan kenapa Paman sekarang berada disini?” “Aku mendapat perintah dari ibumu untuk mencari Angger. Sudah setahun lebih kau meninggalkannya. Ibu ingin kau segera pulang. Berhasil atau tidak berhasil.” Paksi tidak segera menjawab. Sementara orang itu berkata, “Tetapi agaknya ayahmu berkeberatan, Ngger. Kau baru boleh pulang jika kau bawa apa yang dipesankan oleh ayahmu.” Paksi mengangguk-angguk. Namun ia pun bertanya, “Apa hubungannya dengan orang itu, Paman?” “Orang itu adalah seorang dari mereka yang mendapat perintah dari ayahmu. Mereka juga harus mencari benda yang diinginkan oleh ayahmu itu. Tetapi mereka juga mendapat tugas untuk mencarimu.” “Apakah yang dikehendaki oleh ayah?” Sebelum Derpa menjawab, orang yang telah melukainya itulah yang menjawab sambil tertawa, “Kau harus menemukan benda itu. Jika tidak, lebih baik aku habisi sama sekali.” “Itukah pesan ayahku, atau kehendakmu sendiri.” “Aku berhak menentukan.” Namun Derpa yang terluka parah itu berdesis, “Ayahmu memang tidak menghendaki kau segera pulang.” “Kenapa, Paman? Kenapa?” “Aku tidak tahu, Ngger.” “Paman. Paman,” Paksi mengguncang orang itu. Tetapi Derpa sudah menutup matanya untuk selama-lamanya. Jantung Paksi bagaikan tersulut api. Ia pun segera bangkit berdiri, memandang orang yang membunuh Derpa itu dengan mata yang menyala. “Kau telah membunuh Paman Derpa.” Orang itu tertawa. Katanya, “Kedua orang itu sangat menjengkelkan. Ia adalah budak-budak ibumu yang setia, kesetiaan mereka adalah kesetiaan yang buta. Aku sudah memperingatkan mereka mengurungkan niatnya mencarimu. Tetapi mereka tidak mau mendengarkannya.” “Apakah sebabnya kau melarangnya? Apakah mereka merugikanmu sehingga kau bunuh mereka.” “Tentu. Aku mendapat tugas dari ayahmu, agar kau tidak pulang sebelum kau berhasil. Bukankah tugas kedua orang tuamu bertentangan dengan tugasku.” “Aku tidak peduli. Aku akan pulang.” Orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Semua akan sia-sia. Jika kau memaksa pulang, maka kau akan mati. Tetapi seandainya kau tidak pulang pun, aku memang akan membunuhmu.” “Kenapa?” “Seorang sainganku akan berkurang. Bukankah kau juga akan mencari cincin itu.” “Kau gila. Kau berada di dalam satu lingkungan yang pekat. Disini ada seribu orang yang sedang mencari cincin itu.” “Aku akan bunuh mereka satu demi satu.” “Siapa kau sebenarnya?” Orang itu memandang Paksi dengan tajamnya. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Siapa pun aku, akibatnya akan sama saja bagimu. Kau akan mati. Itu saja yang perlu kau ketahui.” “Persetan. Kau telah membunuh Paman Derpa dan seorang kawannya. Kau pun harus mati disini.” “He? Aku harus mati? Apakah kau harus membunuh diri?” “Aku akan membuatmu,” geram Paksi. Suara tertawa orang itu bagaikan mengguncang rumpun bambu di sebelahnya. Di sela-sela tertawanya orang itu berkata, “Kau memang lucu, anak manis. Tetapi sangat menjengkelkan karena kesombonganmu. Tetapi pengaruhnya sangat bagus bagiku. Dengan demikian nafsuku membunuh menjadi semakin besar. Sekarang, sebutlah nama ibumu untuk yang terakhir kalinya.” Paksi bergeser menjauhi tubuh Derpa yang terbaring diam. Beberapa orang di sekitar tempat itu menjadi tegang. Mereka berharap anak muda itu menyingkir saja. Tetapi Paksi justru mendekati orang yang memegang sebilah pedang itu. “Apa yang akan kau lakukan, anak muda?” bertanya orang itu. Paksi pun menjawab dengan nada tinggi, “Sudah aku katakan, aku akan membantumu untuk membunuh diri.” Orang itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kau bukan saja sombong. Tetapi kau sudah gila. Bukankah kau lihat, bahwa aku dapat membunuh dua orang yang diutus oleh ibumu mencarimu?” “Ya,” jawab Paksi. “Lalu apa yang dapat kau lakukan?” Paksi justru melangkah mendekat. Katanya, “Bukankah kepalamu masih belum sekeras batu hitam? Tongkatku ini akan memecahkan tulang kepalamu.” “Kesombonganmu sudah berlebihan, anak muda. Sudah waktunya aku membungkam mulutmu.” Paksi sama sekali tidak menjadi gentar. Ia justru semakin mendekati orang yang telah membunuh Derpa. Sementara itu, Wijang sama sekali tidak berusaha untuk mencampurinya. Ia berdiri saja beberapa langkah dari Paksi. Meskipun demikian, ia siap berbuat sesuatu jika diperlukan. Bahkan Wijang sedang memperhatikan seseorang yang berdiri tidak terlalu jauh dari arena pertempuran itu. Agaknya orang itu mempunyai hubungan dengan orang yang telah membunuh Derpa, langsung atau tidak langsung. Karena itu, kecuali mempersiapkan diri jika ia diperlukan untuk membantu Paksi, maka Wijang pun mengawasi orang yang dicurigainya itu. Dalam pada itu, Paksi yang marah itu pun telah bersiap untuk bertempur. Tongkatnya mulai menggelepar di tangannya. Namun orang yang telah membunuh Derpa itu masih saja tertawa. Dengan golok yang besar, yang telah melukai dan bahkan membunuh Derpa, orang itu menuding Paksi sambil berkata, “Kau memang lucu, anak muda. Tetapi orang-orang yang akan mati kadang-kadang memang berbuat aneh-aneh.” Paksi tidak menjawab. Tetapi dengan kecepatan yang tinggi, Paksi yang marah itu telah memukul golok di tangan orang yang menertawakannya itu. Orang itu benar-benar terkejut. Tenaga Paksi ternyata sangat besar, sehingga orang itu tidak dapat mempertahankan goloknya, sehingga golok itu terpelanting jatuh beberapa langkah dari kakinya. Dengan serta-merta orang itu pun bergerak untuk memungut goloknya. Namun tiba-tiba pula ujung tongkat Paksi telah melekat di lehernya. Sekali lagi orang itu terkejut. Ia tidak mengira sama sekali bahwa anak muda itu mampu bergerak demikian cepatnya. Karena itu, maka orang itu pun mengurungkan niatnya untuk mengambil goloknya, karena ujung tongkat yang menekan lehernya itu akan dapat melukainya. Bahkan luka yang parah. “Aku dapat membunuhmu sekarang. Tetapi aku bukan pengecut yang licik. Kau tentu beralasan bahwa aku belum bersiap karena seranganku datang tiba-tiba. Sekarang, ambil golokmu. Kita akan bertempur dengan jujur.” Jantung orang itu bergetar ketika Paksi menarik tongkatnya. Justru karena itu, maka untuk beberapa saat ia berdiri termangu-mangu. Wijang pun mengerutkan dahinya melihat sikap orang yang dicurigainya. Ia tidak melihat bahwa orang itu akan mencoba membantu orang yang telah membunuh Derpa. Meskipun nampak ketegangan di wajahnya, namun ia berdiri saja di tempatnya. Sementara itu, beberapa orang yang lain pun masih juga berkerumun menyaksikan apa yang telah terjadi di belakang rumpun bambu yang lebat di halaman yang kosong itu. “Ambil golokmu,” bentak Paksi. “Kita akan bertempur. Aku tidak peduli apa kau bersenjata atau tidak.” Ketika Paksi mundur beberapa langkah, maka orang itu pun dengan cepat meraih goloknya. Demikian ia berdiri tegak dengan golok di tangannya, maka ia pun menggeram, “Satu penghinaan yang pahit. Tetapi kau akan menyesal dengan kesombongan yang tidak ada taranya ini, anak muda.” “Kita akan bertempur. Aku tidak yakin bahwa ayah menghendaki agar kau membunuhku. Mungkin benar jika ayah ingin aku pulang dengan membawa benda yang dikehendaki. Tetapi niat untuk membunuh itu tentu timbul dari jantungmu yang berbulu itu.” “Bukankah kau dengar, Derpa juga mengatakan bahwa ayahmu tidak ingin kau pulang.” “Ayah tidak ingin aku pulang tanpa membawa benda itu.” “Persetan,” geram orang itu. “Kesombonganmu serta penghinaan ini tidak akan dapat dimaafkan lagi.” “Cukup,” potong Paksi. “Bersiaplah.” Orang itu kemudian bersiap. Sekilas ia memandang Wijang yang berdiri termangu-mangu. Orang itu merasa semakin direndahkan bahwa anak muda yang seorang lagi sama sekali tidak akan berusaha membantu Paksi. “Apakah anak muda ini merasa dirinya sudah memiliki ilmu yang mumpuni?” bertanya orang itu di dalam hatinya. Namun dalam pada itu, Paksi dan Wijang pun mengerti, bahwa orang yang membunuh Derpa itu belum pernah mengenal orang yang bernama Pangeran Benawa. Meskipun orang itu sekali-sekali memperhatikan Wijang, namun perhatiannya yang sekilas itu sekedar untuk meyakinkan, apakah anak muda itu akan melibatkan diri atau tidak. Sejenak kemudian, orang yang bersenjata golok itu telah mulai menyerang. Tetapi orang itu menjadi sangat berhati-hati. Yang dilakukan Paksi adalah isyarat, bahwa anak muda itu adalah anak muda yang berilmu dan mempunyai tenaga dan kekuatan yang besar. Namun bagaimanapun juga orang itu tetap yakin, bahwa ia akan dapat membunuh anak muda itu dalam waktu singkat. Jika goloknya sempat lepas, itu karena ia benar-benar lengah dan tidak menduga bahwa anak muda itu akan menyerang demikian tiba-tiba. Paksi pun kemudian telah memutar tongkatnya pula. Sekali-sekali tongkatnya itu terjulur. Ketika orang yang bersenjata golok itu mencoba dengan tiba-tiba membentur tongkat Paksi, ternyata tongkat itu tidak terlepas dari tangan anak muda itu. Bahkan telapak tangan orang itulah yang menjadi panas. Semakin lama keduanya bergerak semakin cepat. Mereka mulai saling menyerang. Golok di tangan orang itu mulai berputaran, kemudian terayun mendatar mengarah ke leher Paksi. Namun tongkat Paksi pun bergerak mengimbangi kecepatan gerak golok kawannya. Setiap kali golok itu membentur tongkat Paksi, sehingga golok itu tidak pernah dapat menyerang kulit anak muda itu. Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin sengit. Wijang yang memperhatikan pertempuran itu sekali-sekali mengerutkan dahinya. Namun Wijang pun tidak melepaskan perhatiannya kepada orang yang dicurigainya itu. Mungkin saja orang itu menyerang dengan senjata rahasia atau berbuat sesuatu dengan licik. Tetapi nampaknya orang itu benar-benar tidak akan melibatkan diri. Pertempuran antara orang yang telah membunuh Derpa melawan Paksi itu semakin lama menjadi semakin sengit. Ujung tongkat Paksi lah yang kemudian telah berhasil menembus pertahanan lawannya. Ketika golok itu dengan derasnya menyambar ke arah bahu kanan Paksi, maka Paksi pun sempat memiringkan tubuhnya. Demikian golok itu terayun tanpa menyentuhnya, maka dengan cepat Paksi menjulurkan tongkatnya. Ujung tongkat Paksi itulah yang justru mematuk lambung lawannya sehingga lawannya terdorong beberapa langkah surut. Namun ketika sekali lagi Paksi menyerang ke arah dada, orang itu menangkis dengan goloknya. Bahkan sambil berputar, orang itu menyerang dengan ayunan goloknya yang besar itu. Paksi lah yang meloncat surut. Tetapi demikian cepatnya ia bergerak, sehingga dengan satu loncatan panjang, Paksi menjulurkan tongkatnya mematuk dadanya. Sekali lagi orang itu terdorong surut. Namun ia tidak sempat memperbaiki keadaannya. Paksi yang memburunya mengayunkan tongkatnya dengan derasnya memukul ke arah dahi. Orang yang telah membunuh Derpa itu tidak menyerah. Ia mencoba menggeliat menghindari ayunan tongkat lawannya. Orang itu memang berhasil menyelamatkan kepalanya. Tetapi tongkat Paksi telah mengenai pundak kirinya. Demikian kerasnya, sehingga orang itu mengaduh kesakitan. Dengan cepat ia berusaha mengambil jarak. Namun Paksi tidak memberinya kesempatan. Anak muda yang marah itu memburunya terus. Tongkatnya menebas dengan cepatnya. Orang yang masih kesakitan itu tidak sempat mengelak. Lambungnya telah disambar oleh tongkat Paksi. Orang itu gagal menangkis serangan itu dengan goloknya. Ia pun gagal untuk mengelak. Pada saat yang gawat itu, ujung tongkat Paksi telah menukik mengenai perutnya, sehingga orang itu membungkuk kesakitan. Pada saat itulah, tongkat Paksi terayun mengenai tengkuknya. Terdengar orang itu berteriak. Kemudian mengumpat kasar. Namun kemudian orang itu terjatuh berguling di tanah sambil mengerang kesakitan. Paksi pun berdiri termangu-mangu. Orang itu masih menggeliat. Namun jari-jarinya tidak lagi dapat menggenggam goloknya, sehingga goloknya itu pun tergolek sejengkal dari tangannya itu. Perlahan-lahan Paksi melangkah mendekatinya. Bahkan kemudian berjongkok di sampingnya. “Anak iblis,” orang itu mencoba mengangkat kepalanya. Tetapi kepala itu pun terkulai kembali dengan lemahnya. Paksi tidak menyahut. Dipandanginya saja orang yang sudah tidak berdaya itu. Betapapun kemarahan membakar jantungnya, tetapi Paksi tidak dapat sekali lagi mengayunkan tongkatnya mengakhiri hidup orang itu. Meskipun demikian, orang itu keadaannya sudah sedemikian parahnya meskipun ia masih berusaha untuk mengancam, “Aku akan membunuhmu.” “Apa sebenarnya pesan ayahku?” tiba-tiba Paksi bertanya. “Persetan dengan ayahmu,” geram orang itu. “Aku tidak peduli dengan ayahmu. Aku ingin membunuhmu, karena kau akan dapat mengganggu usahaku.” Paksi menggertakkan giginya. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Dipandanginya saja orang yang terbaring sambil mengerang kesakitan itu, namun sambil mengumpat-umpat. Tetapi suaranya semakin lama menjadi semakin lambat. Akhirnya suaranya terdiam. Ternyata bahwa orang yang telah membunuh Derpa dan kawannya itu tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Nafasnya pun kemudian telah terhenti. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Orang yang telah membunuh Derpa dan kawannya itu pun telah dibunuhnya pula. Namun dalam pada itu, ketika Paksi mengangkat wajahnya, ia melihat Wijang dengan cepat melangkah pergi. Paksi tidak tahu, apa yang akan dilakukannya. Karena itu, maka dengan serta-merta ia pun telah mengikutinya. Untuk sesaat ia melupakan tubuh-tubuh yang terbaring diam itu. Orang-orang yang berkerumun pun termangu-mangu. Mereka melihat seorang yang dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Kemudian disusul oleh anak muda yang datang bersama-sama anak muda yang baru saja bertempur dengan membunuh lawannya. Demikian orang itu turun ke jalan, maka Wijang pun menghentikannya. “Tunggulah, Ki Sanak.” Orang itu memang berhenti. Ketika ia memandang berkeliling, maka dilihatnya banyak orang yang berkerumun pula di jalan itu. Sementara itu, Wijang telah berdiri di belakangnya sambil berkata, “Tunggu, Ki Sanak. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan.” Orang itu kemudian memutar tubuhnya dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. “Kenapa kau tidak membantu kawanmu yang terbunuh itu?” “Ia bukan kawanku,” jawab orang itu. “Jadi untuk apa kau mengawasinya?” Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ketika ia melihat Paksi datang pula menyusulnya, maka orang itu pun menjadi semakin gelisah. “Siapakah orang ini?” bertanya Paksi. “Aku curiga kepadanya. Ia mengamati pertempuran itu. Kemudian dengan tergesa-gesa pergi ketika lawanmu terbunuh.” Paksi melangkah mendekat. Dengan nada berat ia bertanya, “Kau juga diupah oleh ayahku?” Orang itu menjadi tegang. Dipandanginya Paksi dan Wijang berganti-ganti. Namun agaknya orang itu juga tidak mengenal bahwa yang dihadapinya itu adalah seorang pangeran. “Kenapa kau diam saja?” bentak Paksi. Orang itu terkejut. Ia memang sedang membuat pertimbangan. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku bukan kawan orang yang terbunuh itu. Tetapi memang aku sedang mengawasinya.” “Kenapa dan untuk siapa kau melakukan pengawasan terhadap orang yang terbunuh itu?” bertanya Paksi. “Aku adalah kepercayaan ayahmu.” “Nah, bukankah orang itu juga bekerja untuk ayahku?” “Ya. Tetapi ia seorang yang tidak dapat dipercaya. Karena itu, aku harus mengawasinya. Aku tahu bahwa orang itu berusaha untuk mengikuti Derpa yang mendapat perintah dari ibumu mencarimu. Sebenarnya ia bertugas untuk mengetahui, hanya mengetahui, apakah kau sudah berhasil mendapatkan benda yang dikehendaki oleh ayahmu itu atau belum?” “Kalau belum?” “Kau harus mencari terus sampai kau dapat menemukannya.” “Jika untuk selamanya aku tidak menemukannya?” “Kau tidak dapat kembali pulang.” “Kalau aku sudah mendapatkannya?” “Kau harus pulang dan menyerahkan benda itu kepada ayahmu.” “Kenapa ia akan membunuhku?” “Ia ingin mendapatkan cincin itu bagi dirinya sendiri.” “Ketika ia mencoba membunuhku, kenapa kau tidak berusaha untuk mencegahnya?” Wajah orang itu menjadi tegang. Dipandanginya kedua orang anak muda itu berganti-ganti. Namun akhirnya ia berkata, “Aku tidak mendapat tugas untuk mencegahnya. Ayahmu tidak akan kehilangan jika kau dibunuh oleh orang itu. Tanpa memikul dosanya, ayahmu akan merasa beruntung atas kematianmu.” “Kenapa? Kenapa ayahku menginginkan kematianku?” “Ayahmu tidak pernah mengupah orang untuk membunuhmu. Tetapi ia sama sekali tidak berkeberatan jika hal itu terjadi.” “Ya, tetapi kenapa?” “Aku tidak tahu.” Wajah Paksi menjadi sangat tegang. Tongkatnya pun kemudian teracu ke dada orang itu. Katanya, “Dengar. Aku dapat melobangi dadamu dengan tongkat ini.” “Aku percaya.” “Jadi, jawab pertanyaanku.” “Aku benar-benar tidak tahu. Aku tidak dapat mencampuri persoalan-persoalan yang menyangkut keluargamu.” “Kau jangan berbohong. Aku dapat membunuhmu,” geram Paksi. “Kau dapat membunuhku. Tetapi aku tidak akan pernah dapat menjawab pertanyaanmu itu.” Jantung Paksi bagaikan membara. Dengan lantang ia pun berkata, “Aku tantang kau bertempur.” Wajah orang itu menjadi semakin tegang. Katanya kemudian, “Aku bukan pengecut. Bahkan aku merasa bahwa ilmuku tidak kalah dari ilmu orang yang telah kau bunuh itu. Tetapi aku juga merasa bahwa aku tidak akan dapat mengalahkanmu. Meskipun demikian, jika kau menghendaki untuk membunuhku dengan cara sebagaimana kau lakukan atas orang yang membunuh Derpa itu, aku tidak akan menolak.” Wijang lah yang kemudian berkata, “Kau tidak usah bertempur lagi, Paksi. Biarlah orang ini menemui ayahmu. Biarlah ia mengatakan apa yang telah terjadi disini. Kematian Derpa dan kawan-kawannya, kematian orang yang telah membunuhnya dan pembicaraanmu dengan orang ini.” “Aku tidak dapat mempercayainya. Ia dapat berbohong dan bahkan dapat memfitnah. Ia dapat mengadu domba antara aku dan ayahku. Aku pun tidak percaya bahwa orang ini tidak mempunyai hubungan dengan orang yang telah terbunuh itu. Semua. Aku tidak percaya semua kata-katanya.” “Aku mengerti,” sahut Wijang. “Tetapi menurut pendapatku, beri kesempatan ia menemui ayahmu. Apa pun yang akan dikatakannya. Pada saatnya kau akan dapat mengerti, apakah orang ini berkata sebenarnya atau tidak. Kita mempunyai banyak waktu untuk memburunya kemana pun ia bersembunyi. Ayahmu akan dapat memberikan petunjuk kemana kita harus mencarinya.” “Anak-anak muda,” berkata orang itu, “kalian harus ingat, bahwa bukan hanya aku yang dapat berbohong. Ayahmu juga dapat berbohong.” “Persetan kau,” geram Paksi. Wijanglah yang kemudian berkata, “Pergilah. Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Tetapi ingat, akibat dari langkah-langkah yang akan kau ambil akan menentukan nasibmu kemudian.” Orang itu tidak menjawab. Sementara Paksi pun berkata, “Baik. Kau mendapat kesempatan kali ini. Tetapi pada suatu saat, kau akan membuat perhitungan dengan aku.” Orang itu masih saja tidak menjawab. Ketika kemudian ia memandang berkeliling, maka orang-orang yang ada di sekitarnya pun memandanginya dengan tegang pula..... “Aku akan pergi,” berkata orang itu kemudian. “Aku akan menemui ayahmu dan mengatakan apa yang telah terjadi disini.” Paksi tidak menjawab. Tetapi Wijang pun berkata, “Pergilah. Kau juga harus mengatakan kepada ayahnya, bahwa ada seribu orang yang sedang mencari benda yang dicarinya. Sulit bagi Paksi untuk dapat menemukannya.” Tiba-tiba saja Paksi memotong, “Tetapi aku akan pulang. Ibuku menginginkan aku pulang. Aku tidak peduli siapa pun juga.” Orang itu tidak menyahut. Sementara Paksi membentak, “Cepat, pergilah.” Orang itu pun menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia bergeser surut. Namun kemudian ia pun melangkah meninggalkan Paksi dan Wijang yang berdiri tegak mengawasinya. “Ia akan bercerita kepada ayahmu,” berkata Wijang. “Ya.” “Ayahmu harus tahu, bahwa kau bukan lagi Paksi sebagaimana saat kau meninggalkan rumahmu.” Paksi termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia berdesis, “Tetapi apakah benar ayah menghendaki kematianku?” “Jangan percaya.” “Setidak-tidaknya ayah tidak menghendaki aku pulang.” “Tentu bukan itu maksudnya,” jawab Wijang. “Ayahmu ingin mendorong agar kau lebih bersungguh-sungguh mencari benda yang diinginkan.” Paksi memandang Wijang sekilas. Namun kemudian katanya, “Kau hanya ingin menenangkan perasaanku. Tetapi kau menangkap ketidakwajaran itu. Aku, sekitar setahun yang lalu, dalam umurku yang baru tujuh belas, aku harus keluar dari rumah untuk mencari jejak cincin yang hilang tanpa bekal ilmu yang memadai. Bukankah itu keputusan gila yang pernah diambil oleh ayahku?” “Sudahlah. Ada tiga sosok mayat yang terkapar di belakang rumpun bambu ini. Nanti kita berbicara lagi.” Paksi pun tiba-tiba teringat kepada Derpa yang telah terbunuh. Ia mengenal orang itu. Derpa sempat berkata kepadanya, bahwa ibunya mengharapkannya pulang. Bersama Wijang ia pun kemudian kembali ke balik rumpun bambu. Beberapa orang masih berkerumun. Empat orang di antara mereka berdiri di sebelah tubuh-tubuh yang terkapar itu. Seorang di antara mereka kemudian memperkenalkan dirinya, “Aku bekel di padukuhan ini, anak muda.” Wijang dan Paksi pun mengangguk hormat. Dengan nada dalam Paksi pun berkata, “Kami mohon maaf, Ki Bekel, bahwa peristiwa ini terjadi di padukuhan ini.” “Beberapa orang saksi mengatakan, bahwa kalian tidak memancing keributan ini. Bahkan kalian merupakan salah satu sasaran dari orang yang ternyata terbunuh itu.” “Ya, Ki Bekel. Aku juga tidak tahu pasti, kenapa tiba-tiba saja orang itu ingin membunuhku.” “Baiklah,” berkata Ki Bekel, “nanti aku berharap, kalian berdua singgah di rumahku. Mungkin kita dapat berbicara tentang beberapa hal yang perlu.” “Baik, Ki Bekel. Tetapi perkenankanlah kami berdua menyelenggarakan penguburan mereka yang terbunuh ini. Namun kami ingin mendapat keterangan, dimana kami dapat mengubur mereka.” Ki Bekel tersenyum. Katanya, “Biarlah orang-orang padukuhan ini membantu kalian, anak-anak muda.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Ki Bekel.” Ki Bekel itu pun kemudian berkata kepada orang yang berdiri di sebelahnya, yang ternyata adalah jagabaya di padukuhan itu, “Perintahkan beberapa orang untuk mengubur mereka, Ki Jagabaya. Aku akan membawa kedua orang anak muda ini ke rumahku.” “Baik, Ki Bekel,” jawab Ki Jagabaya. Namun Paksi pun kemudian berkata, “Tolong, Ki Bekel, pisahkan yang seorang ini dari yang lain. Yang seorang ini justru memusuhi kedua orang yang lain. Aku pun mohon, seorang dari kedua orang ini dapat diberi ciri. Orang ini bernama Derpa.” “Baik, anak muda. Ki Jagabaya akan melakukannya.” “Pada suatu saat, kami akan kembali. Keluarga kedua orang itu tentu ingin melihat kuburan mereka.” “Baik, baik, anak muda.” Demikianlah, Ki Bekel justru membawa Paksi dan Wijang ke rumahnya. Setelah membersihkan diri di pakiwan, maka keduanya pun duduk di pringgitan bersama Ki Jagabaya. “Siapakah kalian berdua itu, anak muda. Dan kenapa kalian sampai kemari? Beberapa orang yang berada di sekitar arena itu mendengar bahwa kalian sedang mencari sesuatu di lingkungan ini yang aku yakini tentu sebuah cincin yang sekarang sedang diburu oleh banyak orang.” “Sebenarnya kami berdua tidak memerlukannya, Ki Bekel. Tetapi ayah kami yang memaksa untuk mencarinya.” “Apakah kalian bersaudara?” “Ya, Ki Bekel. Bukan saudara kandung. Tetapi saudara sepupu,” jawab Paksi. “Nama kalian?” “Namaku Paksi.” “Namaku Wijang, Ki Bekel,” Wijang pun mengangguk hormat. “Yang kalian maksud dengan ayah kalian itu, ayah Angger Paksi atau ayah Angger Wijang.” Tiba-tiba saja Wijang menjawab, “Sebenarnya adalah ayahku, Ki Bekel. Tetapi Paksi juga menyebutnya ayah.” Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Itukah sebabnya, maka ayah kalian itu menginginkan Angger Paksi tidak pulang.” “Kami masih harus menegaskan kebenaran pernyataan itu, Ki Bekel. Sebab sikap ayahku terhadap aku dan Paksi nampaknya tidak ada bedanya.” Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Mungkin ayah Angger Wijang telah memendam perasaannya sejak lama, sehingga pada suatu saat, perasaan itu terungkit. Sementara itu ayah Angger Wijang tidak mempunyai cara dan alasan yang pantas untuk menyingkirkan Angger Paksi.” “Aku tidak yakin, Ki Bekel,” sahut Wijang. “Baiklah. Aku tidak ingin seakan-akan menyelidiki persoalan yang timbul di lingkungan keluarga kalian. Namun yang penting, yang akan aku beritahukan kepada kalian adalah, bahwa banyak orang yang sedang memburu cincin itu. Cincin yang aku dengar telah murca dari keraton. Cincin itu telah hilang dari bangsal pusaka bersama dengan hilangnya salah seorang pangeran di Pajang. Justru Pangeran Benawa.” Wijang dan Paksi hanya mengangguk-angguk saja. “Karena itu, Ngger, aku ingin memperingatkan, bahwa sebaiknya kalian tidak melibatkan diri dalam usaha penemuan cincin itu. Meskipun aku tahu, bahwa ternyata Angger Paksi berilmu tinggi, tetapi kalian hanya berdua. Sementara itu, menurut pendengaranku, beberapa orang sakti dari berbagai lingkungan sedang berkeliaran di sisi selatan Gunung Merapi. Mereka menganggap bahwa sepercik cahaya yang sangat terang, yang turun dari langit, adalah cincin yang hilang itu, yang jatuh di lereng sebelah selatan Gunung Merapi ini. Namun di samping itu, maka mereka pun telah beramai-ramai memburu Pangeran Benawa yang diduga membawa cincin itu pergi dari istana.” “Jadi Pangeran Benawa sendiri telah mencuri cincin itu, Ki Bekel?” bertanya Wijang. “Jangan berkata begitu, Ngger. Bagaimanapun juga Pangeran Benawa adalah seorang pangeran.” “Jadi?” “Tidak seorang pun tahu, apa maksud Pangeran Benawa dengan membawa cincin itu pergi dari istana. Jika banyak orang menganggap bahwa siapa yang mengenakan cincin itu di jarinya, ia akan dapat menurunkan penguasa di tanah ini, maka sebenarnya Pangeran Benawa mempunyai kesempatan terbesar tanpa harus membawa cincin itu pergi.” “Jika demikian, Pangeran Benawa telah memancing pergolakan yang dapat meresahkan banyak orang.” “Sudahlah. Yang penting ingin aku sampaikan kepada kalian berdua, sebaiknya kalian tidak usah melibatkan diri ke dalam pusaran perburuan itu. Kalian dapat menjelaskan hal itu kepada ayah kalian, jika ayah kalian memang telah menugaskan kalian untuk mencarinya.” Kedua orang anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Wijang berkata, “Baik, Ki Bekel. Kami akan meninggalkan tempat ini. Sejak semula memang kami merasa segan untuk melakukannya. Kami sama sekali tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Karena itu, kami berkeliaran saja di lereng selatan Gunung Merapi ini.” “Aku senang kesediaan Angger untuk meninggalkan tempat ini. Aku tidak ingin melihat anak-anak yang masih muda seperti Angger berdua harus terlibat dalam persoalan yang rumit, yang akan merenggut jiwa Angger. Sedangkan sebenarnya masa depan Angger masih panjang dan masih penuh dengan harapan-harapan.” “Ya, Ki Bekel,” jawab Paksi, “kami akan memperhatikan pesan Ki Bekel. Seperti yang dikatakan oleh saudaraku, kami akan segera meninggalkan tempat ini.” “Bukan maksud kami mengusir Angger berdua. Jika Angger berdua masih ingin tinggal disini, aku sama sekali tidak berkeberatan.” “Terima kasih, Ki Bekel. Agaknya kami ingin meneruskan perjalanan kami.” “Angger berdua akan kemana?” “Kami akan mengembara kemana saja, seakan-akan kami sedang mencari cincin itu. Pada suatu hari kami akan pulang dan melaporkan bahwa kami telah gagal.” Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi segala sesuatunya terserah kepada kalian, anak-anak muda. Aku hanya memberikan pertimbangan, karena aku merasa sayang, bahwa masa depan kalian akan patah karena keinginan orang tua kalian yang berlebihan itu” “Ya, Ki Bekel. Kami mengerti,” sahut Wijang. “Kami mengucapkan terima kasih atas nasehat dan petunjuk Ki Bekel.” “Aku juga mempunyai anak seumur kalian. Aku selalu membayangkan masa depan yang baik bagi anakku itu. Aku pun berharap anakku itu berumur panjang.” Namun ketika kemudian Wijang dan Paksi mohon diri, Ki Bekel menahannya. Katanya, “Kami sedang menyiapkan makan untuk kalian berdua.” Wijang dan Paksi berpandangan sejenak. Mereka baru saja makan dan bahkan terlalu kenyang. Karena itu, maka Wijang pun berkata, “Kami mengucapkan terima kasih, Ki Bekel. Tetapi kami berdua baru saja makan menjelang peristiwa itu terjadi. Ketika kami sedang berada di kedai itulah, kedua orang yang sedang mencari kami itu melihat dan selanjutnya justru terlibat dalam pertengkaran dengan orang lain yang juga berkepentingan dengan kami.” “Tetapi tidak baik menolak rejeki, anak-anak muda. Meskipun hanya sedikit, aku minta kalian makan lebih dahulu.” “Sungguh, Ki Bekel. Kami mengucapkan terima kasih. Kami mohon maaf, bahwa kami terpaksa tidak dapat menerima uluran tangan Ki Bekel. Kami bukannya menolak, tetapi agaknya tidak ada tempat lagi di dalam perut kami.” “Tetapi kalian baru saja bertempur. Kalian tentu letih dan seandainya kalian baru saja makan, maka kalian tentu telah menjadi lapar kembali.” “Kami mohon maaf, Ki Bekel.” Kerut dahi Ki Bekel nampak semakin dalam. Agaknya ia menjadi kecewa. Tetapi apaboleh buat. Keduanya masih merasa sangat kenyang. Dengan demikian, maka Wijang dan Paksi pun segera minta diri. Berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada Ki Bekel yang menjadi kecewa. Tetapi Ki Bekel pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Selamat jalan. Mudah-mudahan kalian tidak menjumpai persoalan yang dapat mengganggu perjalanan kalian. Sekali lagi aku ingin menasehatkan, jangan melibatkan diri dalam persoalan yang gawat ini.” Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Hampir berbareng keduanya menjawab, “Baik, baik, Ki Bekel.” Demikianlah, keduanya pun segera meninggalkan rumah Ki Bekel dari padukuhan yang terhitung besar itu. Demikian mereka meninggalkan halaman rumah itu, maka dua orang yang berwajah garang keluar dari ruang dalam. Dengan geram, seorang di antara mereka berkata, “Setan-setan kecil itu menolak untuk makan.” Ki Bekel dengan wajah gelisah menyahut, “Aku sudah mencoba untuk memaksa mereka, tetapi mereka tidak mau.” “Sikapmu tidak meyakinkan,” geram yang lain. “Aku sudah berusaha. Tetapi keduanya memang menolak.” Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi dan berkulit kuning berkata, “Jika saja mereka mau makan, maka racun itu akan membuat mereka menjadi lemah. Kita akan dengan mudah mengakhiri mereka di bulak sebelah.” “Tanpa racun kita akan mengakhiri mereka di pategalan. Tidak di bulak. Itu tentu akan lebih baik. Kemungkinan kecil sekali akan dilihat orang, bagaimana kita membantai kedua anak muda itu.” Namun dalam pada itu, Ki Bekel pun bertanya, “Apa sebenarnya salah mereka sehingga mereka harus dibantai? Bukankah mereka sudah bersedia untuk meninggalkan daerah ini serta tidak lagi ikut memburu cincin bermata tiga itu?” “Mereka tentu berbohong. Aku tidak percaya kepada mereka. Aku menduga bahwa mereka adalah para pengikut Harya Wisaka. Keduanya agaknya sedang memburu Pangeran Benawa. Ilmu mereka nampaknya cukup meyakinkan, sehingga mereka, setidak-tidaknya yang membawa tongkat itu, akan dapat mengganggu tugas-tugas kami. Apalagi jika Harya Wisaka menurunkan orang-orangnya yang lain di daerah ini.” “Mereka tentu bukan pengikut Harya Wisaka. Bukankah jelas bahwa mereka ditugaskan oleh ayah mereka. Bahkan agaknya ada persoalan yang rumit di dalam lingkungan keluarga mereka sendiri. Seorang di antara mereka dengan sengaja diusir dari rumahnya, sehingga perintah untuk mencari cincin itu adalah sekedar untuk menyingkirkannya.” “Mereka hanya berpura-pura.” “Bagaimana mungkin yang dilakukan itu sekedar pura-pura. Tiga orang mati dan sudah dikuburkan. Yang mati itu tidak sekedar pura-pura.” “Kau memang dungu, Ki Bekel,” seorang di antara kedua orang itu membentak. “Orang-orang seperti Harya Wisaka tidak akan merasa sayang mengorbankan orang-orangnya untuk melakukan satu permainan yang rumit. Orang-orang yang saling membunuh itu sendiri tidak menyadari, bahwa mereka tidak lebih dari alat-alat permainan yang diatur oleh Harya Wisaka.” “Permainan yang demikian tentu merupakan permainan yang berlebihan.” “Cukup,” yang lain pun membentak pula. “Kau tidak tahu cara yang diambil oleh Harya Wisaka. Cara yang paling kasar pun akan dilakukannya.” Ki Bekel memang tidak menjawab. Ia sadar, dengan siapa ia berhadapan. Sementara itu, salah seorang dari kedua orang itu pun berkata, “Ingat, Ki Bekel, jika kau tidak ingin padukuhanmu ini hancur, ikuti petunjuk-petunjukku. Aku mempunyai kekuatan yang cukup untuk berbuat apa saja atas padukuhan ini.” Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Jantungnya terasa bergejolak. Tetapi ia tidak dapat melawan kehendak kedua orang itu, karena Ki Bekel menyadari bahwa di belakang kedua orang itu terdapat sebuah kelompok yang berlindung di belakang nama sebuah perguruan yang mempunyai banyak pengikut. Tetapi wajah Ki Bekel itu menjadi pucat ketika salah seorang di antara kedua orang itu berkata, “Marilah, kita susul kedua anak itu.” “Kita hanya berdua?” bertanya yang seorang. “Ki Sampar Angin ada di banjar. Bersama Ki Sampar Angin kita akan dapat menyelesaikan siapa saja.” Kawannya mengangguk-angguk, sementara itu yang lain itu berkata selanjutnya, “Kita berdua akan membunuh seorang di antara mereka. Sedangkan Ki Sampar Angin akan menyelesaikan yang seorang lagi.” Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Jangan terlalu lama.” “Kita akan melakukannya malam nanti.” “Tetapi kita jangan kehilangan jejak.” Keduanya pun kemudian meninggalkan rumah Ki Bekel dengan tergesa-gesa. Namun seorang di antara mereka sempat berkata, “Jangan berbuat aneh-aneh, Ki Bekel. Kakang Wira Bangga akan merasa tidak senang jika kau tidak mau mengikuti petunjuk-petunjukku, apalagi pesan-pesan Kakang Wira Bangga sendiri.” Ki Bekel itu tidak menjawab. Dadanya merasa menjadi sesak. Ia harus menelan kepahitan sikap kedua orang yang berwajah garang itu. Apalagi jika mereka menyebut nama Wira Bangga. Maka bulu-bulu kuduk Ki Bekel menjadi meremang. Sejenak kemudian, kedua orang itu pun telah hilang dari halaman rumah Ki Bekel. Ki Bekel tahu pasti, bahwa keduanya akan pergi ke banjar menjemput orang yang bernama Ki Sampar Angin. Kemudian menyusul kedua orang anak muda yang harus mengalami nasib buruk. Meskipun anak-anak muda itu berbekal ilmu, tetapi apakah mereka mampu menghadapi kedua orang yang garang itu dan apalagi Ki Sampar Angin, kepercayaan Ki Wira Bangga. Tetapi Ki Bekel tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan padukuhannya itu sendiri seakan-akan berada di bawah bayang-bayang Ki Wira Bangga yang setiap saat akan dapat menghancurkannya. Satu-satunya harapan Ki Bekel adalah, kedua orang anak muda itu telah menempuh jalan yang jejaknya tidak dapat diikuti oleh kedua orang berwajah garang yang masih akan singgah di banjar untuk menjemput Ki Sampar Angin. “Kalau saja kedua anak-anak muda itu tahu bahaya yang sedang mengancam mereka,” berkata Ki Bekel di dalam hatinya. Tetapi Ki Bekel pun mengetahui, bahwa jalan ke selatan itu membujur panjang melintasi beberapa padukuhan. Kecuali jika kedua orang anak muda itu berbelok mengambil jalan yang lebih kecil, bahkan lorong-lorong sempit atau jalan setapak. “Jika mereka mengikuti jalan panjang itu, maka mereka tentu akan segera disusul oleh Ki Sampar Angin dengan kedua orang berwajah garang itu,” berkata Ki Bekel dalam hatinya pula. Ada niat untuk menyusul dan memberitahu bahaya yang akan menyusul kedua anak muda itu. Jika ia menunggang kuda, maka dalam waktu singkat kedua orang anak muda itu akan dapat disusulnya. Tetapi Ki Bekel tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Taruhannya bukan sekedar Ki Bekel itu sendiri, tetapi seluruh padukuhannya. Para penghuni padukuhan yang tidak tahu-menahu persoalannya, akan ikut mengalami kesulitan. Karena itu, maka Ki Bekel pun kemudian hanya duduk saja di pringgitan. Kepalanya terasa pening dan keringatnya pun membasahi pakaiannya. Kegelisahan yang sangat telah mencengkam jantungnya. Tiba-tiba saja ia teringat kepada nasi yang telah disediakan bagi kedua orang anak muda yang akan diracunnya. Racun yang lemah, yang akan membuat tenaga kedua orang anak muda itu menjadi rapuh. Namun, yang gagal karena kedua orang anak muda itu menolaknya. “Jika seseorang makan nasi itu, nasibnya akan menjadi sangat buruk,” berkata Ki Bekel yang kemudian tergesa-gesa pergi ke ruang dalam. Nasi itu pun kemudian telah dibawanya ke kebun belakang. Dibuatnya lubang yang agak dalam. Ditaruhnya nasi itu ke dalamnya dan kemudian ditimbunnya rapat-rapat. Dalam pada itu, Wijang dan Paksi telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka memang menyusuri jalan yang panjang yang menuju ke selatan. Keduanya sama sekali tidak berniat untuk keluar dari jalur jalan itu dan mengambil jalan setapak atau lorong-lorong sempit. “Sikap Ki Bekel itu agak aneh,” desis Wijang. “Ya. Aku merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak wajar,” sahut Paksi. “Mudah-mudahan hanya prasangka buruk,” gumam Wijang. Paksi mengangguk-angguk. Meskipun demikian ia pun bergumam, “Rasa-rasanya ia memang mengusir kita dari padukuhannya. Apakah Ki Bekel juga berkepentingan cincin itu?” “Mungkin saja. Justru karena daerahnya pernah dilalui atau bahkan menjadi tempat persinggahan orang-orang yang sedang memburu cincin itu, maka ia pun ikut-ikutan memburunya. Apalagi Ki Bekel merasa bahwa padukuhannya merupakan lingkungan perburuan, setidak-tidaknya lintasan perburuan itu,” sahut Wijang. Paksi tidak segera menyahut. Dipandanginya jalan yang membujur panjang di hadapannya. Sementara itu, matahari pun menjadi semakin rendah. Cahayanya mulai memudar. Panas tidak lagi terasa memanggang tubuh kedua orang anak muda itu. Ketika langit menjadi semakin suram, maka Paksi pun bertanya, “Dimana kita akan bermalam? Apakah kita akan bermalam di banjar padukuhan?” Wijang termangu-mangu sejenak. Katanya, “Padukuhan-padukuhan di jalur ini, nampaknya sangat berhati-hati menanggapi kehadiran orang yang mereka anggap asing. Aku memperhatikan orang-orang di padukuhan-padukuhan yang telah kita lewati. Termasuk padukuhan yang telah menjeratmu dalam pertempuran itu.” “Ya. Aku pun merasakan betapa orang-orang padukuhan memandang kita lewat. Itu tentu karena mereka mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan dari orang-orang yang lewat di padukuhan mereka.” “Kita akan bermalam di tempat yang terbuka saja.” “Di padang perdu.” “Ya. Kita sudah sering bermalam di tempat terbuka.” Keduanya pun kemudian sepakat untuk mencari tempat bermalam sebelum gelap turun, sehingga mereka dapat mengetahui keadaan di seputar tempat mereka bermalam itu. Ketika senja turun, maka mereka telah menemukan tempat yang menurut pendapat mereka cukup baik untuk bermalam. Tidak terlalu dekat dengan hutan. Beberapa buah batu besar berserakan di tempat itu, sehingga mereka akan dapat tidur di atas salah satu batu yang datar. Keduanya pun kemudian telah memilih dua buah batu yang jaraknya tidak terlalu jauh. Mereka pun kemudian telah sepakat untuk bergantian tidur. “Bagaimanapun juga kita berada di daerah yang asing,” berkata Wijang. “Kita harus berhati-hati.” Paksi mengangguk. Katanya kemudian, “Kau sajalah yang tidur dahulu. Aku akan tidur lewat tengah malam.” Wijang tersenyum. Katanya, “Pilihan yang baik.” Paksi pun tersenyum. Katanya, “Kau dapat tidur sekarang.” “Siapa yang dapat tidur di saat seperti ini?” Paksi tertawa. Katanya, “Jika demikian, baiklah. Kita masih punya waktu untuk membersihkan diri. Di sebelah tentu ada sungai. Aku mendengar airnya yang gemericik.” Keduanya pun kemudian telah pergi ke sungai. Pendengaran mereka yang tajam telah menuntun mereka ke sebuah tebing. Namun Wijang pun kemudian berbisik di telinga Paksi, “Jangan letakkan tongkatmu jika kau turun ke sungai.” “Ya. Aku mendengar. Tetapi aku belum melihat sesuatu.” “Aku juga belum. Gelap mulai turun. Berhati-hatilah. Setiap saat bahaya dapat menyergap kita.” Paksi mengangguk kecil. Dengan hati-hati Paksi menuruni tebing sungai. Pendengarannya yang tajam, dengan mengetrapkan ilmu Sapta Pangrungu, Paksi menangkap desir lembut beberapa langkah di sampingnya. Sentuhan tubuh seseorang dengan dedaunan pada gerumbul perdu. Sambil bertelekan tongkatnya, Paksi menuruni tebing. Ia berjalan di depan, sedangkan Wijang berjalan di belakang. Kedua anak muda itu mengurungkan niatnya untuk membersihkan diri. Keduanya hanya duduk saja di atas sebuah batu yang besar sambil berkelakar. Sekali-sekali terdengar suara mereka tertawa meledak dan berkepanjangan. Ketika gelap malam menjadi semakin hitam, keduanya seakan-akan tidak menghiraukannya. Keduanya masih saja berbicara. Bahkan keduanya mulai berteka-teki. Ternyata orang-orang yang menunggu mereka lengah, menjadi tidak sabar lagi. Dengan satu isyarat, tiga orang telah meloncat dari balik gerumbul. Kemudian meluncur menuruni tebing sungai itu pula. Sambil berdiri di tepian yang berpasir dan berbatu-batu, Ki Sampar Angin pun berkata, “Selamat malam, anak-anak muda. Apa yang kalian lakukan disitu?” Wijang dan Paksi tidak terkejut lagi karena kehadiran mereka. Keduanya memandang ketiga orang itu sejenak. Kemudian kedua orang anak muda itu turun dari atas batu yang besar itu. “Selamat malam, Ki Sanak,” desis Wijang. “Siapakah kalian dan apakah kalian ingin bertemu dengan kami?” “Ya,” sahut Ki Sampar Angin. “Kami memang ingin bertemu dengan kalian.” “Untuk apa?” bertanya Wijang pula. Ki Sampar Angin tertawa. Katanya, “Kami sengaja mengikuti perjalanan kalian.” “O.” “Kami ingin mendapatkan cincin bermata tiga itu.” “Cincin apa?” bertanya Paksi dengan serta-merta. “Jangan ingkar. Cincin itu tentu sudah ada pada kalian.” “Aku tidak tahu maksudmu,” geram Wijang. “Jangan berpura-pura. Sekarang berikan cincin itu kepada kami. Kami tidak akan mengusik kalian.” “Kami tidak tahu, apa maksud kalian yang sebenarnya.” “Jangan banyak bicara. Ada tidak ada alasannya kita akan bertempur. Kami akan menghancurkan kalian semuanya dan mengambil cincin itu dari salah seorang dari kalian berdua.” Wijang berpaling kepada Paksi sejenak. Namun dengan sengaja ia menjawab dengan kata-kata yang cukup tajam, “Apa kalian melihat wajah kami bercahaya sehingga kalian menganggap bahwa kami telah menemukan cincin yang sedang diburu itu? Ki Sanak, kami bukan orang-orang tamak seperti kalian. Kami justru menghindari dari lingkungan perburuan ini.” “Kalian akan pergi sambil membawa cincin itu?” bertanya Ki Sampar Angin. “Mimpimu sangat buruk, Ki Sanak.” “Jangan mencoba melawan, karena tidak ada artinya sama sekali. Perlawanan hanya akan menambah kemarahan kami, sehingga kami akan dapat berbuat sesuatu yang tidak pernah kau bayangkan menjelang kematian kalian.” Wijang dan Paksi pun segera teringat pula kepada dua orang yang dengan ringan hati berusaha membunuh mereka. Jika mereka tidak menemukan cincin itu, tidak menjadi apa. Korban yang telah dibunuh itu tidak membebani perasaan mereka sama sekali. “Ki Sanak,” berkata Wijang kemudian, “kami sama sekali tidak berurusan dengan cincin itu.” “Kau kira aku tidak mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang yang telah mati termasuk yang kau bunuh itu.” Wajah Paksi menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Jika kau tahu apa yang kami bicarakan, kau tentu juga tahu, setidak-tidaknya menangkap makna pembicaraan kami, bahwa cincin itu masih belum kami ketemukan.” Ki Sampar Angin tertawa. Katanya, “Mungkin kau memang belum menemukan. Tetapi bukankah kau masih akan mencarinya? Kau atau ayahmu atau siapa pun yang berhubungan dengan kau, menurut perhitunganku adalah orang-orang yang digerakkan oleh Harya Wisaka. Begitu rumitnya permainannya, sehingga kalian menjadi saling membunuh tanpa disadari. Berebut medan dan dahulu mendahului. Ayah kalian itu pun tentu hanya sekedar barang mainan Harya Wisaka sehingga bersedia mengorbankan anak dan kemenakannya.” “Kau mengigau,” geram Paksi. “Permainan yang sangat rumit. Entahlah, apa yang dilakukan oleh Harya Wisaka. Prajurit-prajurit sandi yang selama ini mendapat kepercayaan dari Kangjeng Sultan pun telah menjadi alat permainannya pula. Para bangsawan dan para tumenggung.” “Kau mengigau,” geram Paksi yang jantungnya mulai memanas. “Kau kira kau dapat memperlakukan kami sekehendak hatimu?” “Aku tahu bahwa kau memiliki kemampuan yang baik. Tetapi kau tidak akan dapat melawan kami bertiga. Seorang di antara kalian akan segera dibantai oleh kedua orang kawanku, sedangkan yang seorang lagi akan segera aku cincang sampai lumat.” Wijang dan Paksi memang menjadi tegang. Mereka sadar bahwa orang yang bernama Sampar Angin itu tentu orang yang berilmu tinggi. Sedangkan kedua orang yang lain tentu juga orang-orang yang berbahaya. Bagaimana juga Wijang dan Paksi harus memperhitungkan berbagai macam kemungkinan. Bahkan kemungkinan yang terburuk sekalipun. Betapapun kedua anak muda itu membekali dirinya, namun kemampuan mereka tetap saja terbatas. Dengan demikian, maka mungkin saja orang itu memiliki kemampuan melampaui kemampuan mereka berdua. Tetapi apa pun yang akan terjadi, keduanya harus menghadapinya. Sudah tentu mereka tidak akan dengan suka rela menyerahkan leher mereka untuk dipenggal. Karena itu, maka Wijang pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Apa pun yang terjadi, kami memang harus menghadapi.” Orang itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Tetapi sebelum kami membantai kalian, kami ingin kalian mengetahui serba sedikit tentang kami bertiga. Namaku Ki Sampar Angin. Mungkin kalian sudah pernah mendengarnya. Kedua orang itu kawanku ini adalah Ki Sura Semu dan Ki Prana Gombak. Keduanya adalah orang yang namanya sangat ditakuti. Bukan saja oleh orang kebanyakan, tetapi gegedug di seluruh Pajang pun selalu memperhitungkan kehadirannya. Karena itu, kalian tidak akan dapat memperlakukannya sebagaimana kau lakukan sebagaimana orang yang menyusulmu atas perintah ayahmu dan yang telah membunuh dua orang yang mencarimu atas perintah ibumu itu.” Wijang dan Paksi memang menjadi tegang. Namun mereka tidak ingin kalah sebelum berusaha mempertahankan diri. Karena itu, mereka tidak ingin menghiraukan, siapa pun yang mereka hadapi. Apakah mereka orang-orang sakti yang dapat bersembunyi di balik kabut, atau bahkan dapat terbang di awang-awang. Karena itu, maka Wijang pun menyahut, “Kami akan mempertahankan hidup kami. Kami merasa masih terlalu muda untuk mati.” “Itu adalah ciri dari para pengikut Harya Wisaka. Mereka adalah orang-orang yang tidak kenal menyerah. Mereka baru mengakhiri perlawanan mereka setelah mati. Kesetiaan mereka sampai pada batas kematian. Itulah yang aku kagumi. Bagaimana Harya Wisaka dapat membuat orang-orangnya kehilangan pribadinya dan berserah diri seutuhnya bagi kepentingannya.” “Kenapa kau masih saja mengigau, Ki Sampar Angin. Kami sudah siap untuk mempertahankan diri.” Ki Sampar Angin tertawa. Katanya, “Aku kagumi keberanian kalian. Aku memang iri kepada Harya Wisaka yang mempunyai pengikut setia sampai mati.” Wijang dan Paksi pun tidak menjawab. Apa pun yang mereka katakan tidak berarti apa-apa. Orang itu akan tetap dapat menganggapnya sebagai pengikut Harya Wisaka. Namun mungkin juga karena Ki Sampar Angin dan kelompoknya terlalu cemas terhadap kekuatan Harya Wisaka, sehingga setiap kekuatan yang tidak dikenalnya selalu dihubungkannya dengan apa yang disebutnya sebagai permainan yang digerakkan oleh Harya Wisaka. Tetapi apa pun latar belakang dari Ki Sampar Angin, Wijang dan Paksi harus sangat berhati-hati menghadapi ketiga orang yang berilmu tinggi itu. Sebenarnyalah sejenak kemudian, Ki Sampar Angin pun bergeser selangkah. Kepada kedua orang kawannya ia pun berkata, “Nah, kita sudah terlalu lama berbicara. Sekarang waktunya untuk membunuh mereka.” Kedua orang itu pun bergeser pula. Sementara Wijanglah yang kemudian berdiri tegak untuk menghadapi kedua orang itu. Menurut perhitungannya, kedua orang itu tentu lebih berbahaya dari Ki Sampar Angin meskipun ilmu Ki Sampar Angin tentu lebih tinggi dari Sura Semu dan Prana Gombak. Tetapi jika keduanya bergabung menjadi satu, maka kekuatan dan kemampuan keduanya akan lebih besar dari Ki Sampar Angin. Paksi lah yang kemudian bersiap menghadapi Ki Sampar Angin. Seorang yang nampaknya memiliki bekal ilmu yang tinggi serta pengalaman yang sangat luas. Ki Sampar Angin pun sambil tertawa mulai meloncat menyerang. Tetapi ia menghentikan langkahnya, karena Paksi menyilangkan tongkatnya. Sambil bergeser selangkah Ki Sampar Angin berkata, “Nampaknya tongkatmu adalah senjata andalanmu.” Paksi tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja Ki Sampar Angin melibat Paksi dengan pertempuran yang cepat. Demikian tiba-tiba sehingga Paksi pun terdorong beberapa langkah surut. Ki Sampar Angin kemudian berdiri di atas batu sambil berkata, “Nah, kau harus menyadari, bahwa bobot ilmuku tidak sekedar sejajar dengan bobot ilmu orang yang telah kau bunuh itu.” “Ya,” jawab Paksi, “aku tahu.” “Nah, dengan demikian kau tahu apa yang akan terjadi atas dirimu.” “Apa pun yang terjadi,” geram Paksi. Ki Sampar Angin tidak berbicara lagi. Tetapi serangan-serangannya pun kemudian telah datang bergulung seperti angin pusaran. Namun Paksi pun telah dibekali ilmu pula. Karena itu, tongkatnya pun segera berputaran. Sekali-sekali menukik menusuk dengan cepatnya. Ternyata Ki Sampar Angin pun mengalami kesulitan melawan anak muda yang bersenjata tongkat itu. Gerakannya menjadi sangat terbatas. Serangannya sulit untuk menjangkaunya, karena putaran tongkat anak muda itu merupakan pertahanan yang sangat rapat. Bahkan serangan-serangan tongkat Paksi pun semakin lama menjadi semakin berbahaya. Ketika tongkat Paksi terjulur lurus ke arah dada, Ki Sampar Angin dengan cepat pula bergeser selangkah ke samping. Namun tiba-tiba saja tongkat itu menggeliat. Hampir saja tongkat itu menyambar kening Ki Sampar Angin, sehingga Ki Sampar Angin itu dengan tergesa-gesa meloncat jauh surut. Meskipun tongkat itu tidak menyentuhnya, tetapi jantung Ki Sampar Angin telah tergetar. Hampir saja keningnya terkoyak tongkat anak muda itu. Karena itu, maka Ki Sampar Angin pun tidak akan membiarkan tubuhnya dikenai oleh senjata lawannya yang menjadi semakin berbahaya. Ketika tongkat Paksi kemudian menyambarnya, maka tiba-tiba saja telah terjadi benturan yang keras. Paksi terkejut. Sementara itu, Ki Sampar Angin pun tertawa. Katanya, “Kau terkejut anak muda.” Paksi tidak menjawab. Tetapi ia bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dengan sepasang gelang-gelang besi yang digenggamnya di kedua belah tangannya, maka Ki Sampar Angin tentu akan menjadi lebih berbahaya. “Apakah kau belum pernah melihat jenis senjata seperti senjataku?” Paksi mengerutkan dahinya. Namun asal saja ia menjawab, “Sudah.” “O. Siapakah yang pernah mempergunakan senjata seperti senjataku ini?” Paksi pun menjawab sekenanya, “Di lereng Gunung Merapi.” “Di lereng Gunung Merapi? Saat terjadi perang brubuh itu?” Seperti orang yang sedang mengigau Paksi menjawab, “Ya.” “Kalau begitu, aku menjadi yakin sekarang. Kau tentu salah satu dari alat permainan Harya Wisaka.” Paksi terkejut. Sambil memutar tongkatnya ia bertanya, “Kenapa kau mengambil kesimpulan seperti itu?” Ki Sampar Angin tiba-tiba saja meloncat mengambil jarak. Katanya, “Kau tentu ada di pertempuran itu. Kau tentu berada di dalam pasukan Harya Wisaka.” “Apakah kau juga ada di dalam pertempuran itu?” “Tidak. Baru kemudian Wira Bangga memberitahukan kepadaku tentang pertempuran itu. Tentang keganasan Harya Wisaka dan para pengikutnya yang terdiri dari para prajurit dan bahkan prajurit sandi. Tetapi juga beberapa orang pertapa yang dapat dipengaruhinya serta beberapa perguruan yang dipimpin oleh orang-orang buta mata hatinya, karena mereka tidak dapat mengerti, siapakah Harya Wisaka itu.” “Apakah hatimu tidak buta dan melihat dengan terang, siapakah yang berdiri di belakangmu? Ternyata kau juga tidak lebih dari barang permainan yang dimainkan oleh Wira Bangga sebagaimana pengakuanmu sendiri.” “Tidak, anak muda. Hubunganku dengan Wira Bangga berbeda dengan hubungan Harya Wisaka dengan alat-alat permainannya.” “Aku tidak peduli,” geram Paksi. “Aku bukan pengikut Wira Bangga. Tetapi aku telah menempatkan diri dan bekerja untuknya, karena aku ingin melihatnya berhasil. Aku adalah kakak seperguruannya.” “O,” Paksi menjadi berdebar-debar. Tetapi kesan itu tidak nampak pada sikapnya mau pun pada kata-katanya. Orang itu adalah saudara tua seperguruan Wira Bangga. Dengan demikian dapat diduga bahwa ilmunya agak lebih tinggi, setidak-tidaknya lebih matang dari ilmu yang dimiliki oleh Wira Bangga. “Nah, kau sekarang tahu siapa aku sebenarnya. Karena itu, maka kau sama sekali tidak mempunyai harapan untuk dapat keluar dari tempat ini dengan selamat.” Namun Paksi pun bertanya, “Apakah perguruanmu itu termasuk salah satu perguruan hitam?” Orang itu tertawa lagi berkepanjangan. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah yang kau maksud dengan perguruan hitam?” “Kau tahu maksudnya,” geram Paksi. “Baik. Mungkin aku harus menerjemahkan hitam itu dengan sifat-sifat yang buruk. Bekerja dengan iblis dan berniat untuk menghancurkan dunia ini.” “Nah, kau akui keberadaanmu?” “Aku tidak pernah memperdulikan, apakah kami termasuk golongan yang disebut hitam atau putih. Yang penting aku mempunyai ilmu yang tinggi, yang dapat aku pergunakan untuk menggapai keinginan-keinginan yang bergetar di dalam dadaku.” “Jadi kau anggap sah untuk mempergunakan cara apa pun untuk mencapai tujuan?” “Bersiaplah,” tiba-tiba saja Ki Sampar Angin menggeram. Paksi tidak bertanya lagi. Ia pun segera bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Dengan gelang-gelang besi yang digenggam di kedua tangannya, Ki Sampar Angin pun menyerang Paksi dengan garangnya. Kedua tangannya terayun-ayun mengerikan. Dengan gelang-gelang besinya, Ki Sampar Angin berulang-ulang membentur tongkat Paksi yang menggelepar di tangannya. Namun Paksi pun semakin lama semakin merasakan, betapa besar tenaga orang yang bernama Ki Sampar Angin itu. Bahkan semakin lama serangan-serangan Ki Sampar Angin menjadi semakin deras mengalir mendera pertahanan Paksi yang mulai goyah. Paksi pun harus meningkatkan kemampuannya untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan Ki Sampar Angin yang datang bagaikan angin prahara. Dalam pada itu, Wijang pun harus bertempur melawan dua orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka Wijang pun harus berloncatan dengan cepat untuk menghindari serangan-serangan yang datang beruntun, susul-menyusul dari kedua orang yang berdiri seberang-menyeberang. Dengan demikian, maka Wijang pun harus meningkatkan ilmunya pula. Ia harus mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi untuk menghindari serangan lawan-lawannya. Kedua orang lawan Wijang itu ternyata agak terkejut juga melihat kemampuan anak muda itu. Ternyata anak muda itu mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Berloncatan dan bahkan kadang-kadang bagaikan terbang menghindar dari garis serangan kedua lawannya. Wijang yang sebenarnya adalah Pangeran Benawa itu ternyata memang memiliki ilmu yang seakan-akan tidak terbatas. Meskipun ia harus menghadapi lawannya yang berilmu tinggi, namun ternyata bahwa Wijang tidak segera mengalami kesulitan. Dengan kemampuannya yang tinggi, kedua orang lawannya kadang-kadang telah terkejut karena unsur gerak Wijang yang tidak terduga-duga. Meskipun demikian, Wijang masih mampu menyembunyikan ciri-ciri ilmunya yang sebenarnya agar kedua orang lawannya tidak dapat mengenalinya. Kadang-kadang Wijang bertempur dengan keras. Tidak ada bedanya dengan kekasaran kedua orang lawan-lawannya. Namun kedua orang lawan Wijang itu pun mempunyai landasan ilmu yang tinggi serta pengalaman yang luas. Mereka tidak pernah merasa dihambat oleh perasaannya. Apalagi belas kasihan serta pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan yang lain. Keduanya bertempur tanpa kendali, serangan-serangan mereka meluncur tanpa terkekang sama sekali. Karena itulah, maka Wijang harus benar-benar berhati-hati. Meskipun keduanya tidak segera dapat menguasainya, namun Wijang tidak boleh lengah barang sekejappun, karena yang sekejap itu akan dapat berarti akhir dari segala-galanya. Sebenarnya Wijang tidak mencemaskan diri sendiri. Sekilas ia sempat melihat, apa yang terjadi dengan Paksi. Wijang melihat, bahwa Paksi sudah terjerat dalam kesulitan. Wijang menyesal, bahwa ia telah memilih kedua orang itu sebagai lawannya. Semula ia menganggap kemampuan Ki Sampar Angin tentu tidak akan lebih tinggi dari kemampuan kedua orang yang bertempur berpasangan itu. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Ki Sampar Angin adalah orang yang benar-benar berilmu tinggi. Bahkan Wijang pun merasa, bahwa seorang diri, ia akan mengalami kesulitan untuk melawan Ki Sampar Angin. Karena itu, maka Wijang pun segera menghentakkan ilmunya. Sepasang pisau belatinya telah berada di dalam genggamannya. Seperti banjir bandang ia melibat kedua orang lawannya..... Kedua lawannya pun telah bersenjata pula. Seorang di antara mereka bersenjata kapak, sedang yang lainnya bersenjata golok yang besar. Meskipun demikian, pisau belati di tangan Wijang itu pun menjadi sangat berbahaya. Dengan pelindung pergelangan tangannya, Wijang menangkis serangan-serangan kapak dan golok lawannya. Kemudian dengan pisau belatinya ia menyerang dengan cepat, seperti kuku burung sikatan yang menyambar mangsanya di rerumputan. Wijang yang mengetahui kesulitan Paksi, dengan mengerahkan kemampuannya, berusaha untuk dengan cepat mengakhiri perlawanan kedua lawannya. Tetapi ternyata Wijang tidak dapat melakukannya dengan cepat. Kedua lawannya tidak membiarkan lehernya dikoyak oleh pisau belati Wijang atau perut mereka dibelah dengan pisau belati yang tajam itu. Karena itu, maka mereka pun memberikan perlawanan yang cukup berat bagi Wijang meskipun Wijang berhasil mendesak kedua lawannya itu. Wijang menjadi semakin cemas ketika Paksi tidak lagi mampu memberikan perlawanan yang dapat membendung arus serangan lawannya. Gelang-gelang di kedua tangan Ki Sampar Angin membuat tongkat Paksi menjadi tidak berarti. Dalam puncak ilmunya, Paksi berloncatan dengan cepatnya sehingga kadang-kadang hanya nampak seperti bayangan yang berterbangan di seputarnya. Namun Ki Sampar Angin tidak menjadi bingung. Bahkan kadang-kadang Ki Sampar Angin bahkan dapat mencegat tata gerak Paksi yang cepat itu. Paksi yang telah menempa diri dengan laku yang berat, ternyata tidak mampu mengatasi kemampuan Ki Sampar Angin. Serangan-serangannya tidak mampu memecahkan pertahanan lawannya. Bahkan beberapa saat kemudian, serangan-serangan Ki Sampar Angin yang datang benar-benar merupakan angin prahara, yang telah menggulungnya, menghanyutkannya dalam putaran yang semakin cepat. Paksi yang mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi itu kemudian bagaikan selembar kapuk randu yang diombang-ambingkan oleh angin pusaran yang keras, yang kemudian menggulungnya dan siap melemparkannya ke udara dan membantingnya jatuh di tanah yang berbatu-batu. Wijang menjadi sangat cemas. Terdengar Wijang berteriak nyaring, “Paksi, kau mampu meringankan tubuhmu. Kau tentu mampu memberatkan tubuhmu.” Suara Wijang itu memang menggetarkan jantung Paksi. Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, Paksi pun berusaha melawan angin pusaran yang sedang mempermainkannya. Tetapi pengaruhnya tidak terlalu besar. Paksi masih saja terombang-ambing tanpa dapat berbuat banyak. Meskipun penalarannya masih tetap utuh, namun rasa-rasanya sangat sulit bagi Paksi untuk dapat keluar dari pusaran kekuatan ilmu Ki Sampar Angin. Kecemasan semakin mencekam jantung Wijang. Ia semakin mengerahkan kemampuannya untuk menyelesaikan kedua lawannya. Tetapi kedua lawannya juga berilmu tinggi. Keduanya mampu memberikan perlawanan yang menyulitkan bagi Wijang. Meskipun Wijang selalu mendesak mereka, namun Wijang masih belum berhasil memberikan pukulan terakhir. Dalam keadaan yang rumit itu, Wijang tidak lagi memikirkan akibatnya, ketika Wijang harus mengerahkan kemampuan puncaknya, tiba-tiba saja Wijang justru telah menyelipkan kedua pisau belatinya di sarungnya. Dengan serta-merta Wijang itu telah menelakupkan kedua telapak tangannya. Pada kedua telapak tangan Wijang yang menelakup itu, telah mengepul asap yang berwarna kehijauan. Ki Sampar Angin yang melihatnya terkejut. Apalagi ketika ia melihat Wijang itu kemudian mengangkat tangan kanannya di atas kepalanya. “Lebur Seketi,” Ki Sampar Angin memperingatkan kedua orang kawannya. Kedua orang lawan Wijang itu terkejut pula. Hanya ada beberapa orang yang mampu memiliki kemampuan menguasai ilmu yang menggetarkan jantung itu. Apalagi lawan mereka itu masih muda. Memang sulit dipercaya. Namun ciri-ciri dari ilmu itu sudah nampak diungkapkan oleh anak muda itu. Dengan demikian, maka jantung kedua orang lawan Wijang itu serasa berdentang semakin cepat. Dengan serta-merta mereka berloncatan menebar. Namun Wijang bergerak terlalu cepat. Dengan tangkasnya ia meloncat menyerang seorang di antara kedua lawannya. Orang itu tidak lagi mampu mengelakkan dirinya. Karena itu, dengan mengerahkan segenap ilmunya, maka orang itu terpaksa menangkis serangan Wijang. Dengan demikian, maka dua kekuatan ilmu yang tinggi telah berbenturan. Wijang memang tergetar selangkah surut. Namun lawannya telah terlempar beberapa langkah. Terbanting jatuh dan berguling beberapa kali. Namun kemudian orang itu sama sekali tidak bergerak lagi. Pada saat yang bersamaan, seorang lawannya yang lain telah meloncat mengayunkan tangannya ke arah tengkuk Wijang. Wijang yang masih terguncang itu tidak dapat membentur serangan itu. Ia tidak sempat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, sehingga jika ia memaksakan sebuah benturan terjadi, maka keadaan Wijanglah yang akan menjadi sangat sulit. Dalam keadaan yang demikian, Wijang masih berusaha menghindar. Ia pun menjatuhkan dirinya di saat tangan lawannya itu menyambarnya. Wijang masih berhasil menghindar dari ilmu lawannya. Namun ketika kemudian ia meloncat bangkit, maka akibat benturan yang terjadi sebelumnya, terasa mempengaruhi pernafasannya. Tetapi Wijang tidak sempat berpikir terlalu jauh. Ia pun segera mempersiapkan diri untuk menghancurkan lawannya yang seorang lagi sebelum ia dapat membantu Paksi yang mengalami kesulitan yang semakin parah. Paksi sudah mulai kehilangan kemampuan perlawanannya. Tongkatnya memang masih berada di tangannya, tetapi tubuhnya berada diombang-ambingkan oleh pusaran angin yang tidak mampu dilawannya. Dalam pada itu, Ki Sampar Angin itu pun berteriak, “Berhati-hatilah. Kau berhadapan langsung dengan Pangeran Benawa. Bertahanlah. Anak itu sudah tidak berdaya. Dalam sekejap aku dapat membunuhnya.” Pangeran Benawa serta Paksi yang sudah tidak berdaya itu terkejut. Ternyata Ki Sampar Angin mampu mengenali Pangeran Benawa dari ungkapan ilmu yang memang sudah jarang dikuasai oleh orang-orang berilmu tinggi. “Anak semuda itu yang mampu menguasai ilmu itu hanyalah beberapa orang saja. Antara lain Pangeran Benawa dan Mas Ngabehi Loring Pasar. Tetapi Mas Ngabehi itu sekarang berada di istana.” Namun Wijang sempat berteriak, “Ada lebih dari seribu orang yang mampu melakukan sebagaimana aku lakukan sekarang. Kalianlah yang ternyata sangat picik, sehingga tidak mengetahui isi dari dunia oleh kanuragan yang sebenarnya.” Ki Sampar Angin pun menyahut, “Siapa pun kau, tetapi kau tidak akan mampu menolong kawanmu. Beruntunglah aku, bahwa aku dapat langsung bertemu dengan Pangeran Benawa.” Wijang menggeram. Tetapi ia tidak boleh terbenam dalam pembicaraan itu. Paksi sudah semakin tidak berdaya meskipun ia mengerahkan segenap ilmunya. Ternyata Wijang yang dadanya telah terguncang oleh benturan ilmu dengan salah seorang lawannya, tidak segera mampu mengalahkan lawannya yang seorang lagi. Wijang pun harus berpikir ulang, apakah ia masih dapat membenturkan ilmunya sekali lagi tanpa menghancurkan dadanya yang sudah melemah. Sementara itu, lawannya juga merasa ragu untuk berbenturan ilmu. Meskipun lawannya itu mengetahui bahwa anak muda itu sudah tidak lagi berada pada puncak kemampuannya. Tetapi Lebur Seketi adalah ilmu yang sangat menggetarkan. Seorang kawannya telah terkapar jatuh dan tidak mampu bangkit kembali untuk selamanya. Sementara itu, keadaan Paksi ternyata menjadi semakin memburuk. Dalam pusaran angin, Paksi hanya mampu meronta. Menggeliat dan mencoba bertahan. Tetapi ia sama sekali sudah tidak mampu untuk menyerang lawannya. Wijang yang semakin gelisah itu tidak dapat sekedar menunggu, berpikir dan apalagi ragu-ragu. Karena itu, maka Wijang pun akhirnya memutuskan untuk mengetrapkan ilmunya Lebur Seketi, apa pun bakal jadinya. Jika ia masih dapat mengalahkan lawannya, maka ia akan dapat membantu Paksi. Jika tidak, biarlah ia pun hancur dalam pertempuran itu. Karena itu, maka sekali lagi Wijang menelakupkan tangannya. Dalam kegelapan malam, beberapa pasang mata yang tajam itu melihat asap yang berwarna kehijauan mengepul dari sela-sela telapak tangannya. Kemudian Wijang pun dengan cepat mengangkat tangannya dan meloncat menyerang lawannya. Lawannya tidak mempunyai pilihan lain. Demikian cepatnya semuanya itu terjadi. Karena itu, lawannya itu pun telah mengerahkan semua kemampuannya pula. Menyilangkan tangannya di depan wajahnya. Sekali lagi telah terjadi benturan yang keras. Ilmu yang jarang ada duanya itu telah membentur pertahanan lawannya. Akibatnya memang sangat mendebarkan. Ternyata Wijang tidak hanya terdorong selangkah surut. Tetapi ia pun kemudian terhuyung-huyung dan jatuh terduduk. Nafasnya menjadi semakin sesak, sementara jantungnya terasa bagaikan terbakar. Ketika kemudian Wijang berusaha untuk bangkit, maka keseimbangannya masih belum pulih kembali. Sendi-sendinya terasa semakin tidak berdaya. Wijang memandang lawannya yang terlempar dan jatuh terguling. Benturan itu telah membuat bagian dalamnya terluka parah. Kekuatan Aji Lebur Seketi benar-benar tidak dapat ditandinginya meskipun lawannya sudah tidak berada di puncak kemampuannya. Orang itu masih mampu menggeliat. Bahkan mengerang kesakitan. Namun kemudian suaranya yang lemah itu pun telah terputus sama sekali. Namun Wijang pun sudah terlalu lemah pula. Meskipun demikian, ia tidak dapat membiarkan Paksi mengalami bencana. Karena itu, tertatih-tatih Wijang pun melangkah mendekati pusaran angin yang sedang mempermainkan Paksi yang sudah menjadi semakin lemah. Ketika Ki Sampar Angin melihat kedua lawannya sudah tidak mampu melakukan perlawanan dan bahkan mungkin sudah terbunuh, ia pun menggeram marah. Apalagi ketika ia melihat Wijang tertatih-tatih mendatanginya. “Kau sudah tidak berdaya, Pangeran,” berkata Ki Sampar Angin. “Tenagamu sudah terkuras habis. Kau tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi. Bahkan lari pun kau tidak mungkin melakukannya. Tetapi kematian kedua orang kawanku itu harus kau tebus. Kawanmu ini pun harus mati.” Ki Sampar Angin tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian telah menghentakkan ilmunya, sehingga pusaran angin itu menjadi semakin cepat. “Tunggu,” teriak Wijang. “Apa yang kau kehendaki dariku. Bebaskan kawanku, aku akan memenuhi apa yang kau inginkan.” “Cincin itu,” teriak Ki Sampar Angin. “Baik. Aku akan memberikan cincin itu.” “Apakah cincin itu benar ada padamu?” “Ya,” jawab Wijang. “Jika demikian, aku akan membunuh kawanmu, kemudian membunuhmu, aku akan mendapatkan cincin itu.” “Kau curang. Kau harus melepaskan kawanku itu.” Tetapi Ki Sampar Angin justru tertawa berkepanjangan. Dihentakkannya ilmunya bukan saja semakin tinggi, tetapi justru sampai ke puncak. Paksi sudah tidak berdaya lagi. Pusaran itu menghisapnya, melemparkannya ke udara. Kemudian melepaskannya, sehingga Paksi itu pun meluncur dengan derasnya jatuh di sungai yang berbatu-batu. Tetapi yang tidak terduga itu telah terjadi. Demikian tubuh itu hampir menghantam sebongkah batu yang besar, maka sesosok tubuh telah meloncat menyambarnya. Dengan kekuatan dan kemampuan melampaui kewajaran, orang itu menangkap tubuh Paksi, kemudian meletakkannya di atas batu besar itu. Sementara sosok tubuh itu berdiri tegak di sebelahnya dengan kaki renggang. Paksi sendiri kemudian berusaha untuk bangkit dan duduk di sebelah orang itu. Sementara Wijang berdiri termangu-mangu. Jantungnya yang rasa-rasanya berhenti berdenyut itu, terasa mulai dialiri darahnya kembali. Ki Sampar Angin terkejut bukan kepalang. Sosok tubuh itu tiba-tiba saja telah ada disitu tanpa diketahui, kapan ia datang. Paksi yang kemudian turun dari batu besar itu berusaha untuk mengenali orang yang telah menolongnya. Dengan nada tinggi Paksi yang lemah itu berdesis, “Ki Marta Brewok.” Orang itu tertawa. Katanya, “Benar, Paksi. Aku datang tepat pada waktunya. Seandainya tubuhmu jatuh menimpa batu ini, maka dapat dibayangkan, apa yang terjadi atas dirimu.” Wijang yang melangkah tertatih-tatih mendekat itu pun berdesis pula, “Untunglah Ki Marta Brewok berada disini di saat yang sangat gawat ini. Pada saat kami berdua sudah tidak berdaya untuk mengadakan perlawanan.” “Kalian berdua memang bukan lawan orang ini,” desis Ki Marta Brewok. “Ki Sampar Angin adalah orang yang sangat sakti. Ilmunyalah yang sebenarnya bernama Sampar Angin. Tetapi nama ilmunya itulah yang kemudian dipakainya untuk namanya.” “Persetan. Siapakah kau yang telah berani mencampuri persoalanku dengan anak-anak muda ini.” Ki Marta Brewok itu tertawa. Katanya, “Ternyata kebesaran namamu tidak seimbang dengan kebesaran jiwamu. Kau hanya berani bermain-main dengan anak-anak. Sudah tentu kau dapat memenangkan pertempuran melawan mereka. Itu pun sama sekali tidak adil, kau bertiga, sedang anak-anak itu hanya berdua.” “Aku memerlukan mereka. Dan kau tidak berhak ikut campur.” “Setiap orang Pajang berhak ikut campur, karena kau akan merampas cincin kerajaan Pajang. Setiap orang Pajang wajib mengamankan cincin itu.” “Kau sendiri tentu menghendaki cincin itu.” “Tidak. Jika aku menginginkannya, tentu sudah aku lakukan. Aku mengenal mereka sejak lama. Aku pernah tinggal bersama mereka. Aku tahu bahwa cincin itu ada pada Pangeran Benawa sejak ia meninggalkan istana.” Ki Sampar Angin memandang orang itu dengan tajamnya. Sementara itu Ki Marta Brewok itu pun kemudian telah meloncat turun dan melangkah mendekat. “Apa pun yang kau katakan,” berkata Ki Sampar Angin, “aku menginginkan cincin itu, maka kaulah yang akan mati lebih dahulu.” “Aku sudah tahu kedahsyatan ilmumu, Ki Sampar Angin. Tetapi itu tidak menggetarkan perasaanku. Aku sudah bertekad untuk membantu menyelamatkan cincin itu. Karena itu maka cincin itu harus tetap berada di tangan Pangeran Benawa.” Sorot mata Ki Sampar Angin bagaikan menyala. Ia memang tidak menghiraukan lagi kedua orang anak muda yang sudah tidak berdaya itu. Meskipun Pangeran Benawa berilmu tinggi, tetapi benturan ilmu yang terjadi dua kali berturut-turut itu membuatnya menjadi sangat lemah. Karena itu, maka yang akan dihadapinya hanyalah orang yang disebut Marta Brewok itu. Meskipun Ki Sampar Angin sadar, bahwa lawannya itu berilmu sangat tinggi, tetapi Ki Sampar Angin meyakini, bahwa orang itu tidak akan mampu mengalahkan ilmunya. Angin pusaran itu akan segera membelitnya, menghisap dan melemparkannya ke udara. Kemudian membantingnya di atas bebatuan. Ki Mana Brewok pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Ia bergeser selangkah mendekat. Ki Sampar Angin itu pun telah bersiap pula untuk bertempur. Di tangannya justru tidak lagi tergenggam lingkaran-lingkaran besinya. Tetapi dengan kedua tangannya yang kosong, Ki Sampar Angin tidak kalah berbahayanya. Apalagi ia sudah mengetrapkan ilmunya yang menggetarkan itu. Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran. Keduanya langsung berada pada tataran ilmu yang tinggi. Ayunan tangan mereka menimbulkan sambaran angin yang deras, tajam dan panas. Tetapi daya tahan Ki Marta Brewok cukup tinggi. Karena itu, maka sentuhan udara yang tajam dan panas itu sama sekali tidak mempengaruhi perlawanannya. Dalam pada itu, Ki Sampar Angin pun tidak ingin bertempur berlama-lama. Ia sadar bahwa lawannya yang berilmu itu sudah melihat tataran ilmunya, bahkan sampai ke puncak. Karena itu, maka Ki Sampar Angin pun segera mengetrapkan ilmunya. Serangan-serangannya pun kemudian telah melibat lawannya bagaikan libatan angin prahara. Semakin lama semakin cepat berputar seperti angin pusaran. Tetapi Ki Marta Brewok bukannya Paksi. Karena itu, maka angin pusaran itu tidak mampu menghanyutkannya, mengombang-ambingkannya dan apalagi melemparkannya ke udara. Serangan Ki Sampar Angin itu menjadi semakin cepat dan semakin kuat. Sambil berputar mengitari Ki Marta Brewok, Ki Sampar Angin menyerang dengan garangnya. Namun putaran itu semakin lama menjadi semakin cepat, secepat angin pusaran. Bahkan ketika Ki Sampar Angin sendiri bergerak semakin lamban, pusaran angin itu tetap melibatnya, justru semakin cepat. Tetapi tubuh Ki Marta Brewok pun semakin lama menjadi semakin berat, sehingga akhirnya menjadi seberat timah. Angin pusaran yang menjadi semakin kencang itu sama sekali tidak mampu mengguncangnya. Bahkan bergeser pun tidak. Ki Sampar Angin berdiri tegak sambil mengangkat kedua tangannya menengadah. Sementara itu, angin pusarannya menjadi semakin kuat berusaha mengangkat dan menghisap tubuh Ki Marta Brewok. Tetapi Ki Marta Brewok sama sekali tidak bergetar. Sambil menyilangkan tangannya di dadanya, Ki Marta Brewok berdiri di tengah-tengah angin pusaran yang kuat itu, yang mengangkat debu, dedaunan, tanah, pasir dan bahkan potong-potongan dahan yang patah. Ketika Ki Sampar Angin sampai ke puncak ilmunya, pepohonan yang tumbuh di pinggir sungai itu pun telah tercabut sampai ke akarnya. Bukan hanya pohon-pohon perdu, tetapi pepohonan yang lebih besar. Meskipun demikian, Ki Marta Brewok masih tetap berdiri di tengah-tengah angin pusaran itu. Di dalam gelap malam, Ki Marta Brewok menjadi semakin tidak nampak lagi, karena pusaran angin yang mengangkat segala macam benda yang ada di sekitarnya. Dalam pada itu, Wijang telah membimbing Paksi untuk menjauhi arena. Hanya dengan lambaran Aji Sapta Pandulu, mereka dapat melihat Ki Marta Brewok yang berdiri di tengah-tengah libatan ilmu Sampar Angin itu. Semakin lama Ki Marta Brewok semakin merendah pada lututnya. Dengan ilmunya Ki Marta Brewok itu telah membuat dirinya semakin berat pula. Dua kekuatan sedang beradu. Ki Sampar Angin berusaha untuk menghisap dan mengangkat lawannya, melemparkannya ke udara sehingga tubuh itu akan jatuh terbanting di atas bebatuan. Tetapi Ki Marta Brewok ingin bertahan. Seakan-akan Ki Marta Brewok itu berusaha untuk menghunjamkan kakinya jauh-jauh ke perut bumi, sehingga angin pusaran Ki Sampar Angin tidak mampu mengangkatnya lagi. Untuk beberapa lama mereka beradu ilmu. Meskipun tidak jelas, tetapi dengan Aji Sapta Pandulu, Wijang dan Paksi melihat, bahwa kedua orang itu benar-benar sedang mengerahkan ilmu masing-masing. Jantung Wijang dan Paksi rasa-rasanya berdentang semakin keras dan semakin cepat. Mereka tidak dapat menduga, apa yang akan terjadi. Nampaknya kedua orang berilmu sangat tinggi itu benar-benar tengah mempertaruhkan hidup mereka dalam pertempuran yang habis-habisan itu. Dalam pada itu, selagi Wijang dan Paksi dicengkam oleh ketegangan, maka tiba-tiba saja mereka terkejut. Ki Marta Brewok yang ada di dalam pusaran angin yang semakin keras dan kuat itu, yang telah mencabut beberapa batang pohon dan melontarkannya ke udara, seakan-akan telah meledak. Percikan-percikan api memancar dari tubuhnya. Bahkan kemudian semburan asap yang putih kebiru-biruan menderu dan menghembus dengan kuatnya angin pusaran di sekitarnya. Angin pusaran itu pun kemudian telah pecah. Segala macam benda yang sedang diterbangkan itu pun berhamburan. Juga beberapa buah gerumbul perdu, semak-semak dan bahkan pohon yang tercabut dengan akar-akarnya. Terdengar Ki Sampar Angin itu berteriak keras-keras. Suaranya melengking tinggi. Namun kemudian suara itu pun semakin menurun, sementara itu tubuh Ki Sampar Angin menjadi bergetar. Akhirnya tubuh itu pun tidak lagi berdaya untuk tetap tegak berdiri mempertahankan keseimbangannya. Demikian tubuh itu jatuh berguling, maka segala sesuatunya pun menjadi reda. Tidak ada lagi suara gemuruh angin pusaran. Tidak ada lagi hembusan asap yang menyembur dari tubuh Ki Marta Brewok bersama pancaran api. Udara di atas sungai itu pun menjadi bersih kembali. Namun dalam pada itu, Ki Marta Brewok berjalan tertatih-tatih mendekati tubuh Ki Sampar Angin. “Ki Marta Brewok,” desis Wijang dengan cemas. Sambil menggandeng Paksi, Wijang yang dirinya sendiri juga masih terlalu lemah, melangkah mendekati Ki Marta Brewok. “Bagaimana keadaan Ki Marta Brewok?” bertanya Wijang dengan cemas. Ki Marta Brewok mencoba untuk tersenyum. Katanya, “Aku tidak apa-apa, Pangeran. Duduklah. Aku ingin melihat orang ini sejenak.” Wijang berdiri termangu-mangu. Paksi lah yang kemudian duduk di atas sebongkah batu, sementara Ki Marta Brewok bergeser mendekati tubuh Ki Sampar Angin. Ki Marta Brewok pun kemudian berjongkok di sebelah Ki Sampar Angin. Ketika Ki Marta Brewok meletakkan tangannya di leher Ki Sampar Angin, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. “Bagaimana, Ki Marta?” bertanya Wijang. “Ki Sampar Angin telah meninggal.” Wijang dan Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tiga orang telah terbunuh di tempat ini. Sejenak kemudian, maka mereka bertiga pun telah duduk di atas bebatuan. Dengan nada dalam Ki Marta Brewok pun berkata, “Apa yang akan kita lakukan terhadap ketiga sosok mayat itu?” “Bagaimana kita dapat menguburkannya?” desis Wijang. Ki Marta Brewok pun kemudian berkata, “Satu-satunya kemungkinan adalah menguburkan mereka di tepian. Yang dapat kita gali dengan tangan kita adalah pasir tepian.” “Apakah binatang buas yang berkeliaran di padang perdu itu tidak akan mencium baunya dan menggalinya.” “Di atasnya kita timbun dengan bebatuan yang cukup kuat.” “Marilah,” berkata Wijang. Namun ketika kemudian ia bangkit berdiri, nampak sekali bahwa tenaganya seakan-akan telah terkuras habis. Ki Marta Brewok yang melihat keadaannya itu pun berkata, “Kita tidak tergesa-gesa, Pangeran. Sekarang kita dapat beristirahat. Tenagaku pun rasa-rasanya telah terhisap habis. Aku harus mengerahkan segenap tenaga dan kemampuanku untuk melawan Aji Sampar Angin itu.” “Baiklah, kita akan beristirahat dahulu,” desis Wijang. Namun yang kemudian bertanya adalah Paksi, “Tetapi kenapa tiba-tiba Ki Marta sudah berada di tempat ini?” “Aku sudah lama berada disini. Aku mendengarkan segala pembicaraan kalian dengan Ki Sampar Angin.” “Apakah yang menuntun Ki Marta Brewok sampai ke tempat ini?” Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun berkata, “Antara lain adalah Ki Sampar Angin itu. Ketika aku melihatnya, maka tiba-tiba saja timbul keinginanku untuk mengikutinya. Aku tahu, bahwa kehadiran orang itu sangat berbahaya bagi orang lain. Apalagi di daerah ini. Daerah perburuan cincin bermata tiga itu. Karena itu, aku langsung menduga bahwa Ki Sampar Angin juga sedang berburu cincin itu.” “Ki Marta Brewok mengikutinya?” Ki Marta Brewok nampak ragu. Tetapi kemudian ia pun mengangguk, “Ya. Aku pun mengikutinya.” Wijang mengangguk-angguk. Namun terasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Paksi pun merasakan hal itu pula. Karena itu, ia pun kemudian bertanya, “Apakah ada hal lain yang membawa Ki Marta Brewok sampai ke tempat ini?” Ki Marta Brewok terdiam sesaat. Namun kemudian ia pun menjawab agak tersendat, “Tidak. Tidak ada hal lain yang membawaku kemari. Mungkin juga ada unsur kebetulan saja.” Paksi lah yang kemudian bertanya, “Apakah Ki Marta Brewok melihat apa yang terjadi di belakang rumpun bambu siang tadi?” Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, “Ketika kau bunuh orang yang telah membunuh Derpa?” Paksi menarik nafas panjang. Agaknya Ki Marta Brewok menyaksikan pula apa yang telah terjadi itu. Bahkan Ki Marta Brewok pun mengetahui bahwa salah seorang yang terbunuh itu bernama Derpa. “Ia tentu mendengar pembicaraan kami,” berkata Paksi di dalam hatinya. Namun Wijanglah yang kemudian bertanya, “Ki Marta, apakah Ki Sampar Angin juga berada di belakang rumpun bambu itu ketika terjadi pertempuran?” “Ya,” Ki Marta Brewok mengangguk. Tetapi kedua anak muda itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Ketika terasa angin semilir, maka tubuh mereka pun menjadi semakin segar. Tetapi mereka masih mempunyai pekerjaan yang harus mereka selesaikan sebelum fajar. Mengubur ketiga orang yang telah terbunuh. Ketika matahari kemudian terbit, maka ketiga orang itu pun sudah berbenah diri. Mereka sudah siap meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan ke selatan. Meskipun udara pagi segar telah menyegarkan ketiga orang yang sedang menyusuri jalan panjang itu, namun mereka masih nampak letih. Pertempuran yang terjadi semalam, benar-benar telah menguras tenaga mereka. Bahkan kadang-kadang masih terasa sentuhan-sentuhan rasa sakit di dada mereka. Benturan ilmu yang keras serta pengerahan segenap kemampuan, benar-benar telah membuat mereka letih. Di sepanjang perjalanan, Paksi masih saja berbicara tentang Derpa dan kawannya serta orang yang telah membunuhnya. Paksi masih saja bertanya-tanya, apakah benar ayahnya menghendaki agar Paksi tidak pulang, kecuali membawa cincin yang harus dicarinya. “Tentu tidak, Paksi,” berkata Ki Marta Brewok, “bahkan mungkin benar dugaan Ki Sampar Angin, bahwa orang itu adalah alat permainan Harya Wisaka. Meskipun kau belum mengenalnya, tetapi orang itu tentu agaknya sudah mengenalmu. Tetapi mungkin juga justru Derpalah yang memberitahukan kepadanya, bahwa kaulah Paksi yang dicarinya.” “Tetapi aku sama sekali tidak bersangkut paut dengan Harya Wisaka, Ki Marta.” “Tetapi Harya Wisaka atau orang-orangnya mengetahui bahwa kau juga sedang mencari cincin itu.” “Ki Marta,” berkata Wijang kemudian, “menurut Ki Sampar Angin, ia adalah saudara tua seperguruan Ki Wira Bangga.” “Ya. Aku juga mendengarnya. Tetapi pada saat seperti ini serta keadaan yang rumit, kita tidak dapat memegang setiap pengakuan seseorang. Bukankah kalian juga pernah mengaku sebagai pengikut Harya Wisaka atau mengaku sebagai orang Goa Lampin atau pengikut siapa pun yang kau sebut saja namanya tanpa ada orangnya.” Wijang dan Paksi terkejut. Dengan serta-merta Wijang bertanya, “Apakah Ki Marta Brewok melihat bagaimana kami mengaku sebagai pengikut Harya Wisaka atau mengaku orang dari Goa Lampin atau pengakuan-pengakuan yang lain?” “Mungkin. Maksudku mungkin kalian juga pernah mengaku-aku sehingga orang lain pun dapat juga mengaku dan menyebut pemimpin dari perguruan-perguruan yang memang sedang berburu itu.” Tetapi Wijang dan Paksi memandang Ki Marta Brewok dengan sorot mata yang aneh. Bahkan Paksi pun berhenti melangkah, sehingga Wijang dan Marta Brewok pun berhenti pula. “Kenapa?” bertanya Ki Marta Brewok. Paksi menarik nafas. Namun kemudian sambil menggeleng ia pun melangkah pula. Sementara itu matahari menjadi semakin tinggi. Sinarnya terasa mulai menggatalkan kulit. Namun masih terdengar di pepohonan burung-burung liar berkicau dengan riangnya. Burung-burung itu kemudian berterbangan dari satu pohon ke pohon yang lain. Jika sekelompok burung terbang menjauh, maka kelompok yang lain pun berdatangan. Lagu yang mereka perdengarkan pun menjadi berbeda dengan kelompok sebelumnya. Tetapi nadanya tetap gembira mensyukuri kebebasan mereka. “Kalian sekarang akan pergi ke mana?” bertanya Ki Marta Brewok. “Bukankah kami tidak pernah mempunyai tujuan yang pasti,” sahut Wijang. “Ya, aku tahu. Tetapi kali ini kalian berjalan kemana?” “Kami ingin pergi ke Alas Mentaok. Sekedar melihat-lihat, apakah isi hutan itu.” Ki Marta Brewok mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil menunjuk hutan yang tidak terlalu jauh dari jalan itu, Ki Marta Brewok itu pun berkata, “Alas Mentaok adalah hutan yang lebat dan luas. Jauh lebih besar dan lebih gawat dari hutan yang nampak itu. Meskipun hutan itu termasuk hutan yang lebat, tetapi Alas Mentaok adalah hutan yang paling gawat.” “Jadi tanah itukah yang diberikan ayahanda kepada Paman Pemanahan.” “Ya.” “Kenapa jauh berbeda dengan Pati yang sudah menjadi semakin ramai.” Ki Marta Brewok menggelengkan kepalanya. Katanya, “Entahlah. Seharusnya aku bertanya kepada Pangeran. Barangkali Pangeran pernah mendengar perbincangan mengenai hal itu.” “Jika aku mendengarnya, Ki Marta, tentu tidak terperinci.” Ki Marta Brewok mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku mengerti, Pangeran. Tetapi mungkin pandangan jauh ke depan Kangjeng Sultan sajalah yang tidak dapat kita tangkap sekarang.” Wijang tidak menjawab. Dilayangkannya pandangan matanya menyusuri bibir hutan yang membujur panjang tidak terlalu jauh dari jalan yang dilaluinya. Sementara itu kotak-kotak sawah pun membentang luas pula. Seperti biasanya, padang perdu telah menjadi batas antara tanah persawahan dan hutan belukar itu. Meskipun demikian, para petani tidak pernah takut menggarap sawah mereka. Jarang sekali terjadi binatang buas keluar dari hutan untuk mencari mangsa. Di dalam hutan itu seakan-akan telah disediakan makanan yang cukup bagi binatang-binatang buas itu. Tetapi memang pernah terjadi seekor harimau yang sudah tua, yang tidak lagi mampu mengejar kijang yang berlari seperti angin, muncul di padukuhan untuk mencuri seekor kambing. Namun ketuaannya itu pulalah yang telah membuatnya tidak mampu melarikan diri dari kemarahan penduduk padukuhan itu. Ketika harimau itu terjebak oleh seekor kambing yang sengaja diumpankan di sudut padukuhan, maka orang-orang padukuhan yang memang sudah mengintainya, beramai-ramai menyerang harimau itu, sehingga akhirnya harimau tua itu pun terbunuh. Beberapa saat kemudian, mereka pun telah memasuki sebuah padukuhan yang dikelilingi oleh tanah persawahan yang luas dan subur. Padukuhan itu pun nampaknya juga merupakan padukuhan yang subur. Pohon buah-buahan yang tumbuh di padukuhan itu dapat berbuah lebat. Pohon nangka yang buahnya menempel bukan saja di dahan-dahannya, tetapi juga di batangnya dari atas sampai menyentuh tanah. Pohon nyiur yang buahnya bergayutan di antara pelepahnya. Sementara itu, tanaman-tanaman yang lain pun nampak hijau segar pula. Ketela pohon, empon-empon dan beberapa jenis sayuran. Bahkan ada yang menanam jagung dan ketela rambat. Batang sirih yang merambat di pohon kelor daunnya nampak sangat rimbun. Sulurnya dan pupusnya yang berwarna hijau muda menjalar mencari pegangan. Tetapi ketiga orang yang berjalan di padukuhan itu menjadi heran. Padukuhan yang subur itu nampak sepi. Pintu-pintu rumah tertutup rapat. Sedangkan pintu-pintu regol meskipun ada yang terbuka, tetapi sebagian besar juga tertutup atau hanya sedikit saja terbuka. “Ada apa di padukuhan ini?” bertanya Wijang. “Padukuhan ini nampak begitu sepi. Tidak ada anak-anak bermain di halaman. Tidak ada perempuan yang sedang menidurkan anaknya di serambi. Tidak pula ada laki-laki yang memanggul cangkul pergi ke sawah atau perempuan yang menggendong bakul dari pasar.” Ki Marta Brewok mengangguk-angguk. Namun ia pun berdesis, “Tetapi terasa ada berpasang-pasang mata mengamati kita sekarang ini.” “Dari balik pintu rumah?” “Ya,” jawab Ki Marta Brewok. “Apa yang menarik?” bertanya Paksi. “Maksudku, kelengangan ini menarik untuk diketahui apa sebabnya.” “Ya. Tetapi agaknya sulit untuk mendapatkan keterangan tentang padukuhan ini karena tidak orang yang berada di luar rumahnya,” gumam Paksi. “Marilah, kita melihat banjar padukuhan ini,” berkata Ki Marta Brewok. “Dimana letak banjar padukuhan?” “Biasanya di pinggir jalan induk seperti ini. Tetapi jika tidak ada banjar di pinggir jalan ini, kita akan mengelilingi padukuhan. Kita tentu akan menemukan banjar padukuhan ini atau bahkan rumah Ki Bekel tanpa bertanya kepada siapa pun juga.” Wijang dan Paksi hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu, kaki mereka pun melangkah terus menyusuri jalan padukuhan. Namun seperti yang mereka duga, maka mereka pun sampai di sebuah regol bangunan yang mereka duga sebagai banjar padukuhan. “Marilah, kita akan masuk ke dalam. Tentu ada petugas penunggu banjar ini,” ajak Ki Marta Brewok. Ketiganya pun kemudian telah memasuki regol halaman yang diduganya sebagai banjar itu. Sejenak mereka bertiga mengamati pendapa yang cukup luas, tetapi nampak sejuk. Sepasang pohon sawo kecik tumbuh di halaman. Sedangkan beberapa batang pohon mlinjo tumbuh di dekat dinding samping halaman. Buahnya yang sudah memerah bergayutan di dahan-dahannya. “Nampaknya banjar ini sepi,” desis Paksi. “Halamannya nampak bersih. Tentu ada orang yang menyapunya pagi tadi. Mereka tentu penunggu banjar ini.” “Apakah Ki Marta Brewok yakin bahwa bangunan ini banjar padukuhan,” bertanya Paksi. “Ya. Jika bukan banjar, lalu apa? Bukankah bangunan ini bukan tempat tinggal?” Paksi mengangguk-angguk. “Marilah, kita cari penunggu banjar ini. Mungkin ia berada di belakang.” “Atau sudah tidak ada di banjar ini. Demikian ia selesai membersihkan halaman, orang itu pun segera pergi meninggalkan banjar ini.” Ki Marta Brewok tidak menyahut. Namun ia pun kemudian melangkah ke halaman samping. Bangunan itu memang sepi. Tetapi Ki Marta Brewok tidak segera mengajak kedua orang anak muda itu pergi. Ki Marta Brewok bahkan telah pergi ke bagian belakang banjar itu. Wijang dan Paksi mengikutinya saja di belakangnya. Sebuah bangunan kecil terdapat di belakang banjar itu. Ki Marta Brewok yakin, bahwa bangunan itu adalah tempat tinggal penunggu banjar itu. Karena itu, maka Ki Marta Brewok pun telah mengetuk pintu rumah kecil di belakang banjar itu. Beberapa kali Ki Marta Brewok mengetuk pintu itu. Tetapi tak ada seorang pun menyahut. Namun Ki Marta Brewok itu pun kemudian berbisik kepada Wijang dan Paksi, “Ada orang di dalam.” Wijang dan Paksi pun mengangguk-angguk. Dengan mempertajam pendengaran mereka, maka mereka pun juga mengetahui bahwa di dalam rumah itu bersembunyi tidak hanya seorang. “Ki Sanak,” berkata Ki Marta Brewok, “kami ingin minta pertolongan. Apakah Ki Sanak tidak bersedia menolong kami. Kami hanya akan minta sedikit minyak kelapa untuk mencairkan obat.” Nampaknya suara Ki Marta Brewok yang meyakinkan mampu mengetuk hati penghuni rumah kecil itu. Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar desir langkah kaki menuju ke pintu. Namun kemudian pintu itu terbuka, maka seorang yang rambutnya sudah ubanan telah terduduk dengan tubuh gemetar. Suaranya pun gemetar pula, “Ampun, Ki Sanak. Aku mohon ampun. Aku hanya orang tua yang tidak tahu apa-apa.” Ki Marta Brewok terkejut melihat sikap orang itu. Namun Wijang segera bergeser maju. Meskipun demikian ia sempat berbisik di telinga Ki Marta Brewok, “Orang itu takut melihat wajah Ki Marta Brewok.” Ki Marta Brewok itu tertawa dalam hati. Tetapi ia tidak ingin menyinggung perasaan orang tua yang ketakutan itu, bahkan mungkin akan membuatnya semakin takut. “Kek,” berkata Wijang, “kami hanya ingin minta minyak kelapa sedikit saja.” Orang tua itu mengangkat wajahnya. Orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu sudah bergeser surut. Yang berdiri di hadapannya adalah anak muda yang berwajah bening. Sambil memandangi ketiga orang yang berdiri di depan rumahnya itu berganti-ganti, orang tua itu bertanya, “Minyak kelapa, maksud Ki Sanak?” “Ya. Minyak kelapa,” jawab Wijang. “O,” orang itu masih nampak bimbang. Namun kemudian ia pun bangkit berdiri sambil berkata, “Aku akan mengambilkannya, anak muda. Tetapi bukankah kalian tidak akan menghukum kami.” “Kenapa kami akan menghukummu, Kek?” Orang tua itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Silahkan duduk di serambi belakang banjar itu, anak muda. Aku akan mengambil minyak itu sebentar di dapur.” Beberapa saat Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi menunggu. Mereka sempat melihat sebatang pohon kayu manis di halaman samping. Paksi yang mengambil kulit batangnya sedikit, mencium bau yang sedap sekali. Hampir di luar sadarnya, Paksi berkata, “Di rumahku juga ada pohon kayu manis.” Adalah mengejutkan sekali ketika di luar sadarnya Ki Marta Brewok itu menyahut, “Umurnya sudah tua sekali, Paksi.” Paksi memandang wajah Ki Marta Brewok dengan kerut kening. Sementara itu agaknya Ki Marta Brewok juga terkejut mendengar kata-katanya sendiri. Bahkan pertanyaan Paksi kemudian membuatnya gelisah meskipun Ki Marta Brewok berhasil menyembunyikannya, “Apakah Ki Marta Brewok tahu, bahwa pohon kayu manis di halaman rumahku itu umurnya sudah tua sekali?” “Tentu tidak,” jawab Ki Marta Brewok dengan serta-merta. “Yang aku maksud umurnya sudah tua sekali adalah pohon kayu manis itu.” “Kayu manis ini?” bertanya Paksi. “Ya.” Tetapi Ki Marta Brewok itu memang menjadi gelisah. “Nampaknya pohon ini masih terlalu muda, Ki Marta,” berkata Paksi kemudian. Ki Marta Brewok tiba-tiba saja tertawa pendek. Katanya, “Aku masih memikirkan padukuhan ini. Karena itu agaknya aku menjawab seenaknya saja.” Paksi tidak sempat bertanya lebih lanjut. Orang tua penunggu banjar itu pun keluar sambil membawa minyak kelapa di dalam sebuah mangkuk kecil. “Inilah minyak kelapa itu, anak muda,” berkata orang tua itu. “Terima kasih, Kek,” jawab Wijang sambil menerima minyak itu. “Tetapi aku persilahkan kalian duduk di serambi. Tolong kere bambu itu ditutup kembali.” “Terima kasih, Kek. Biarlah aku duduk di emperan itu saja.” “Jangan, anak muda. Masuklah ke serambi.” “Kenapa, Kek?” bertanya Wijang. Orang tua itu tidak menjawab. Setelah menutup pintu rumahnya sendiri, ia pun melangkah ke serambi sambil memberi isyarat kepada ketiga orang pendatang itu untuk mengikutinya. Sejenak kemudian, mereka berempat telah berada di serambi belakang banjar padukuhan itu. Serambi yang tertutup oleh kere bambu yang berjuntai sampai ke lantai. “Siapakah kalian bertiga, Ki Sanak?” bertanya orang tua itu. Orang tua itu mengangguk kecil. Tetapi setiap kali dipandanginya wajah Ki Marta Brewok, wajah itu agaknya membuat berdebar-debar. Di luar sadarnya, Paksi pun ikut memandang wajah Ki Marta Brewok itu. Wajah yang sebagian tetutup oleh jambang, kumis dan janggut yang tebal.....

10Arsitek Dunia 1.Oscar Niemeyer lahir di Rio de Janeiro Brazil pada tahun 1907. Ia lulus dari Escola Nacional de Belas Artas di Rio de Janeiro pada tahun 1934, dan pada 1935 ia bergabung dengan kantor Lucio Costa .Pada tahun 1936 ia bergabung dengan tim arsitek Brasil berkolaborasi dengan Le Corbusier pada Departemen baru Pendidikan dan Kesehatan di Rio de Janeiro.Hal ini membuktikan

FQyB.
  • j8ve80ixak.pages.dev/909
  • j8ve80ixak.pages.dev/939
  • j8ve80ixak.pages.dev/812
  • j8ve80ixak.pages.dev/634
  • j8ve80ixak.pages.dev/337
  • j8ve80ixak.pages.dev/673
  • j8ve80ixak.pages.dev/286
  • j8ve80ixak.pages.dev/374
  • j8ve80ixak.pages.dev/363
  • j8ve80ixak.pages.dev/634
  • j8ve80ixak.pages.dev/276
  • j8ve80ixak.pages.dev/532
  • j8ve80ixak.pages.dev/429
  • j8ve80ixak.pages.dev/377
  • j8ve80ixak.pages.dev/355
  • jejak di balik kabut 10